Menjemput Mang Maya di stasiun Tugu, masih saja berkutat dalam cerita lamanya Mang Iwan, "kereta terlambat, dua jam cerita lama..."
Memang itu sebuah cerita lama. Bagaimanapun juga, kereta api tak pernah bisa lepas dari kehidupanku. Aku lahir dan dibesarkan di pinggir rel jalur SS Bandung Jogjakarta. Transportasi utama di daerahku dulu adalah kereta uap yang biasa aku sebut sepur ireng jurusan Banjar Kroya. Untuk tujuan kota besar aku mengenal kereta snal atau sepur disel yang tak lagi menggunakan kayu bakar. Adalagi sepur ekspress yang beberapa diantaranya masih bertahan sampai sekarang seperti Mutiara Selatan.
Kakekku seorang kondektur kereta, sehingga aku bisa punya fasilitas naik kereta gratis menggunakan kartu KBD untuk sepur kluthuk dan kartu SAP untuk sepur diesel. Tapi maaf, kedua kartu itu singkatan dari apa, aku tak pernah tahu. Tahunya kalo mau naik kereta, aku pinjam kartu ke pak lek atau bu lek.
Tak pernah ada kosakata kereta terlambat dalam kamus masyarakat sekitar rel. Apalagi istilah delay, tak dikenal sama sekali. Ketika kereta belum nongol pada jam seharusnya dia datang, orang akan mengatakan keretanya batal. Selama apapun sepurku batal, selama itu pula orang akan menunggu dengan setia tanpa banyak ngomel. Kesetiaan orang menunggu sepur ireng, sampai menjadi sebuah peribahasa. Hitam hitam kereta api, biar hitam banyak yang menanti. Padahal gandengannya banyak...
Tentang perjalanan kereta, yang paling berkesan adalah jaman kereta jurusan Banjar Pangandaran masih berjalan. Berangkat dari Banjar subuh dan masuk daerah Kalipucang pagi hari. Saat di jembatan Cikacepit, keindahan panorama pantai laut selatan di bawah sangatlah indah. Ada juga terowongan Wilhelmina dan Juliana dimana salah satunya adalah terowongan terpanjang di Indonesia. Terakhir aku naik kereta wisata itu ketika aku masih SD. Dan sepertinya tak akan terulang lagi. Apalagi sekarang rel dan jembatannya sudah habis dijarah orang.
Kedekatan masyarakat di sekitar rel bagaikan simbiosis mutualisma yang tak semata berorientasi bisnis seperti di masa kini. Masyarakat boleh bercocok tanam di tanah PJKA tanpa dipatok harga sewa lahan, selain upeti ala kadarnya setiap kali panen ke kepala stasiun. Masyarakat juga aktif menjaga lingkungan seputaran rel dari gangguan atau kerusakan kecil yang terjadi, misalkan ada baut rel lepas atau tanah longsor tergerus air hujan. Begitu dekatnya masyarakat dengan kereta, sampai ada teman kecilku yang diberi nama Siska. Karena lahir di sisi jalan kareta.
Masyarakat saat itu juga sangat membantu pekerjaan band skower (semoga tidak salah nulis), petugas pengontrol rel yang secara rutin berjalan kaki antar stasiun tak kenal siang atau malam. Walau tak ada perjanjian tertulis, ada beberapa hal yang seolah menjadi peraturan di masyarakat. Misalnya tidak ada yang bermain-main dengan lampu berwarna merah dekat rel, karena itu merupakan pemberitahuan bahaya.
Pernah juga sih, kejadian ada tetangga baru yang bikin warung nasi di sebelah rel. Karena sebelumnya bukan warga sekitar rel, dia belum banyak tau aturan-aturan tak tertulis itu. Dengan santainya dia menjemur lap-lap miliknya di dekat rel. Saat memeras dan mengebutkan lap merah, ada kereta lewat dan masinis buruan berhenti lalu nyamperin si ibu menanyakan tanda bahaya yang dimaksud. "ada apa, bu..?"
"baru ada lontong dan mendoan saja, pak. Belum pada mateng, warungnya baru aja buka..."
Mobile Post via XPeria
Memang itu sebuah cerita lama. Bagaimanapun juga, kereta api tak pernah bisa lepas dari kehidupanku. Aku lahir dan dibesarkan di pinggir rel jalur SS Bandung Jogjakarta. Transportasi utama di daerahku dulu adalah kereta uap yang biasa aku sebut sepur ireng jurusan Banjar Kroya. Untuk tujuan kota besar aku mengenal kereta snal atau sepur disel yang tak lagi menggunakan kayu bakar. Adalagi sepur ekspress yang beberapa diantaranya masih bertahan sampai sekarang seperti Mutiara Selatan.
