Ada satu hal lagi yang aku lihat masih berantakan disini, yaitu pengelolaan karyawan. Entah bagaimana perusahaan memilih orang-orang untuk HRD, sehingga tugas mereka seolah berkutat di pengurusan rekrutmen, kontrak kerja, absen dan gaji. Pembinaan karyawan boleh dikatakan sangat kurang, sehingga banyak yang tidak efisien dalam fungsi-fungsi penugasan karyawan.
Saat banyak pekerjaan, mereka lebih suka main rekrut tanpa memperhitungkan grafik volume pekerjaan secara jangka panjang. Sehingga ketika volume pekerjaan kembali ke titik normal, banyak tenaga yang nganggur. Jarang ada ide untuk meningkatkan ketrampilan karyawan untuk mengefektifkan kinerja agar bisa bekerja secara autorun dan multitasking. Satu dua orang yang dengan sadar berusaha menjadi efektif atas keinginan sendiri, pada akhirnya malah jadi kebanjiran pekerjaan karena dianggap mampu. Contoh gampangnya ketika aku berusaha mengajari staf yang ada, cara membuat rumus excel agar bisa lebih cepat. Hasilnya kalo ada itungan rumit, pekerjaan dilempar ke mejaku. Bila aku bilang itu bukan pekerjaanku dan banyak staf nganggur, jawabannya, "kelamaan, elu aja deh biar cepet..."
HRD juga begitu gampang menandatangani surat peringatan ke karyawan, tanpa ada keinginan untuk mencari akar permasalahannya terlebih dulu. Jadinya terkesan HRD bukan divisi yang mendidik karyawan, tapi memamerkan arogansi bahwa dia punya kuasa atas orang lain. Alasan yang paling sering keluar bila aku pertanyakan itu adalah, "gampang cari karyawan baru..."
Waktu aku duduk di HRD dulu, kayaknya pelit banget dengan yang namanya SP. Setiap karyawan bermasalah, biasanya aku telusur latar belakangnya dari teman atau keluarganya bila memungkinkan. Aku perlu tahu apakah karyawan itu sedang ada masalah keluarga atau hal lainnya. Bila ternyata kesalahan kerjanya memang karena ndableg, baru aku berani keluarin SP. Kalo karyawan tak bisa kerja karena masalah ketrampilan atau ketiadaan alat, aku segera carikan solusinya. Prinsipku, semakin banyak SP aku keluarkan, semakin buruk raportku. Karena itu merupakan bukti bahwa aku tidak bisa membina karyawan untuk bekerja lebih baik.
Menumpuknya surat lamaran yang masuk membuat mereka menganggap urusan karyawan itu gampang. Misalnya ketika ada karyawan yang minta naik gaji, mereka lebih suka tidak memperpanjang kontrak dan cari orang baru yang mau dibayar murah. Tidak diperhitungkan berapa produktifitas dia dalam nilai rupiah dan dibandingkan rasionya dengan kenaikan gaji yang dia minta. Kalo memang sepadan, kenapa tidak. Tidak terpikirkan bahwa gonta-ganti karyawan itu boros biaya. Apa ga cape harus bolak balik melatih orang baru dalam jangka waktu relatif pendek.
Rasa kepedulian terhadap perusahaan juga kurang ditumbuhkan. Hal-hal sepele, misalnya pada kasus genset mati. Mentang-mentang statusku teknisi, setiap kali genset mati mereka akan berteriak kepadaku. Kalo ibu-ibu yang di kantor sih wajar. Satpam yang posisinya paling dekat dengan genset pun memilih lari ke kantor untuk laporan. Padahal tidak ada yang rumit dengan genset dan cukup tekan tombol, ga seperti nyalain diesel jadul yang harus memutar engkol dengan tenaga dalam. Laporan ke HRD, jawabannya, "nanti saya tempel pengumuman bahwa genset tanggungjawab satpam. Yang tidak mau, kita kasih SP saja..."
Pusing dengar kata SP, aku lakukan pendekatan per personal ke bagian sekuriti. Awalnya sih ada yang menolak dengan mengatakan itu bukan tugasnya. Sampai aku bilang ini bukan perintah perusahaan, tapi aku yang minta tolong karena pekerjaanku banyak dan dari kantor ke ruang genset lumayan jauh. Ternyata dengan begitu doang, mereka bisa jalan sampai sekarang. Tak perlu SP dan cukup dengan kedekatan pribadi.
Yang masih aku tangani secara sukarela sekarang adalah office boy. Dua minggu kerja dia sudah dapat SP1. Ketika mau diberhentikan, aku bilang ke HRD agar ditahan dulu dengan alasan aku masih butuh dia untuk bantu-bantu pekerjaanku, padahal aslinya tidak. Pelan-pelan aku arahkan agar dia ngerti tugas-tugasnya dengan baik. Dalam waktu seminggu ini dia mulai kelihatan berubah, tidak lagi menyebalkan seperti awal-awalnya.
Ga nyebelin gimana, ketika ditanya kenapa lantai ga pernah dipel, dia jawab tidak ada alat pel. Aku suruh orang logistik beli alat pel, eh sampai beberapa hari kemudian alatnya masih terbungkus rapi di sudut gudang. Pagi-pagi meja ruang meeting berantakan dia cuek saja, alasannya ga ada yang nyuruh, takut ada kertas penting terbuang. Aku suruh dia bersihin meja tiap pagi dan kertas-kertas yang ada agar ditumpuk rapi. Besok paginya tidak ada lagi aku lihat kertas berserakan di meja, tapi asbak penuh puntung rokok juga cuma ditumpuk, puntungnya ga dibuang. Haduh...
Meja sudah beres, masalah berganti ke dispenser. Dua hari galon kosong tidak ada yang mau ganti. Aku ga banyak nanya karena pasti jawabannya tidak ada yang nyuruh. Jadi langsung aku suruh dia mengganti galon setiap kali kelihatan kosong. Kemarin sore aku lihat galon hampir kosong dan pagi ini sudah diganti galon baru. Asiiik...
Tapi...
Pas aku mau bikin teh, ternyata airnya gak ngocor.
Penasaran aku angkat tuh galon dari dispenser.
Hoalah, jebul tutup galonnya masih terpasang rapi...
Tape deh...
Saat banyak pekerjaan, mereka lebih suka main rekrut tanpa memperhitungkan grafik volume pekerjaan secara jangka panjang. Sehingga ketika volume pekerjaan kembali ke titik normal, banyak tenaga yang nganggur. Jarang ada ide untuk meningkatkan ketrampilan karyawan untuk mengefektifkan kinerja agar bisa bekerja secara autorun dan multitasking. Satu dua orang yang dengan sadar berusaha menjadi efektif atas keinginan sendiri, pada akhirnya malah jadi kebanjiran pekerjaan karena dianggap mampu. Contoh gampangnya ketika aku berusaha mengajari staf yang ada, cara membuat rumus excel agar bisa lebih cepat. Hasilnya kalo ada itungan rumit, pekerjaan dilempar ke mejaku. Bila aku bilang itu bukan pekerjaanku dan banyak staf nganggur, jawabannya, "kelamaan, elu aja deh biar cepet..."
HRD juga begitu gampang menandatangani surat peringatan ke karyawan, tanpa ada keinginan untuk mencari akar permasalahannya terlebih dulu. Jadinya terkesan HRD bukan divisi yang mendidik karyawan, tapi memamerkan arogansi bahwa dia punya kuasa atas orang lain. Alasan yang paling sering keluar bila aku pertanyakan itu adalah, "gampang cari karyawan baru..."
Waktu aku duduk di HRD dulu, kayaknya pelit banget dengan yang namanya SP. Setiap karyawan bermasalah, biasanya aku telusur latar belakangnya dari teman atau keluarganya bila memungkinkan. Aku perlu tahu apakah karyawan itu sedang ada masalah keluarga atau hal lainnya. Bila ternyata kesalahan kerjanya memang karena ndableg, baru aku berani keluarin SP. Kalo karyawan tak bisa kerja karena masalah ketrampilan atau ketiadaan alat, aku segera carikan solusinya. Prinsipku, semakin banyak SP aku keluarkan, semakin buruk raportku. Karena itu merupakan bukti bahwa aku tidak bisa membina karyawan untuk bekerja lebih baik.
