Menyambung jurnal siang tadi...
Sebelum upacara pemugaran makam, diadakan perjudian yang dilakukan selama 7 hari 7 malam tanpa henti di tempat yang sudah disiapkan dalam bentuk lapak di lingkungan kuburan. Lapak judi disiapkan beberapa hari sebelumnya dengan membuka lahan dan memasang panggung beratap tenda, mengingat lokasi berada di tepi hutan.
Melihat nilai taruhan yang sampai jutaan, bisa diperkirakan peredaran uang disitu bisa sampai milyaran sehari. Tak hanya laki-laki, nenek-nenek sampai gadis ABG pun terlihat antusias mengikuti acara tersebut. Judi yang diselenggarakan bermacam-macam, mulai dari dadu sampai sabung ayam. Perputaran modal tak hanya terjadi di lapak. Di luar lapak pun terjadi transaksi ekonomi yang lumayan tinggi. Sekali parkir saja, untuk mobil dikenakan bayaran sebesar 50 ribu dan sepeda motor 10 ribu perak. Belum lagi warung-warung makanan dan minuman yang bertebaran disitu. Sepotong pisang goreng saja harganya 3 ribu perak.
Bagi orang luar sepertiku, kegiatan semacam ini mungkin terasa sedikit aneh. Karena yang aku tahu, selama ini perjudian selalu diberantas aparat negara karena dianggap menimbulkan keresahan di masyarakat. Namun komunitas adat selalu menolak tegas bila permainan ini dinilai menciptakan keresahan. Dalam alam pikiran mereka, ”permainan” ini tidak bisa dimaknai secara profan sebagai perjudian, melainkan juga menghadirkan aspek spiritual yang mencerminkan keyakinan religius mereka.
Asal usul keyakinan ini, berawal dari kepercayaan komunitas Dayak mengenai kisah para dewa yang bersepakat menyempurnakan semesta yang tak kunjung paripurna. Konon, dunia dulunya hanyalah berupa serpihan kecil yang bertebaran. Setiap serpihan kecil ini didiami oleh nayuk (dewa). Alkisah sepasang dewa-dewi bernama Inang Mekelayang dan Lolang Kurig menempati sebuah serpihan bumi yang begitu kecil, sehingga setiap hari ada saja anak kedua dewa-dewi yang meninggal akibat terjatuh dari hamparan bumi.
Mendengar ratapan dewa-dewi yang kehilangan anaknya ini, datangnya dewa-dewa lain membantu. Mereka menyatukan serpihan-serpihan untuk menyempurnakan bumi hingga seluas sekarang. Dalam sebuah musyawarah Nalit Taun Bulan atau Gugu Tahun, para dewa bersepakat akan berkumpul kembali membawa persembahan guna melengkapi isi bumi. Namun sayang, sampai tiba waktunya tak satu pun para dewa membawa persembahan. Perselisihan pun terjadi. Maka untuk menengahi perseteruan ini dibuatlah apa yang dikenal sekarang ini sebagai Botor Buyang. Siapa yang kalah dalam permainan ini, ia harus rela menjadi persembahan untuk menyempurnakan langit dan bumi. Jadi menang atau kalah merupakan bagian dari ritual yang harus bisa dipahami.
Kosmologi hidup macam inilah yang menyertai ritual rakyat komunitas Dayak. Sebuah kompleksitas ritual yang barangkali tak pernah lekat dalam nalar modern negara yang selalu ingin menyingkirkan apa yang dianggap tradisional, irasional dan di luar jangkauan nalar. Yang irasional harus dirasionalkan agar bisa dimengerti. Yang disfungsional harus direvitalisasi agar kembali berfungsi. Dan yang non-ekonomis harus diekonomisasikan agar punya tempat dalam roda pembangunan ekonomi negara. Karena dalam pandangan umum di luar komunitas Dayak khususnya pemerintah, perjudian merupakan penyakit masyarakat yang menyebabkan kegagalan fungsi ekonomi, ritual semacam ini menjadi dilema tersendiri bagi pemerintah.
Apalagi cap sebagai sumber keresahan masyarakat selalu bisa ditepis oleh kepala adat. Memang bila melihat kenyataan di lapangan, semua peserta sepertinya sudah bisa menyadari resiko kalah menang dan tidak mempermasalahkan. Tidak ada keributan seperti yang sering terjadi di arena judi di luar komunitas ini. Apalagi bisa dikatakan semua anggota keluarga ikut berpartisipasi, sehingga tidak terjadi adanya KDRT akibat salah satu anggota keluarga kalah judi. Lalu bagaimana untuk pejudi yang statusnya orang luar, yang sebenarnya tidak berkepentingan dengan ritual ini. Kalo itu aku tidak bisa berkomentar.
Terlepas dari soal halal haram menurut agama, atau dianggap melanggar norma bagi komunitas lain, kita tidak bisa begitu saja menghakimi. Tentang asal usul ritual yang mungkin dianggap mitos dan di luar nalar, aku pikir tidak bisa dipersalahkan begitu saja. Karena dalam agama pun banyak hal-hal yang di luar nalar dan hanya bisa kita terima dalam tanda kutip keimanan semata. Sebagaimana kita tidak bisa mengukur badan sendiri saat akan membuatkan baju orang lain, kita pun tak bisa mengatakan keimanan mereka sebagai salah atau benar sesuai keyakinan kita.
Yang aku tahu, norma itu diciptakan untuk menertibkan kehidupan bermasyarakat. Bila nyatanya sebuah komunitas bisa tertib dengan norma tersebut, apa hak kita untuk ikut campur. Bila kita mengatakan ritual orang lain sebagai suatu kebodohan, tidakkah kita berpikir orang lain pun bisa menganggap aneh ritual keyakinan kita. Seperti ritual Jawa yang mengharuskan perempuan mengenakan kemben terbuka, sementara faham lain mengatakan itu dosa karena memamerkan aurat. Seperti ketika pemerintah mengeluarkan UU Anti Pornoaksi, sementara saudara kita di Papua hanya mengenakan koteka. Selama norma aneh itu tidak merugikan kita, apakah kita perlu untuk mengecapnya dengan kata negatif.
Semoga Indonesia tetap damai dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika
Tak perlu berubah menjadi Ineka Tunggal Ika
Hanya karena lupa pakai BH...
Sebelum upacara pemugaran makam, diadakan perjudian yang dilakukan selama 7 hari 7 malam tanpa henti di tempat yang sudah disiapkan dalam bentuk lapak di lingkungan kuburan. Lapak judi disiapkan beberapa hari sebelumnya dengan membuka lahan dan memasang panggung beratap tenda, mengingat lokasi berada di tepi hutan.
Melihat nilai taruhan yang sampai jutaan, bisa diperkirakan peredaran uang disitu bisa sampai milyaran sehari. Tak hanya laki-laki, nenek-nenek sampai gadis ABG pun terlihat antusias mengikuti acara tersebut. Judi yang diselenggarakan bermacam-macam, mulai dari dadu sampai sabung ayam. Perputaran modal tak hanya terjadi di lapak. Di luar lapak pun terjadi transaksi ekonomi yang lumayan tinggi. Sekali parkir saja, untuk mobil dikenakan bayaran sebesar 50 ribu dan sepeda motor 10 ribu perak. Belum lagi warung-warung makanan dan minuman yang bertebaran disitu. Sepotong pisang goreng saja harganya 3 ribu perak.
Bagi orang luar sepertiku, kegiatan semacam ini mungkin terasa sedikit aneh. Karena yang aku tahu, selama ini perjudian selalu diberantas aparat negara karena dianggap menimbulkan keresahan di masyarakat. Namun komunitas adat selalu menolak tegas bila permainan ini dinilai menciptakan keresahan. Dalam alam pikiran mereka, ”permainan” ini tidak bisa dimaknai secara profan sebagai perjudian, melainkan juga menghadirkan aspek spiritual yang mencerminkan keyakinan religius mereka.
Asal usul keyakinan ini, berawal dari kepercayaan komunitas Dayak mengenai kisah para dewa yang bersepakat menyempurnakan semesta yang tak kunjung paripurna. Konon, dunia dulunya hanyalah berupa serpihan kecil yang bertebaran. Setiap serpihan kecil ini didiami oleh nayuk (dewa). Alkisah sepasang dewa-dewi bernama Inang Mekelayang dan Lolang Kurig menempati sebuah serpihan bumi yang begitu kecil, sehingga setiap hari ada saja anak kedua dewa-dewi yang meninggal akibat terjatuh dari hamparan bumi.
Mendengar ratapan dewa-dewi yang kehilangan anaknya ini, datangnya dewa-dewa lain membantu. Mereka menyatukan serpihan-serpihan untuk menyempurnakan bumi hingga seluas sekarang. Dalam sebuah musyawarah Nalit Taun Bulan atau Gugu Tahun, para dewa bersepakat akan berkumpul kembali membawa persembahan guna melengkapi isi bumi. Namun sayang, sampai tiba waktunya tak satu pun para dewa membawa persembahan. Perselisihan pun terjadi. Maka untuk menengahi perseteruan ini dibuatlah apa yang dikenal sekarang ini sebagai Botor Buyang. Siapa yang kalah dalam permainan ini, ia harus rela menjadi persembahan untuk menyempurnakan langit dan bumi. Jadi menang atau kalah merupakan bagian dari ritual yang harus bisa dipahami.
Kosmologi hidup macam inilah yang menyertai ritual rakyat komunitas Dayak. Sebuah kompleksitas ritual yang barangkali tak pernah lekat dalam nalar modern negara yang selalu ingin menyingkirkan apa yang dianggap tradisional, irasional dan di luar jangkauan nalar. Yang irasional harus dirasionalkan agar bisa dimengerti. Yang disfungsional harus direvitalisasi agar kembali berfungsi. Dan yang non-ekonomis harus diekonomisasikan agar punya tempat dalam roda pembangunan ekonomi negara. Karena dalam pandangan umum di luar komunitas Dayak khususnya pemerintah, perjudian merupakan penyakit masyarakat yang menyebabkan kegagalan fungsi ekonomi, ritual semacam ini menjadi dilema tersendiri bagi pemerintah.
Apalagi cap sebagai sumber keresahan masyarakat selalu bisa ditepis oleh kepala adat. Memang bila melihat kenyataan di lapangan, semua peserta sepertinya sudah bisa menyadari resiko kalah menang dan tidak mempermasalahkan. Tidak ada keributan seperti yang sering terjadi di arena judi di luar komunitas ini. Apalagi bisa dikatakan semua anggota keluarga ikut berpartisipasi, sehingga tidak terjadi adanya KDRT akibat salah satu anggota keluarga kalah judi. Lalu bagaimana untuk pejudi yang statusnya orang luar, yang sebenarnya tidak berkepentingan dengan ritual ini. Kalo itu aku tidak bisa berkomentar.
Terlepas dari soal halal haram menurut agama, atau dianggap melanggar norma bagi komunitas lain, kita tidak bisa begitu saja menghakimi. Tentang asal usul ritual yang mungkin dianggap mitos dan di luar nalar, aku pikir tidak bisa dipersalahkan begitu saja. Karena dalam agama pun banyak hal-hal yang di luar nalar dan hanya bisa kita terima dalam tanda kutip keimanan semata. Sebagaimana kita tidak bisa mengukur badan sendiri saat akan membuatkan baju orang lain, kita pun tak bisa mengatakan keimanan mereka sebagai salah atau benar sesuai keyakinan kita.
Yang aku tahu, norma itu diciptakan untuk menertibkan kehidupan bermasyarakat. Bila nyatanya sebuah komunitas bisa tertib dengan norma tersebut, apa hak kita untuk ikut campur. Bila kita mengatakan ritual orang lain sebagai suatu kebodohan, tidakkah kita berpikir orang lain pun bisa menganggap aneh ritual keyakinan kita. Seperti ritual Jawa yang mengharuskan perempuan mengenakan kemben terbuka, sementara faham lain mengatakan itu dosa karena memamerkan aurat. Seperti ketika pemerintah mengeluarkan UU Anti Pornoaksi, sementara saudara kita di Papua hanya mengenakan koteka. Selama norma aneh itu tidak merugikan kita, apakah kita perlu untuk mengecapnya dengan kata negatif.
Semoga Indonesia tetap damai dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika
Tak perlu berubah menjadi Ineka Tunggal Ika
Hanya karena lupa pakai BH...
glodhak.. kalimat terakhir bikin ngakak!
BalasHapusSebab tali BH adalah tali terpanjang di dunia..
BalasHapushaha...
BalasHapusyah,manusia itu unik,berbeda antara satu dan yang lain.ya,makanya pemikirannya juga berbeda2..
Ineka tunggal ika begitu kah artinya, jika ya mungkin tak jauh beda dengan kondisi negara kita..
BalasHapusWaktu saya tinggal di Pulang Pisau dulu, saya kepingin sekali melihat acara perjudian adat itu. Sayang nggak ada yang bisa nge-guide saya, akibatnya sampek batas tinggal saya di Pulang Pisau habis, saya masih belum pernah lihat acaranya.
BalasHapusMungkin, jika kita mau melihat judi dari sudut pandang masyarakat Dayak, kita bisa memahami nilai-nilai yang mereka anut biarpun menurut penilaian kita itu irasional.
banyak-banyaklah melihat, berjalan di muka bumi, ini perintah agama. membaca, biar tak gampang menghakimi orang lain yang berbeda. tapi dengan baca posting ini saya tak perlu ke kalimantan, sudah tau toh.
BalasHapusjudi, minum, perzinahan... no tengkyuuuu...
BalasHapushahaha kalimat terakhirnya hadehh ngakak x_x
BalasHapus