10 April 2009

Oposisi Seni

Menyimak sebuah email dari seorang penulis yang tengah merencanakan pameran mendatang. Tentang email seniman yang juga penguasa galeri, yang menolak ikut pameran di Tubi tapi dengan embel-embel mau menjadi oposisi. Karena Tubi dianggap tidak peduli dengan seni dan hanya melihat seni sebagai lahan bisnis semata. Namun buntut-buntutnya malah membias dari alasan awal dengan mengajak penulis tersebut untuk membuat event di luar event Tubi.

Apakah karena sedang musim pemilu sehingga istilah politik pun masuk ke bidang seni?

Dunia tidak akan indah tanpa perbedaan. Namun keindahan seni bukanlah sesuatu yang pantas untuk dijadikan bibit perselingkuhan, walau kata orang selingkuh itu indah.

Perbedaan pendapat teramat indah untuk dijadikan wacana demi kemajuan seni itu sendiri. Silakan adu mulut ketika masih dalam wacana. Tapi setelah kembali ke alam nyata, alangkah indahnya bila adu mulut itu berubah menjadi ciuman sepasang kekasih yang dimabuk cinta.

Yang terasa pada akhirnya adalah pengkambinghitaman seni untuk sebuah tujuan yang bermotivasi bisnis atau kepentingan pribadi. Padahal insan seni bukanlah 100% seniman yang sering menkultuskan diri sebagai manusia yang semau gue dan tidak kenal schedule. Seniman tetap saja manusia yang memiliki rasa pusing penjualan karya mulai tersendat-sendat. Bagaimanapun untuk bisa tetap berkarya, seniman perlu canvas dan cat. Tak cukup dengan arang diatas daun pisang.

Sudah seharusnya orang bisa memisahkan posisi sebagai seniman yang harus bisa konsentrasi dalam wacana seni dan posisi sebagai pelaku bisnis di bidang seni. Sebagaimana halnya kita melihat Dian Satro membacakan puisi. Tak usah lah kita berdebat cara dia membaca atau salah pengucapannya. Nikmati saja wajah cantiknya, asal kita tak lupa bahwa sajak lahir bukan untuk berurusan dengan wajah mulus, walaupun keduanya sama-sama indah. Belajarlah untuk memisahkan, yang kita bicarakan adalah keindahan perempuan atau tentang sastra.

Marilah kita berdebat untuk menambah kekayaan khazanah seni Indonesia. Tak perlulah kita sebut-sebut istilah oposisi. Mari kita menjadi mitra kerja yang salin bantu. Bukannya saling banting apalagi tikam dari belakang.

Salam Budaya...

Ilustrasi John Lenon
Karya Saptoadi

2 comments:

  1. Tiap kita adalah seniman,
    bukankah kita tiap hari mengeluarkan air seni hehhehe ..
    tiap menghadapi dan meelalui sesuatu dibutuhkan seni. seni menulis,seni melukis,seni vokal,seni tari,seni problem solving,seni berbicara dll.

    ya kita adalah insan seni,meski nilai seni rupa ku cuma 5.5

    BalasHapus
  2. bener banget tuh
    paling semangat kalo dah membicarakan tentang air seni dan segala sangkut pautnya.
    hehehe...

    BalasHapus

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena