Saat santai di Balikpapan kemarin, sempat ada obrolan ngalor ngidul tentang anak dan pendidikan. Aku sempat bertanya kepada pak Andi, kenapa ketika orang lain berlomba-lomba menyekolahkan anak ke luar negeri, beliau merasa cukup anaknya kuliah di Surabaya. Jawabannya cukup sederhana. Anak butuh teman dan rasa percaya diri selepas sekolah.
Aku jadi ingat dengan juragan Volvo jaman orba dulu yang sekarang jadi juragan lukisan. Beliau sempat mengeluh tentang sulitnya mengelola galeri dan balai lelang. Anaknya disekolahkan di Amerika dengan harapan apa yang diperoleh disana bisa menjadi modal bagus untuk mengembangkan usaha yang memang sejak awal disiapkan untuk anaknya itu. Tapi tetap saja si anak sulit untuk bisa bergerak cepat.
Aku jadi ingat dengan juragan Volvo jaman orba dulu yang sekarang jadi juragan lukisan. Beliau sempat mengeluh tentang sulitnya mengelola galeri dan balai lelang. Anaknya disekolahkan di Amerika dengan harapan apa yang diperoleh disana bisa menjadi modal bagus untuk mengembangkan usaha yang memang sejak awal disiapkan untuk anaknya itu. Tapi tetap saja si anak sulit untuk bisa bergerak cepat.
Ketika anaknya datang ke galeriku, dia cerita banyak tentang kesulitan-kesulitannya itu. Dan poin pentingnya adalah dia merasa gagap untuk mempraktekan apa yang diperoleh di Amerika dan dia merasa tak punya teman berbagi disini. Sampai-sampai dia berpikir, lebih baik kembali ke Amerika walau hanya menjadi karyawan daripada tetap di Indonesia sebagai direktur. Bertahan disini, kantornya bisa terus berjalan lebih banyak karena dukungan dana dari ortunya yang unlimited.
Kasus yang sama menimpa banyak temanku yang menjadi TKI. Awalnya dia berpikir merantau ke negeri orang hanya untuk sementara waktu sekedar mencari modal usaha. Tapi kenyataan berbicara lain. Ketika sudah punya duit banyak, dia kesulitan dengan iklim usaha di Indonesia. Sekian tahun hanya menjadi karyawan dan tidak punya relasi adalah kesulitan utama. Akhirnya ketika uangnya mulai menipis, yang terpikir adalah kembali ke luar negeri dibanding berusaha mati-matian mempertahankan usaha barunya. Tidak semua memang, tapi kebanyakan begitu.
Soal kepercayaan diri semacam ini aku pikir sudah penyakit kronis sebagian dari masyarakat kita. Yang lebih parah mungkin menimpa orang-orang yang berambisi jadi pejabat. Dengan penuh keyakinan beliau-beliau berkoar-koar mau mensejahterakan rakyat. Tapi kenyataannya dia sendiri tidak pede dengan kemampuan dirinya sendiri. Coba saja lihat poster-poster yang bertebaran di jalanan menjelang pemilu. Kayaknya cuma satu dua yang pasang fotonya sendiri. Lebih banyak yang pamer foto dia bersama orang lain yang dianggap berpengaruh.
Mungkin ini strategi marketing mereka untuk meraih massa. Tapi di mataku itu sebuah kebodohan memamerkan rasa percaya diri yang kurang. Caleg Demokrat memajang fotonya bareng SBY. Yang PDIP memajang foto bareng Mega. Yang paling parah ya yang tercantum di gambar blog. Apa urusannya pamer anaknya yang jadi artis...?
Makanya, walau aku pengagum berat Bung Karno, aku tidak suka gaya Megawati. Kalo memang merasa diri mampu, ngapain foto orang sudah mati dibawa-bawa. Emang mau kasih wangsit tentang cara mengelola negara..?
Dari obrolan itu aku bisa meraba tentang kekeliruan berpikir sebagian dari kita selama ini. Demi gensi kita suka melupakan dua faktor krusial untuk meniti masa depan. Rasa percaya diri dan merasa punya teman. Dengan punya teman, minimal kita bisa nyontek PR dan kongkalingkong dengan tarif pertemanan...
yang penting gengsi boss...itulah pemikiran orang kita selama ini...so sulit untuk di ajak maju....dan juga penginnya serba insatan..
BalasHapuskayaknya sih begitu. payah emang...
BalasHapussepakat...
BalasHapuspake usaha sendiri dong... jgn pake nebeng ketenaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaran :D
bener sih. tapi kok susah yah..?
BalasHapushehehe
Jadi, yang penting pede?
BalasHapus