Menumpuknya surat lamaran yang masuk membuat mereka menganggap urusan karyawan itu gampang. Misalnya ketika ada karyawan yang minta naik gaji, mereka lebih suka tidak memperpanjang kontrak dan cari orang baru yang mau dibayar murah. Tidak diperhitungkan berapa produktifitas dia dalam nilai rupiah dan dibandingkan rasionya dengan kenaikan gaji yang dia minta. Kalo memang sepadan, kenapa tidak. Tidak terpikirkan bahwa gonta-ganti karyawan itu boros biaya. Apa ga cape harus bolak balik melatih orang baru dalam jangka waktu relatif pendek.
Rasa kepedulian terhadap perusahaan juga kurang ditumbuhkan. Hal-hal sepele, misalnya pada kasus genset mati. Mentang-mentang statusku teknisi, setiap kali genset mati mereka akan berteriak kepadaku. Kalo ibu-ibu yang di kantor sih wajar. Satpam yang posisinya paling dekat dengan genset pun memilih lari ke kantor untuk laporan. Padahal tidak ada yang rumit dengan genset dan cukup tekan tombol, ga seperti nyalain diesel jadul yang harus memutar engkol dengan tenaga dalam. Laporan ke HRD, jawabannya, "nanti saya tempel pengumuman bahwa genset tanggungjawab satpam. Yang tidak mau, kita kasih SP saja..."
Pusing dengar kata SP, aku lakukan pendekatan per personal ke bagian sekuriti. Awalnya sih ada yang menolak dengan mengatakan itu bukan tugasnya. Sampai aku bilang ini bukan perintah perusahaan, tapi aku yang minta tolong karena pekerjaanku banyak dan dari kantor ke ruang genset lumayan jauh. Ternyata dengan begitu doang, mereka bisa jalan sampai sekarang. Tak perlu SP dan cukup dengan kedekatan pribadi.
Yang masih aku tangani secara sukarela sekarang adalah office boy. Dua minggu kerja dia sudah dapat SP1. Ketika mau diberhentikan, aku bilang ke HRD agar ditahan dulu dengan alasan aku masih butuh dia untuk bantu-bantu pekerjaanku, padahal aslinya tidak. Pelan-pelan aku arahkan agar dia ngerti tugas-tugasnya dengan baik. Dalam waktu seminggu ini dia mulai kelihatan berubah, tidak lagi menyebalkan seperti awal-awalnya.
Ga nyebelin gimana, ketika ditanya kenapa lantai ga pernah dipel, dia jawab tidak ada alat pel. Aku suruh orang logistik beli alat pel, eh sampai beberapa hari kemudian alatnya masih terbungkus rapi di sudut gudang. Pagi-pagi meja ruang meeting berantakan dia cuek saja, alasannya ga ada yang nyuruh, takut ada kertas penting terbuang. Aku suruh dia bersihin meja tiap pagi dan kertas-kertas yang ada agar ditumpuk rapi. Besok paginya tidak ada lagi aku lihat kertas berserakan di meja, tapi asbak penuh puntung rokok juga cuma ditumpuk, puntungnya ga dibuang. Haduh...
Meja sudah beres, masalah berganti ke dispenser. Dua hari galon kosong tidak ada yang mau ganti. Aku ga banyak nanya karena pasti jawabannya tidak ada yang nyuruh. Jadi langsung aku suruh dia mengganti galon setiap kali kelihatan kosong. Kemarin sore aku lihat galon hampir kosong dan pagi ini sudah diganti galon baru. Asiiik...
Tapi...
Pas aku mau bikin teh, ternyata airnya gak ngocor.
Penasaran aku angkat tuh galon dari dispenser.
Hoalah, jebul tutup galonnya masih terpasang rapi...
Tape deh...
Sabar mas Rawin
BalasHapusmungkin emang baiknya mas Rawin itu di HRD aja
biar lebih teratur...
analisanya.. muantaf!!
BalasHapushahaha,kaciannnnnn..
BalasHapusOrang-orang seperti mas Rawins inilah yang diperlukan negeri ini :)
kaya`nya perlu aku kirim email ke HRD`ku nich....,, ;D
BalasHapus