Akhir Desember…
Satu tahun lalu…
Berbagai masalah mendera. Orang yang seharusnya menjadi teman terbaikku pun ikut menjerumuskan hidup ke dalam persoalan yang tiada henti. Dan mencapai klimaksnya ketika aku harus terusir dari rumah diantar tangisan. Demi jagoanku bisa terus sekolah dan tidak dibawa pergi dari kota kecilku, kutinggalkan rumah, keluarga, usaha dan segala yang pernah ku miliki. Hanya sebuah ransel butut berisi dua stel kaos yang dicampakkan ke lantai yang aku bawa.
Beberapa hari aku merenung di CyberNet tempatku berteduh sementara aku mencari bekal penyambung hidup. Sampai akhirnya aku putuskan untuk hijrah mencari kehidupan baru. Dan aku pun pergi dari kota kecil penuh kenangan itu tanpa teman, tanpa ucapan selamat jalan, bahkan tanpa identitas, apalagi dompet. Hanya ransel butut pembungkus kepedihan dan bayang tangis jagoan saja yang aku bawa.
Terlunta-lunta dari kota ke kota kujalani. Tanpa bekal memadai membuatku kadang harus bertahan di suatu tempat hanya untuk mencari pengganjal perut. Banjar, Tasik, Bandung, Jakarta, Tangerang, Solo, Jogja dan akhirnya kembali ke Jakarta dengan satu tekad yang makin membulat.
Aku tak boleh setengah-setengah mendobrak cobaan ini. Aku putus hubungan ke semua yang pernah aku kenal. Teman, keluarga dan semua yang pernah dekat bahkan tak tahu dimana keberadaanku. Aku harus benar-benar menjadi bayi yang tak memiliki daya apa-apa. Aku harus memulai semuanya dari titik paling minimal.
Jalan layang dan anak-anak jalanan sebelah halte busway Central Senen adalah pengisi hari-hari awal aku memulai kehidupan baru. Anak-anak yang sebenarnya belum boleh merasakan kerasnya hidup menjadi pendorongku untuk bisa bangkit dan belajar merangkak. Saat itu aku bertekad untuk bisa bangkit dalam waktu dua tahun.
Kehidupan Ibu Kota yang katanya keras malah mendekatkanku dengan teman-teman baru dan teman-teman yang selama ini hanya aku kenal di internet. Dari sekedar kerja serabutan angkat junjung karung di Pasar Senen, mengobrak abrik instalasi listrik atau komputer, akhirnya aku bisa duduk di belakang meja komputer admin website di ManetVision berkat bantuan Kang Maya. Disana aku bisa banyak belajar tentang marketing kepada Pak Roni Yuzirman founder TDA Community. Apalagi urusan jualan busana muslim, aku tak punya pengalaman sama sekali.
Dibantu Lik Ihin aku bisa mengontrak sebuah kamar kosong di bilangan Asyirot. Dari Kanthong, teman lama mantan pasukanku di Purwokerto dulu aku bisa mendapat satu unit CPU untuk menemani hari-hari sepiku dengan monitor pinjaman dari StarLight Printing. Support dari teman-teman AMIKOM Yogyakarta dengan buku-bukunya sangat mendukung proses pembelajaranku.
Kebiasaan nebeng internet di StarLight telah menarik perhatian komandan SA Communication dan menawariku untuk bekerja freelance menyiapkan sebuah website untuk usaha barunya. Aku minta waktu 3 bulan untuk mengorbitkan bakal website di mesin pencari. Dan sebulan berikutnya untuk beberapa keyword yang ditarget, website Tujuh Bintang sudah masuk di halaman pertama google.
Sampai akhirnya aku dilempar ke Jogja untuk membangun sebuah galeri dari nol dengan dukungan total juragan SAComm dan pasukan tukang dibawah kendali pak Wahidin. Dunia seni rupa yang merupakan hal baru bagiku tak membuatku surut. Petunjuk dari Bapak Sumadji dan seniman-seniman Jokja mampu membuka mataku tentang nilai sebuah seni kehidupan.
Geliat kehidupan Jokja telah benar-benar menarik hatiku untuk menetap. Aku putuskan untuk tidak kembali ke Jakarta apapun resikonya. Jokja teramat damai buatku. Aura magis titik nol kota ini membawa kedamaian yang telah mampu menepis segala gundahku akan sebuah kenyataan bahwa aku masih saja hidup dalam kesendirian.
Menjelang Lebaran…
Sepuluh bulan kemudian …
Sejak awal aku bertekad untuk menghilang dari masa laluku, aku begitu berkeras hati untuk tidak muncul di kehidupan lampau sebelum aku mencapai apa yang aku targetkan tentang kesuksesan dan ambisi pribadi. Tapi entah kenapa, menjelang lebaran aku mendapat berita, jagoanku sakit.
Segala bentuk kekerasan hati tak mampu untuk menolak kuatnya dorongan untuk pulang, apapun yang terjadi. Tanpa ada rencana dari semula, kuterobos kemacetan melawan arus mudik hanya untuk jagoanku. Berjuta pilu disela kebahagiaan menyentak. Apalagi kalau teringat ucapan jagoanku ketika ku tanya kenapa sakit. “Habis, dibilang ayah sudah mati….”
Usai melepas kerinduan, aku teringat akan janjiku Desember itu tentang hadiah ulang tahunnya yang tertunda. Act Of War Direct Action. Sebuah game yang lama dia idam-idamkan. Setelah itu, entah menagih entah bergurau, jagoanku menagih hadiah keduanya. “Casing barunya mana, yah…?”
Aku terdiam.
Lama aku terdiam sampai aku bersimpuh di pangkuan orang yang telah melahirkanku dengan kondisi yang teramat jauh dengan ketika aku tinggalkan dulu. Semoga Tuhan memaafkan dosaku, Ibu…
Desember ini…
Ketika orang lain sibuk muter beteng keraton atau ngalap berkah di Parangtritis di malam satu sura, aku malah termangu di angkringan jagung bakar alun-alun utara. Semua gambaran selama setahun ini tak mau berhenti berkelebat satu persatu. Perlahan-lahan aku mencoba mengurai semua benang kusut itu.
Malam tadi, entah kenapa aku seperti ada yang mengajak berbicara ketika aku sendiri. Ada banyak pencerahan tentang masa lalu dan masa depan. Sampai ketika aku memutuskan untuk beranjak ke tempat tidur, aku seolah telah memiliki sebuah kebulatan hati untuk menutup 2008 dan membuat sebuah rencana untuk 2009.
Aku memang membuat target dua tahun. Tapi setelah satu tahun kujalani, walau belum berlebih, aku sudah tidak merasa kurang. Sudah saatnya aku rem segala ambisi akan karir dan pekerjaan. Buatku ini terlalu cepat. Sungguh terlalu cepat. Apa yang kudapatkan sekarang kuanggap cukup.
Sudahlah…
Aku cukup untuk mengejar dunia walau belum genap dua tahun pengejaranku. Lebih baik 2009 ini aku targetkan untuk mendekatkan diri pada yang selama ini terlupakan. Tuhan… Aku ingin segalanya berjalan seimbang.
Aku juga sadar akan kesepian hati. Terlebih bila ingat tagihan dari jagoanku yang kini terkekang tentang sosok lembut yang juga dia rindukan. Sudah masanya aku memikirkan itu. Aku juga merindukan sebuah kelembutan hati. Kebahagiaan lahir sudah aku dapatkan. Aku harus adil untuk segera membahagiakan batinku juga.
Sampai setahun ke depan harus kudapatkan itu.. Dan aku harus mulai merubah sikap dan ucapanku yang selama ini begitu sembarangan asal nyeplos. Siapapun asal itu perempuan kadang aku tanya mau jadi istriku tidak, padahal itu hanya ucapan kosong. Entah dengan perasaan apa teman-teman baikku itu menerima segala celoteh ngawurku itu. Maafkan aku teman…
Aku harus mulai bisa melihat ke sekeliling. Bukan untuk mencari seorang pendamping hidup semata. Melainkan sosok ibu yang mampu menerima kenyataan bahwa jagoanku itu ada dan merindukannya juga. Hanya itu. Aku tak membutuhkan figur sempurna yang mungkin tak pernah ada. Cukup sebuah kesederhanaan yang membawa kedamaian dengan Bunga Terakhir ini.
Hanya itu harapanku..
Di awal tahun yang baru…
Terima kasih kepada Lik Ihin atas segalanya, Kang Maya atas informasinya, Kang Khamshe atas nasi kucingnya, Mas Guru Ali Rahmat atas segala petuahnya, Kang Pacul atas bantuan galonnya, Mas Semar atas HPnya, Bung Yossy atas pecel curingnya, Yu Sopi atas tajilannya, Yu Ropi atas nasehatnya, Yu Windie atas sponsornya, Yu Rossy atas dukungannya, Tukangebeg dan Chay Dhanis atas menghilangnya, Kanthong atas CPU dan segala supportnya, Blendhonk atas bantuan websitenya, Pak Kartiman dan Cybernetnya, Pak Albert dan programmer Alvantys, Pak Roni dan staf ManetVision, Bu Sari dan balakurawa Starlight, Pak Sapto dan pasukan SAComm, Ibu Dai atas motivasinya, Dr Tata atas makan malamnya, Pak RT atas KTP tembakannya, Pak Sumadji dan kru Tujuh Bintang, Ureng-ureng Multiply dan blogger serta semuanya yang tak mungkin aku sebutkan satu persatu. Tanpa kalian membantuku bangkit selama setahun ini, mungkin aku belum bisa seperti ini. Semoga Yang Di Atas sana bisa mengerti permintaanku akan kalian, seperti kemudahan jalan yang kuterima selama setahun ini.
Amiiin…
Read More
Satu tahun lalu…
Berbagai masalah mendera. Orang yang seharusnya menjadi teman terbaikku pun ikut menjerumuskan hidup ke dalam persoalan yang tiada henti. Dan mencapai klimaksnya ketika aku harus terusir dari rumah diantar tangisan. Demi jagoanku bisa terus sekolah dan tidak dibawa pergi dari kota kecilku, kutinggalkan rumah, keluarga, usaha dan segala yang pernah ku miliki. Hanya sebuah ransel butut berisi dua stel kaos yang dicampakkan ke lantai yang aku bawa.
Beberapa hari aku merenung di CyberNet tempatku berteduh sementara aku mencari bekal penyambung hidup. Sampai akhirnya aku putuskan untuk hijrah mencari kehidupan baru. Dan aku pun pergi dari kota kecil penuh kenangan itu tanpa teman, tanpa ucapan selamat jalan, bahkan tanpa identitas, apalagi dompet. Hanya ransel butut pembungkus kepedihan dan bayang tangis jagoan saja yang aku bawa.
Terlunta-lunta dari kota ke kota kujalani. Tanpa bekal memadai membuatku kadang harus bertahan di suatu tempat hanya untuk mencari pengganjal perut. Banjar, Tasik, Bandung, Jakarta, Tangerang, Solo, Jogja dan akhirnya kembali ke Jakarta dengan satu tekad yang makin membulat.
Aku tak boleh setengah-setengah mendobrak cobaan ini. Aku putus hubungan ke semua yang pernah aku kenal. Teman, keluarga dan semua yang pernah dekat bahkan tak tahu dimana keberadaanku. Aku harus benar-benar menjadi bayi yang tak memiliki daya apa-apa. Aku harus memulai semuanya dari titik paling minimal.
Jalan layang dan anak-anak jalanan sebelah halte busway Central Senen adalah pengisi hari-hari awal aku memulai kehidupan baru. Anak-anak yang sebenarnya belum boleh merasakan kerasnya hidup menjadi pendorongku untuk bisa bangkit dan belajar merangkak. Saat itu aku bertekad untuk bisa bangkit dalam waktu dua tahun.
Kehidupan Ibu Kota yang katanya keras malah mendekatkanku dengan teman-teman baru dan teman-teman yang selama ini hanya aku kenal di internet. Dari sekedar kerja serabutan angkat junjung karung di Pasar Senen, mengobrak abrik instalasi listrik atau komputer, akhirnya aku bisa duduk di belakang meja komputer admin website di ManetVision berkat bantuan Kang Maya. Disana aku bisa banyak belajar tentang marketing kepada Pak Roni Yuzirman founder TDA Community. Apalagi urusan jualan busana muslim, aku tak punya pengalaman sama sekali.
Dibantu Lik Ihin aku bisa mengontrak sebuah kamar kosong di bilangan Asyirot. Dari Kanthong, teman lama mantan pasukanku di Purwokerto dulu aku bisa mendapat satu unit CPU untuk menemani hari-hari sepiku dengan monitor pinjaman dari StarLight Printing. Support dari teman-teman AMIKOM Yogyakarta dengan buku-bukunya sangat mendukung proses pembelajaranku.
Kebiasaan nebeng internet di StarLight telah menarik perhatian komandan SA Communication dan menawariku untuk bekerja freelance menyiapkan sebuah website untuk usaha barunya. Aku minta waktu 3 bulan untuk mengorbitkan bakal website di mesin pencari. Dan sebulan berikutnya untuk beberapa keyword yang ditarget, website Tujuh Bintang sudah masuk di halaman pertama google.
Sampai akhirnya aku dilempar ke Jogja untuk membangun sebuah galeri dari nol dengan dukungan total juragan SAComm dan pasukan tukang dibawah kendali pak Wahidin. Dunia seni rupa yang merupakan hal baru bagiku tak membuatku surut. Petunjuk dari Bapak Sumadji dan seniman-seniman Jokja mampu membuka mataku tentang nilai sebuah seni kehidupan.
Geliat kehidupan Jokja telah benar-benar menarik hatiku untuk menetap. Aku putuskan untuk tidak kembali ke Jakarta apapun resikonya. Jokja teramat damai buatku. Aura magis titik nol kota ini membawa kedamaian yang telah mampu menepis segala gundahku akan sebuah kenyataan bahwa aku masih saja hidup dalam kesendirian.
Menjelang Lebaran…
Sepuluh bulan kemudian …
Sejak awal aku bertekad untuk menghilang dari masa laluku, aku begitu berkeras hati untuk tidak muncul di kehidupan lampau sebelum aku mencapai apa yang aku targetkan tentang kesuksesan dan ambisi pribadi. Tapi entah kenapa, menjelang lebaran aku mendapat berita, jagoanku sakit.
Segala bentuk kekerasan hati tak mampu untuk menolak kuatnya dorongan untuk pulang, apapun yang terjadi. Tanpa ada rencana dari semula, kuterobos kemacetan melawan arus mudik hanya untuk jagoanku. Berjuta pilu disela kebahagiaan menyentak. Apalagi kalau teringat ucapan jagoanku ketika ku tanya kenapa sakit. “Habis, dibilang ayah sudah mati….”
Usai melepas kerinduan, aku teringat akan janjiku Desember itu tentang hadiah ulang tahunnya yang tertunda. Act Of War Direct Action. Sebuah game yang lama dia idam-idamkan. Setelah itu, entah menagih entah bergurau, jagoanku menagih hadiah keduanya. “Casing barunya mana, yah…?”
Aku terdiam.
Lama aku terdiam sampai aku bersimpuh di pangkuan orang yang telah melahirkanku dengan kondisi yang teramat jauh dengan ketika aku tinggalkan dulu. Semoga Tuhan memaafkan dosaku, Ibu…
Desember ini…
Ketika orang lain sibuk muter beteng keraton atau ngalap berkah di Parangtritis di malam satu sura, aku malah termangu di angkringan jagung bakar alun-alun utara. Semua gambaran selama setahun ini tak mau berhenti berkelebat satu persatu. Perlahan-lahan aku mencoba mengurai semua benang kusut itu.
Malam tadi, entah kenapa aku seperti ada yang mengajak berbicara ketika aku sendiri. Ada banyak pencerahan tentang masa lalu dan masa depan. Sampai ketika aku memutuskan untuk beranjak ke tempat tidur, aku seolah telah memiliki sebuah kebulatan hati untuk menutup 2008 dan membuat sebuah rencana untuk 2009.
Aku memang membuat target dua tahun. Tapi setelah satu tahun kujalani, walau belum berlebih, aku sudah tidak merasa kurang. Sudah saatnya aku rem segala ambisi akan karir dan pekerjaan. Buatku ini terlalu cepat. Sungguh terlalu cepat. Apa yang kudapatkan sekarang kuanggap cukup.
Sudahlah…
Aku cukup untuk mengejar dunia walau belum genap dua tahun pengejaranku. Lebih baik 2009 ini aku targetkan untuk mendekatkan diri pada yang selama ini terlupakan. Tuhan… Aku ingin segalanya berjalan seimbang.
Aku juga sadar akan kesepian hati. Terlebih bila ingat tagihan dari jagoanku yang kini terkekang tentang sosok lembut yang juga dia rindukan. Sudah masanya aku memikirkan itu. Aku juga merindukan sebuah kelembutan hati. Kebahagiaan lahir sudah aku dapatkan. Aku harus adil untuk segera membahagiakan batinku juga.
Sampai setahun ke depan harus kudapatkan itu.. Dan aku harus mulai merubah sikap dan ucapanku yang selama ini begitu sembarangan asal nyeplos. Siapapun asal itu perempuan kadang aku tanya mau jadi istriku tidak, padahal itu hanya ucapan kosong. Entah dengan perasaan apa teman-teman baikku itu menerima segala celoteh ngawurku itu. Maafkan aku teman…
Aku harus mulai bisa melihat ke sekeliling. Bukan untuk mencari seorang pendamping hidup semata. Melainkan sosok ibu yang mampu menerima kenyataan bahwa jagoanku itu ada dan merindukannya juga. Hanya itu. Aku tak membutuhkan figur sempurna yang mungkin tak pernah ada. Cukup sebuah kesederhanaan yang membawa kedamaian dengan Bunga Terakhir ini.
Hanya itu harapanku..
Di awal tahun yang baru…
Terima kasih kepada Lik Ihin atas segalanya, Kang Maya atas informasinya, Kang Khamshe atas nasi kucingnya, Mas Guru Ali Rahmat atas segala petuahnya, Kang Pacul atas bantuan galonnya, Mas Semar atas HPnya, Bung Yossy atas pecel curingnya, Yu Sopi atas tajilannya, Yu Ropi atas nasehatnya, Yu Windie atas sponsornya, Yu Rossy atas dukungannya, Tukangebeg dan Chay Dhanis atas menghilangnya, Kanthong atas CPU dan segala supportnya, Blendhonk atas bantuan websitenya, Pak Kartiman dan Cybernetnya, Pak Albert dan programmer Alvantys, Pak Roni dan staf ManetVision, Bu Sari dan balakurawa Starlight, Pak Sapto dan pasukan SAComm, Ibu Dai atas motivasinya, Dr Tata atas makan malamnya, Pak RT atas KTP tembakannya, Pak Sumadji dan kru Tujuh Bintang, Ureng-ureng Multiply dan blogger serta semuanya yang tak mungkin aku sebutkan satu persatu. Tanpa kalian membantuku bangkit selama setahun ini, mungkin aku belum bisa seperti ini. Semoga Yang Di Atas sana bisa mengerti permintaanku akan kalian, seperti kemudahan jalan yang kuterima selama setahun ini.
Amiiin…