Kakekku seorang kondektur kereta, sehingga aku bisa punya fasilitas naik kereta gratis menggunakan kartu KBD untuk sepur kluthuk dan kartu SAP untuk sepur diesel. Tapi maaf, kedua kartu itu singkatan dari apa, aku tak pernah tahu. Tahunya kalo mau naik kereta, aku pinjam kartu ke pak lek atau bu lek.
Tak pernah ada kosakata kereta terlambat dalam kamus masyarakat sekitar rel. Apalagi istilah delay, tak dikenal sama sekali. Ketika kereta belum nongol pada jam seharusnya dia datang, orang akan mengatakan keretanya batal. Selama apapun sepurku batal, selama itu pula orang akan menunggu dengan setia tanpa banyak ngomel. Kesetiaan orang menunggu sepur ireng, sampai menjadi sebuah peribahasa. Hitam hitam kereta api, biar hitam banyak yang menanti. Padahal gandengannya banyak...
Tentang perjalanan kereta, yang paling berkesan adalah jaman kereta jurusan Banjar Pangandaran masih berjalan. Berangkat dari Banjar subuh dan masuk daerah Kalipucang pagi hari. Saat di jembatan Cikacepit, keindahan panorama pantai laut selatan di bawah sangatlah indah. Ada juga terowongan Wilhelmina dan Juliana dimana salah satunya adalah terowongan terpanjang di Indonesia. Terakhir aku naik kereta wisata itu ketika aku masih SD. Dan sepertinya tak akan terulang lagi. Apalagi sekarang rel dan jembatannya sudah habis dijarah orang.
Kedekatan masyarakat di sekitar rel bagaikan simbiosis mutualisma yang tak semata berorientasi bisnis seperti di masa kini. Masyarakat boleh bercocok tanam di tanah PJKA tanpa dipatok harga sewa lahan, selain upeti ala kadarnya setiap kali panen ke kepala stasiun. Masyarakat juga aktif menjaga lingkungan seputaran rel dari gangguan atau kerusakan kecil yang terjadi, misalkan ada baut rel lepas atau tanah longsor tergerus air hujan. Begitu dekatnya masyarakat dengan kereta, sampai ada teman kecilku yang diberi nama Siska. Karena lahir di sisi jalan kareta.
Masyarakat saat itu juga sangat membantu pekerjaan band skower (semoga tidak salah nulis), petugas pengontrol rel yang secara rutin berjalan kaki antar stasiun tak kenal siang atau malam. Walau tak ada perjanjian tertulis, ada beberapa hal yang seolah menjadi peraturan di masyarakat. Misalnya tidak ada yang bermain-main dengan lampu berwarna merah dekat rel, karena itu merupakan pemberitahuan bahaya.
Pernah juga sih, kejadian ada tetangga baru yang bikin warung nasi di sebelah rel. Karena sebelumnya bukan warga sekitar rel, dia belum banyak tau aturan-aturan tak tertulis itu. Dengan santainya dia menjemur lap-lap miliknya di dekat rel. Saat memeras dan mengebutkan lap merah, ada kereta lewat dan masinis buruan berhenti lalu nyamperin si ibu menanyakan tanda bahaya yang dimaksud. "ada apa, bu..?"
"baru ada lontong dan mendoan saja, pak. Belum pada mateng, warungnya baru aja buka..."
Mobile Post via XPeria
Kalo kereta api sih seringnya berangkatnya tepat waktu, tapi kalo nyampenya selalu telat.. saya bilang selalu, soalnya sering make kereta dan nyampe tidak pernah tepat waktu
BalasHapusterima kasih gan buat infonya , salam kenal aja gan
BalasHapusaku juga kangen naik kereta api. Dulu wkt msh kuliah di bdg, hampir tiap minggu pulang ke jkt naik kereta api parahyangan wkt jaman msh jaya2nya. Stlh aku lulus, baru ada toll cipularang, parahiyangan jd sepi eh skrg malah di tutup gara2 bangkrut *sedih*
BalasHapustulisan yang bagus mas, salam kenal ya
BalasHapushihihi...
BalasHapuskalimat penutup nya bisaaaa ajah....
aku pikir ini kangen kereta api yang mana
pasalnya aku jug akangen kereta api dari bandung ke jakarta.. maklum, gerbongnya di kurangi, dan sepertinya sebentar lagi berhenti operasi isunya... kan udah kalah dengan travel yang gak pakai antri tiket dan juga cuma 2 jam perjalanan ^_^