07 April 2010

Tanaman Makan Pagar

Krisis ekonomi di akhir 2008 lalu, berimbas teramat keras ke dunia seni, khususnya seni lukis. Kolektor lukisan yang didominasi oleh direktur atau komisaris perusahaan multinasional, secara otomatis mengerem keinginan untuk jajan dan lebih memfokuskan dananya untuk mempertahankan keuangan perusahaan.

Hampir dua tahun kelesuan itu melanda, satu persatu seniman mulai kebentur tembok. Bila sebelumnya mereka fokus berkarya, kini mulai banting setir ke bisnis jual beli. Jual motor atau laptop untuk beli beras.

Galeri sebagai ujung tombak pemasaran karya pun mulai bertumbangan satu persatu. Yang masih eksis pun sudah mulai mengurangi jadwal pameran reguler dari sebulan sekali menjadi dua atau tiga bulan sekali. Fenomena sekarang, karya yang laku adalah lukisan murah 10 juta ke bawah atau karya maestro yang 100 juta ke atas. Memamerkan karya seniman junior jelas tak bisa menutup kebutuhan operasional. Sebaliknya untuk mendapatkan karya seniman senior, susahnya minta ampun. Karena senimannya masih sedikit, sedangkan galeri yang mengejar mereka teramat banyak.

Galeriku yang sejak awal memang memiliki visi untuk mengangkat seniman muda ke kancah dunia, tak lepas juga dari kesulitan finansial. Subsidi yang harus disiapkan setiap bulan lumayan banyak agar tetap eksis. Dan salah satu jalannya adalah dengan mencari sponsor dari perusahaan nasional.

Padahal mencari sponsor semacam ini merupakan hal yang paling menyebalkan buatku. Bukan proses pengajuannya, tapi dalam birokrasi tingkat lanjutnya. Dimana aku harus mempertanggungjawabkan dana yang jauh lebih besar dari yang aku terima.

Misalnya aku mengajukan dana sponsor 100 juta. Paling banter bisa cair 75 juta. Dan aku hanya menerima 50 juta walau tetap harus tanda tangan untuk dana 75 juta. Yang 25 juta adalah bagian mereka yang di perusahaan sponsor itu. Kebiasaan buruk itu sudah menjadi wabah rutin yang tidak bisa ditolak. Tak jarang bila mereka kepepet butuh uang, justru mereka yang menawarkan agar aku ajukan proposal sponsor dengan pesan, "kirimnya ke email yahoo yah, jangan email kantor..."

Kadang aku merasa tidak nyaman dengan kondisi ini. Tetap saja ada rasa bersalah telah menjembatani orang berbuat curang. Tapi bila ini tidak aku lakukan, aku juga kelabakan dengan banyaknya proposal dan keluhan seniman yang mulai kepepet kesulitan memamerkan karya mereka. Tuntutan untuk menjalani hidup lebih bersih berbenturan urusan perutku dan sekian banyak seniman di sekelilingku.

Berteriak-teriak menuntut bantuan pemerintah untuk mengentaskan dunia seni dari keterpurukan, sama saja buang kentut di siang bolong. Tak akan pernah tersentuh selain basa basi yang lebih parah. Seperti ketika aku membuat event yang khusus mengangkat seniman suatu daerah. Surat permohonan bantuan aku kirimkan ke bupati daerah itu. Bukan bantuan operasional yang aku terima, tapi setumpuk map berisi surat perjalanan dinas. Walau yang datang hanya beberapa orang dan tak lama di galeri, tapi surat yang harus aku tandatangani sampai belasan mulai dari anggota DPR, Sekda sampai sopir dan ditambah keterangan beserta istri...

Walau keledai tak pernah jatuh ke lubang yang sama. Tapi ketika urusan perut sudah menuntut, tetap saja kesetiaan pada satu lubang itu tetap dipertahankan. Percuma saja negara ini membuat bermacam-macam pagar pengaman, bila pagarnya saja suka makan tanaman. Jadi terlalu salahkah bila sekali-kali (tapi sering...) tanamannya yang makan pagar..?


1 comments:

  1. cari sponsor memang hal yg g enak...

    moga sukses galerinya...

    have a nice day ^^

    BalasHapus

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena