Katirin Solo Exhibition
Tujuh Bintang Art Space
Jl Sukonandi 7 Yogyakarta
17 April - 2 Mei 2010
Kritik Seni oleh : Suwarno Wisetrotomo
Aktivitas sederhana tetapi berdimensi sosial dan sekaligus spiritual, salah satunya adalah menunggu. Wujud kerjanya sederhana tetapi bisa berdampak kompleks, seperti perasaan marah, jengkel, lelah, bahkan frustrasi. Namun juga bisa berdampak positif seperti terbentuknya pribadi yang lebih matang, jiwa yang lebih kuat dan berkarakter, kesabaran yang lebih lapang, serta kesetiaan yang teruji. Kapan ia, menunggu itu, berdampak positif atau negatif, tentu sangat tergantung dari kualitas pribadi seseorang; apakah seseorang itu memiliki kemampuan mengelola emosi dengan baik, ataukah sebaliknya.
Tujuh Bintang Art Space
Jl Sukonandi 7 Yogyakarta
17 April - 2 Mei 2010
Kritik Seni oleh : Suwarno Wisetrotomo
Aktivitas sederhana tetapi berdimensi sosial dan sekaligus spiritual, salah satunya adalah menunggu. Wujud kerjanya sederhana tetapi bisa berdampak kompleks, seperti perasaan marah, jengkel, lelah, bahkan frustrasi. Namun juga bisa berdampak positif seperti terbentuknya pribadi yang lebih matang, jiwa yang lebih kuat dan berkarakter, kesabaran yang lebih lapang, serta kesetiaan yang teruji. Kapan ia, menunggu itu, berdampak positif atau negatif, tentu sangat tergantung dari kualitas pribadi seseorang; apakah seseorang itu memiliki kemampuan mengelola emosi dengan baik, ataukah sebaliknya.
Aktivitas menunggu terkait erat dengan urusan waktu. Waktu itu konsisten, tak pernah merasa kurang atau lebih. Perbedaan hanya karena persoalan posisi geografis. Namun tak mengubah apapun, kecuali sekadar perbedaan antara wilayah yang satu dengan yang lainnya, yang membuat terjadinya selisih waktu. Maka, menunggu seperti bermain dan dimainkan oleh waktu dengan segenap tegangan. Dalam kehidupan masa kini tegangan itu di wakili oleh kehadiran arloji yang menunjukkan perubahan jam, yang menandakan durasi. Mula-mula dihitung dengan detik, kemudian menit, kemudian jam, yang kait mengkait dengan hari, bulan, tahun, dan abad.
Dalam aktivitas menunggu, maka arloji yang (umumnya) dikenakan di pergelangan tangan menjadi sasaran ekspresi si penunggu; entah menerima makian, entah terus-menerus dipelototi dengan muram, sambil memelihara kegelisahan. Atau sebaliknya, menunggu bisa melatih kesabaran dan mengikat kesetiaan. Aktivitas menunggu berada dalam ruang permainan yang menegangkan semacam itu.
Dari Tubuh ke Waktu
Tubuh adalah jazad yang terbatas. Puncaknya adalah kehancuran fisik setelah kematian. Tak ada yang tersisa kecuali kenangan (atas nilai-nilai) terhadapnya. Kapan semua itu terjadi, adalah urusan Sang Khalik Yang Maha Kuasa. Siapapun hanya mampu mengenang. Kenangan akan berkejaran dengan ingatan yang juga terbatas. Namun waktu berperan mengabadikan peran dan nilai yang pernah diperbuat oleh tubuh. Lebih dari itu, diperlukan tindakan untuk mengabadikan ingatan tersebut. Maka digubahlah sejumlah monumen yang substansinya adalah sebagai peringatan, sebagai kenangan. Meskipun akhirnya digunakan pula sebagai pengukuhan dan penegasan atas peran-peran seseorang yang merasa atau dianggap paling berjasa atau paling penting.
Tubuh sebagai subject matter para perupa, bukanlah hal baru. Karya-karya yang tertera dalam kitab-kitab suci sudah mulai menghadirkan tubuh sebagai gambaran kenyataan, khususnya terkait nama dan peristiwa. Karya-karya era romantisisme, hingga era kontemporer seperti sekarang, tubuh tetap menjadi sumber penciptaan yang menggairahkan. Gagasan dan tendensi yang melatarbelakangi beragam gubahan itu juga berbeda-beda, terus bergerak, seiring dengan pergeseran zaman yang menggeser pula sikap dan pemaknaan terhadap tubuh.
Kini, tubuh-tubuh menghadapi kenyataan yang fana: bergulat dengan waktu dan perubahan, serta keberakhiran. Setiap peristiwa akan berakhir. Dan, setiap akhir merupakan permulaan yang tak pernah bisa diduga atas apa yang akan terjadi. Pergeseran Katirin dapat dimaknai dalam perspektif semacam itu; yakni dari penghayatan atas fisik yang fana, ke persoalan waktu yang baka (abadi). Ia mempersoalkan tubuh dengan cara mengobservasi tubuh dirinya, atau tubuh orang lain (yang memiliki hubungan emosi atau jarak yang intim), untuk mengenali dan memahami, untuk kepentingan menjelaskan perihal menunggu dan waktu.
Meringkus Waktu
Problema yang muncul dalam aktivitas menunggu adalah munculnya hasrat yang besar untuk meringkus sang waktu; ingin mempercepat lajunya, atau (mungkin) ingin mempelambatnya. Ia, sang waktu, tak bisa ditipu, karena waktu tak pernah menipu. Waktu juga tak bisa disuap, agar memenuhi kehendak penggunanya. Waktu tetap setia, dan setia pula menjadi saksi atas semua yang terjadi. Kalaupun kita berhasil mempedaya laju jarum panjang dan pendeknya, dan jarum detiknya, atau bisa meremukkan tabung pasirnya, pada dasarnya yang berubah atau bahkan hancur hanyalah fisiknya. Tetapi esensinya (sang waktu) tetap tak bergeser sedetikpun. Bukankah dengan demikian justru kita yang akhirnya tertipu, atau dengan sangat bodoh kita sedang menipu dirinya sendiri?
Pameran ini lebih menampakkan pergulatan kesenian seorang Katirin dalam menjelajah dan mengobservasi tubuh dalam ruang dan waktu. Menunggu hanyalah sepenggal peristiwa, dari rangkaian waktu yang sesungguhnya mengisyaratkan tentang kesementaraan tubuh. Upaya-upaya untuk meringkus waktu, sesungguhnya hanya akan mubazir. Kecuali jika upaya itu ditujukan untuk berpacu dengan memberinya makna. Tubuh sesungguhnya fana. Dan, nilai-nilai lah yang abadi.
more info :
www.tujuhbintang.com
blog.tujuhbintang.com
0 comments:
Posting Komentar
Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih