Aprilia Hospital, begitu tulisan besar di gedung 4 lantai tempat anakku lahir. Milik dokter spesialis kandungan yang sudah punya cukup nama di Cilacap. Dari gedungnya yang lumayan mewah, aku bisa menilai ada kenyamanan lebih untuk istriku dibanding harus melahirkan di bidan desa atau rumah sakit pemerintah.
Ketika pertama kali menginjakan kaki di lobi yang mirip hotel, aku harus lepas sandal karena melihat banyak sandal dan sepatu berserakan di depan pintu. Jadinya serasa masuk masjid neh...
Karena istriku di lantai dua, aku langsung masuk ke lift dekat loket pendaftaran. Sapaan ramah aku terima di pintu lift dari OB yang sedang ngepel lantai. "Lewat tangga saja, mas. Nanti bingung makainya..."
Buset. Tampang kucelku membuat mereka ga percaya kayaknya neh. Dan selama dua hari di situ, tiga kali aku ditegur petugas karena bolak-balik masuk lift. Dan ketika aku tanya kenapa, jawabnya, "Ini untuk pasien dan emergensi..."
Baru kali ini aku dengar lift hanya boleh digunakan untuk kondisi darurat. Bukannya kalo darurat malah harus lewat tangga..?
Beberapa jam saja di situ, aku mulai menilai kondisi pelayanannya tak ubahnya rumah sakit pemerintah dimana wajah-wajah jutek mendominasi bidan dan perawatnya. Untung saja dokternya begitu baik dan ramah. Tapi tetap saja tak memupus kekecewaanku tentang standar pelayanan.
Sudah pesan ruangan ber Ac, tapi ACnya mati, remotenya entah dimana. Ketika laporan ke petugas jaga, AC baru dinyalakan. Tapi remotenya di bawa lagi. Jadinya ketika malam makin dingin plus hujan, aku harus naik turun cari petugas bagian remote. Ketika aku tanya kenapa remotenya diumpetin, jawabnya, "Takut ilang, pak. Nanti salah pencet malah error..."
Ruang melahirkan terlihat cukup rapi dan bersih. Bahkan di pintu masuk ada tulisan besar, "Ruang Steril". Sampai aku agak ragu ketika mau ikut masuk kesana mengingat pakaian kucelku yang mungkin mengandung banyak virus penyakit. Tapi setelah melihat banyak orang non petugas keluar masuk dengan bebasnya, aku ikut masuk juga. Walau bingung dengan makna kata ruang steril itu.
Di ruang melahirkan ada 4 tempat tidur yang hanya dibatasi tirai plastik. Waktu aku masuk mengantar istri, kebetulan sudah ada satu pasien siap melahirkan. Jadinya aku masuk harus dengan membuang muka sesuai instruksi bidan yang disana. "Ga boleh nengok ke kiri, pak..."
Padahal kalo dipikir ngapain aku liat perabotan orang lain, sementara istriku juga punya. Paling-paling bentuknya ga jauh beda. "Udah ga aneh bu," gitu doang komentarku.
Dua orang melahirkan dalam satu ruangan hanya dibatasi tirai, ternyata tidak baik juga untuk psikologi orang yang mau melahirkan. Jerit kesakitan dari sebelah sempat membuat istriku bilang takut, apalagi ini pengalaman pertamanya. Apalagi pasien sebelah mengalami masalah dan bayinya harus disedot. Aku harus terus mengajak istriku ngobrol dan menguatkan hatinya agar tetap tenang.
Ketuban istriku pecah ketika kondisinya berbaring miring, sehingga air ketuban muncrat ke ruangan sebelah. Karena tirainya tidak sampai lantai, tingginya sekitar setengah meter dari lantai, jadinya ketuban istriku menyiram alat-alat kebidanan tetangga. Eh, kok cuma dilap dan ga diganti baru tuh. Bukan masalah ketuban istriku mengandung banyak penyakit, tapi kesannya kan jadi ga higienis.
Payahnya lagi, ada bidan yang sudah cukup berumur kelihatan judes banget dengan keluhan-keluhan istriku. Meletakan alat dan kursi di samping tempat tidur saja sampai bersuara keras. Untung ada dua bidan muda yang cantik dan kelihatan sabar. Jadinya bisa lumayan menghibur ketegangan istriku. Aku juga jadi rada betah melihatnya. Sayang ketika menangani persalinan, si ibu bidan masih sempat smsan segala.
Malah sampai nelpon juga. Hape diselipkan dalam kerudung deket telinganya dan terus ngoceh sambil sibuk menjahit bekas luka jalan lahir. Pertanyaan tentang dibius apa tidak sebelum menjahit tidak digubris. Padahal tadinya aku mau sekalian pesen, agar jahitnya jangan dihabisin. Sisain buat aku nanti pasca nifas...
Masalah terakhir ketika mau pulang. Bolak-balik ke loket pembayaran, hanya dijawab, "belum beres. Nanti kesini lagi ya..."
Padahal apa susahnya bikin nota secara cepat. Bila memang rinciannya belum lengkap, apa sulitnya mengatakan, "Silakan ditunggu di ruangan. Setelah beres kami akan antar..." Padahal ini mau bayar lho, bukannya mau minta pembayaran BLT.
Menjelang pulang, ibu-ibu yang melahirkan saat itu dikumpulkan di ruang dokter beserta suami-suaminya. Diberi pengajian terlebih dulu dan berbagai nasehat tentang amanat anak. Sayang isinya tak ubahnya copy paste dari pengajian ibu-ibu tiap hari jumat. Dan di akhir acara, tidak ada permintaan untuk memberikan sumbang saran atau kritik terhadap pelayanan rumah sakit.
Walau begitu, aku tak ingin berpanjang kata. Yang penting, anakku lahir dengan selamat dan ibunya juga sehat. Aku tetap mengucapkan terima kasih kepada dr Sutiyono dan seluruh kru yang bertugas. Semoga amal ibadahnya diterima di sisinya.
Semoga tidak ada koin rawins deh dengan tulisan ini...