Hujan yang sebenarnya rahmat bagi dunia, seringkali kita terima secara berbeda. Seringkali kita lupa bahwa bencana yang dibawa sang hujan sebenarnya buah karya kita juga. Kita yang telah dengan sengaja merusak keseimbangan alam namun kita juga tanpa rasa dosa menghujat sang hujan.
Seperti saat hujan disini, yang berwenang seringkali hanya menghitung berapa nilai dolar yang batal didapatkan. Dalam otak mereka yang ada hanya sekian ribu ton batubara tidak bisa dikeruk dari perut bumi hanya karena hujan sehari. Sementara reklamasi lahan, kelestarian lingkungan, kesejahteraan warga sekitar dan karyawan seringkali diabaikan.
Seperti aku yang harus ngesot menerobos hutan dalam gelap malam, semata-mata karena kesewenang-wenangan perusahaan dalam memberi target pekerjaan tanpa mau tahu kondisi lapangan. Sebenarnya tugasku tidak terlalu sulit. Hanya mengambil data absensi dalam mesin sidik jari di masing-masing unit kerja. Tapi karena jalanan yang berubah menjadi kubangan lumpur di kala hujan, untuk menjamah wilayah sejauh 40 kilometer saja diperlukan waktu sehari penuh. Aku tak bisa menunda tugas sederhana itu apapun alasannya karena hanya akan disambut dengan kata-kata, kalo karyawan gajian telat, emang lu mau tanggung jawab..?
Andai saja alasan tak mau gaji telat memang benar demi kesejahteraan karyawan, mungkin aku bisa lebih berlapang dada dengan tugas ini. Alasan utama mereka adalah tak mau kegiatan coal getting berhenti karena karyawan mogok kerja akibat gajian telat. Bagaimana mungkin karyawan mau sedikit mengerti dengan keterlambatan gaji, bila gaji mereka sebulan benar-benar habis di akhir bulan. Undang-undang dan peraturan ketenagakerjaan masih saja mereka sembunyikan dari karyawan agar bisa dikutak-katik. Aku sendiri yang sedikit tahu aturan masih saja tak boleh menuntut bayaran lembur untuk kerja yang hampir tak kenal waktu semacam ini hanya dengan alasan statusku all in.
Hanya dengan niat agar mereka yang teraniaya tak sampai miring periuk nasinya saja aku berusaha ikhlas menjalaninya. Walau petugas safety sudah memperingatkan agar aku tidak masuk ke tambang dalam kondisi cuaca begini, dengan alasan takut gajian telat aku bisa mencabut larangan mereka dan merubahnya menjadi saran. Apa yang akan terjadi di jalanan menuju tambang sudah aku pikirkan dari awal. Mobil ngesot berputar-putar di jalanan licin sampai beberapa kali tergelincir ke kubangan atau menumbuk gundukan tanah. Perlu waktu sejam lebih untuk menempuh jarak 5 kilometer. Makanya begitu bisa sampai ke tambang dan mengambil data absensi, aku sudah bisa bernafas sedikit lega. Tapi tetap saja lelah seharian dalam perjalanan dari pelabuhan sampai terperosok di tengah hutan belum boleh aku rasakan.
Sekarang tinggal menyiapkan diri untuk berkubang lagi saat perjalanan pulang ke kantor nanti. Mau istirahat berlama-lama rada merinding neh. Di tambang sepi nyenyet tidak ada satu orang pun. Aku hanya bisa komat-kamit agar si manis penunggu simpang tak lagi ngikut di mobil. Tak pernah ikut sampai keluar tambang memang. Tapi tahu-tahu duduk di kursi sebelah tanpa bilang-bilang siapa yang tidak kaget. Jangankan ajak kenalan, mau nengok saja tidak ada keberanian. Bagaimana kalo dia tersenyum sambil pamer giginya yang tak direbonding..?
Haduuuh, amit-amit dah.
Dah ah, jadi tambah merinding neh.
Siap berjuang lagi mumpung hujan belum kembali turun.
Eh, eksen dulu bentar ah.
Semoga ga ada yang ikutan narsis tanpa permisi...
Seperti saat hujan disini, yang berwenang seringkali hanya menghitung berapa nilai dolar yang batal didapatkan. Dalam otak mereka yang ada hanya sekian ribu ton batubara tidak bisa dikeruk dari perut bumi hanya karena hujan sehari. Sementara reklamasi lahan, kelestarian lingkungan, kesejahteraan warga sekitar dan karyawan seringkali diabaikan.
Seperti aku yang harus ngesot menerobos hutan dalam gelap malam, semata-mata karena kesewenang-wenangan perusahaan dalam memberi target pekerjaan tanpa mau tahu kondisi lapangan. Sebenarnya tugasku tidak terlalu sulit. Hanya mengambil data absensi dalam mesin sidik jari di masing-masing unit kerja. Tapi karena jalanan yang berubah menjadi kubangan lumpur di kala hujan, untuk menjamah wilayah sejauh 40 kilometer saja diperlukan waktu sehari penuh. Aku tak bisa menunda tugas sederhana itu apapun alasannya karena hanya akan disambut dengan kata-kata, kalo karyawan gajian telat, emang lu mau tanggung jawab..?
Andai saja alasan tak mau gaji telat memang benar demi kesejahteraan karyawan, mungkin aku bisa lebih berlapang dada dengan tugas ini. Alasan utama mereka adalah tak mau kegiatan coal getting berhenti karena karyawan mogok kerja akibat gajian telat. Bagaimana mungkin karyawan mau sedikit mengerti dengan keterlambatan gaji, bila gaji mereka sebulan benar-benar habis di akhir bulan. Undang-undang dan peraturan ketenagakerjaan masih saja mereka sembunyikan dari karyawan agar bisa dikutak-katik. Aku sendiri yang sedikit tahu aturan masih saja tak boleh menuntut bayaran lembur untuk kerja yang hampir tak kenal waktu semacam ini hanya dengan alasan statusku all in.
Hanya dengan niat agar mereka yang teraniaya tak sampai miring periuk nasinya saja aku berusaha ikhlas menjalaninya. Walau petugas safety sudah memperingatkan agar aku tidak masuk ke tambang dalam kondisi cuaca begini, dengan alasan takut gajian telat aku bisa mencabut larangan mereka dan merubahnya menjadi saran. Apa yang akan terjadi di jalanan menuju tambang sudah aku pikirkan dari awal. Mobil ngesot berputar-putar di jalanan licin sampai beberapa kali tergelincir ke kubangan atau menumbuk gundukan tanah. Perlu waktu sejam lebih untuk menempuh jarak 5 kilometer. Makanya begitu bisa sampai ke tambang dan mengambil data absensi, aku sudah bisa bernafas sedikit lega. Tapi tetap saja lelah seharian dalam perjalanan dari pelabuhan sampai terperosok di tengah hutan belum boleh aku rasakan.
Sekarang tinggal menyiapkan diri untuk berkubang lagi saat perjalanan pulang ke kantor nanti. Mau istirahat berlama-lama rada merinding neh. Di tambang sepi nyenyet tidak ada satu orang pun. Aku hanya bisa komat-kamit agar si manis penunggu simpang tak lagi ngikut di mobil. Tak pernah ikut sampai keluar tambang memang. Tapi tahu-tahu duduk di kursi sebelah tanpa bilang-bilang siapa yang tidak kaget. Jangankan ajak kenalan, mau nengok saja tidak ada keberanian. Bagaimana kalo dia tersenyum sambil pamer giginya yang tak direbonding..?
Haduuuh, amit-amit dah.
Dah ah, jadi tambah merinding neh.
Siap berjuang lagi mumpung hujan belum kembali turun.
Eh, eksen dulu bentar ah.
Semoga ga ada yang ikutan narsis tanpa permisi...
Yen Tak Sawang2 Fotone Sampeyan Mirip Pasha Ungu Je MAs... hehehehe
BalasHapusyoo dianggap wae bonus, teman seperjalanan.
BalasHapuskalo lagi butuh.. ngobrol aja. hahaha
hehe, teman seperjalanan bague tuh..huaaa g lah..kencengin musik AJ...hehehe, beneran berlumpur ya..
BalasHapusternyata hujan tidak di jakarta saja, di pedalaman nun jauh di sana juga hujan. baguslah dibagi rata. ngomong2 ada ulat bulu juga di sana?
BalasHapusserius ngesot mas????
BalasHapusbetul tuh, malah ditemani kan..
BalasHapusHahhaa..saya kira suster ngesot mas :D
BalasHapusNgeri juga yah kalo gitu, saya juga pasti takut kalo ada di posisi mas, ya..dasarnya emang penakut, hahahha..
CD
BalasHapusiki pasha negro je, heheh
Gaphe
Tak doain dia mau nemenin kamu deh...
Rose,
musik kenceng, spion depan dibalikin, haha
MAV
ulat bulu ga nyampe sih, tapi lumpur lapindo yang ada
Nova
Ga ngesot gimana, jalannya licin gini..
Joe,
mau nyobain ya..?
Zippy
Heheh sini deh aku temenin. Temenin ngejerit maksudnya..