12 Februari 2011

Rokok & Parang Menghadang

Walau lingkungan di sekitarku merupakan hutan yang tak berpenghuni, tetap saja perlu kehati-hatian tinggi ketika harus masuk hutan untuk keperluan survai misalnya. Salah tebang pohon sedikit, bisa ada parang teracung di depan hidung.

Awalnya aku sempat bingung ketika ada orang nongol dari hutan dan marah-marah saat tim survei membabat semak untuk pasang tripod. Yang aku tahu wilayah itu merupakan hutan negara yang sudah dibebaskan untuk kegiatan pertambangan. Ternyata orang kantor juga yang pekok dan pembayaran pembebasan lahan ke penduduk setempat belum kelar. Pantes saja ada yang ngamuk-ngamuk.

Setelah insiden yang akhirnya bisa didamaikan itu, kepala tim survai itu cerita tentang adat istiadat disini. Biarpun hutan itu berstatus tanah negara, tapi bila leluhurnya pernah membuka ladang disitu, berarti secara adat itu tanah keluarga mereka yang akan dikuasai turun temurun. Walau mungkin ladangnya sudah kembali menjadi hutan, masyarakat adat Dayak tetap menganggap itu sebagai tanah keluarga. Makanya ketika persyaratan administrasi kepada negara sudah beres, tetap saja perusahaan pertambangan harus menyelesaikan pembebasan tanah adat itu agar tidak menjadi masalah di kemudian hari. Karena orang Dayak begitu kukuh mempertahankan tanah adat mereka. Menebang satu pohon saja bisa berakibat fatal.

Hasil ngobrol sana sini dengan masyarakat setempat, akhirnya aku dapat sedikit cara yang baik untuk mengatasi masalah itu. Bila terpaksa harus menghadapi penduduk hutan yang marah apalagi dengan parang sudah tercabut dari sarungnya, sebaiknya dihadapi oleh orang yang tertua. Orang Dayak memang memiliki penghormatan khusus kepada orang yang lebih tua, sehingga lebih mudah untuk menurunkan tegangan mereka. Kalopun terpaksa tidak ada orang tua, keluarkan saja rokok dan ajak mereka bicara pelan sambil merokok bareng. Asal mereka sudah tidak lagi marah, selanjutnya tidak terlalu sulit karena orang Dayak sebenarnya bersifat lembut dan hanya garang saat mereka merasa terusik. Tinggal kita nego saja penggantian pohon yang sudah keburu ditebang, walau kadang menyebalkan juga. Masa pohon segede upil juga ikut diitung...

Sejak saat itu, setiap kali ada pekerjaan survai ke tengah hutan, aku selalu mengantongi paling tidak 2 bungkus rokok. Aku sudah tidak terlalu percaya lagi dengan info dari orang kantor tentang pembayaran pembebasan lahan. Mungkin memang ada kebiasaan di pengusaha kita untuk menjarah kekayaan alam melewati batas wilayah lahan yang sudah disepakati dengan pemerintah. Koordinat yang mereka berikan kadang harus bolak-balik dikonfirmasikan. Mereka sih cuma mikir duitnya saja, sedangkan resiko yang mengarah ke ancaman fisik, biar saja orang lapangan yang kena getahnya.

Makanya sebelum memulai pekerjaan, aku berusaha mencari gubuk peladang tengah hutan terdekat dengan lokasi sasaran terlebih dulu. Ngobrol-ngobrol dengan bahasa yang ga jelas untuk menanyakan status tanah sambil menawari rokok tentunya. Mereka akan begitu ramah menerima kita sebagai tamu. Apalagi kalo rokok itu kemudian kita berikan kepada mereka. Tak jarang mereka ikut bantu membabat semak bila lokasinya tak terlalu jauh dari gubuknya.

Selanjutnya jadi aman sih.
Tidak ada lagi parang menghadang.

Tapi...
Lama-lama aku kembali merokok lagi neh kayaknya..

7 comments:

  1. hemmm,....sebaiknya rokoknya kasihin untuk mereka saja, gak usah tertular kebiasaan merokoknya ^^

    BalasHapus
  2. setuju ama Bunda Irma Senja... :)
    kalo misal alasannya nggak enak... masa' ngasih rokok tp nggak ikut rokokan... erm... ajak temen yg ngerokok jadi Om nggak perlu sampe rokokan hihihi :P

    BalasHapus
  3. ternyata ROKOK bermanfaat juga ya.. hehe

    BalasHapus
  4. ternyata ROKOK bermanfaat juga ya.. hehe

    BalasHapus
  5. Hanya dengan roko???
    Benar itu pecandu roko..
    Aku juga pecandu roko kalu ngeblog ga ngeroko ga asik, apalagi sama kopi,,maknyus..hehe

    BalasHapus
  6. Karena urusan babat-membabat sudah selesai, perusahaan tempat saya kerja cukup aman dalam bekerja. Prinsipnya, sih, adalah saling menghormati. Analoginya begini, ada orang asing masuk ke wilayah sumber kehidupan kita lalu mengacak-acak tanpa deal saling menguntungkan. Siapa yang tidak akan marah? Pada dasarnya penduduk setempat adalah baik karena belum banyak terkontaminasi perilaku luar lingkungannya. Salam.

    BalasHapus
  7. hmmm...jadi kangen waktu dulu masih kerja di proyek dan masuk2 hutan di dekat desa penduduk...

    sebenarnya masyarakat lokal seperti mereka bisa ramah kalau kita sering bercengkrama dengan mereka sepanjang pengalaman saya kerja di tempat2 seperti mas rawin sekarang bekerja...

    BalasHapus

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena