24 Maret 2011

Majelis Suro

Bicara soal kerugian merokok, selama ini kita cuma terpaku pada soal kesehatan dan pemborosan biaya beli rokoknya. Padahal dari sikap dan perilaku perokok, biaya silumannya juga lumayan besar.

Pada waktu jadi kuli macul di Jakarta beberapa waktu lalu, bisa kelihatan saat melepas lelah sejenak di tengah pekerjaan. Yang tidak merokok hanya butuh waktu sedikit untuk mengusap keringat dan minum. Yang perokok, paling tidak butuh waktu 10 menit dengan alasan menghabiskan rokoknya. Apalagi untuk kelas mereka, kebanyakan memilih rokok kretek yang butuh waktu lebih lama untuk menghabiskan sebatang rokok dibanding rokok putih. Lebih parah lagi kalo rokoknya merk tingwe yang harus ngelinting dewe, butuh waktu ekstra juga untuk proses pra merokok.

Untuk level karyawan di gedung berAC pun tak jauh berbeda. Tak tahan menunggu jam istirahat, mereka nyaman saja mencuri waktu untuk keluar ruangan. Mending kalo ruangannya ada toilet atau ruangan khusus merokok, dia bisa mlenyun disitu. Kalo ruangannya di lantai 100 dan harus turun ke halaman, lebih banyak lagi waktu terbuang. Apalagi kalo liftnya lagi rusak dan harus melalui tangga darurat.

Masalah senada juga terasa di tingkat jabatan manajemen. Saat meeting-meeting tiada habisnya di Jakarta kemarin, rapat kadang terganggu oleh salah seorang pejabat yang nyelonong ke mini bar hanya untuk merokok. Saat dia kembali ke meja rapat, tak jarang kita harus jelaskan ulang apa yang telah dibahas saat dia keluar tadi. Sudah gitu dia komplen lagi, sehingga keputusan yang sudah final harus dimentahkan lagi. Benar-benar sebuah pemborosan waktu dan energi yang sulit untuk mereka sadari. Padahal itu dilakukan tak cuma oleh satu dua orang saja.

Tak jarang saat break makan atau ngopi. Begitu kita kembali ke ruangan, terpaksa harus menambah waktu tunggu lebih panjang, karena sebagian pejabat belum masuk dengan alasan menghabiskan rokoknya dulu. Makanya kemaren sempat aku usulkan agar rapat dibagi menjadi 2 majelis agar bisa lebih efektif. Untuk para perokok yang tidak bisa ngempet sampai jam istirahat, agar dimasukan menjadi majelis suro, alias majelis suka rokok.

Heran juga dengan mereka yang gajinya gepokan, tapi membuang setengah batang rokok bekas saja tak mau. Padahal mereka suka bilang waktu adalah uang. Jaman aku masih perokok berat dulu, kayaknya tak pernah susah tuh nahan diri mencari waktu dan tempat yang tepat untuk nglepus.

Tapi cuma merokok lho ya yang aku bisa ngempet.
Kalo dirokok, waduuuh...
No komeng dah..

Gambar pinjem dokumentasi
Tubi Art Award di JNM Gampingan
Tanpa ijin

8 comments:

  1. Hahahahahhahah, dirokok?
    Emanglaaaahhhhhhh

    BalasHapus
  2. saya gak suka ngerokok sich wkwkw

    BalasHapus
  3. saya rasa itu bisa dijadikan pelajaran buat mas Rawins, jadi nanti klo mas Rawins dah jadi Bos en gajinya gede trus nggak sembarangan gitu deh...waktunya kerja ya kerja.

    tul nggak?

    BalasHapus
  4. rokok mmmm bapakku perokok berat dia bilang lebih baik gak makan daripada gak ngerokok *doh*

    BalasHapus
  5. banyak orang ribut soal rokok, aku gak ikutan ah. dulu aku pernah bilang rokok haram, gak taunya ngrokok juga. tapi nggak nyandu sih.

    BalasHapus
  6. Rokok adalah sebuah kebohongan dari peringatan bahayanya sampe orang2 yang ngedukung hingga bahaya rokok yang sebenarnya tersembunyi.Intinya merokok menyiksa dirimu,Merusak otakmu,dan mengurangi produktivitas anak bangsa secara signifikan karna otak rusakDan bukan hanya dirimu yang merokok tapi juga orang disekitarmu yang menghirup asapnya dari rokok yang kau bakar..

    BalasHapus

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena