Ada satu hal yang sering membuat aku ngomel setiap kali mudik. Yaitu kondisi jalan raya di Cilacap...
Cilacap yang punya kilang minyak di ujung Teluk Penyu tak cuma punya fenomena kelangkaan minyak tanah di warung depan Pertamina saja, tapi juga kelangkaan aspal yang notabene limbah atau ampas sisa pengolahan minyak mentah. Jalan beraspal mulus teramat susah disana. Lebih mudah mencari jalan berlubang daripada lubang berjalan.
Teramat jauh dibandingkan dengan Jokja yang tidak punya pabrik aspal. Jalan tikus masuk ke perkampungan pun berhotmix ria. Jalan keluar kota juga lebar dibuat empat jalur yang nyaman. Begitu melewati perbatasan propinsi, mulailah kita harus memutar musik dangdut di mobil agar goyang dombretnya terasa lebih afdol.
Tak heran bila sebagian masyarakat Cilacap, begitu ingin menJokjakan daerahnya terutama untuk urusan jalan raya. Terbukti di sebuah pos ronda di kampung istriku tertulis kata yang Jokja banget, Pos Rondo. Walau orang Jokja sendiri menulisnya sebagai Pos Ronda.
Masalah jalan itulah yang kadang membuatku mengalami kebingungan sukuisme. Aku suka mencela daerah kelahiranku sendiri dan mengagungkan pembangunan Jokja. Sampai-sampai teman-teman sekampungku bertanya, "Emang kamu orang mana..?"
Aku masih bisa bersikukuh membanggakan diri dengan mengeluarkan KTP Jokjaku. Dan aku baru bungkam ketika mereka menukas, "Masa orang Jokja ngomongnya ngapak..?"
Ga urusan lah. Yang penting aku masih bisa tepat mengucapkan Monumen Jokja Kembali. Bukannya Monumen Jokja Balik Maning.
Tapi karena sudah telanjur cinta bahasa Banyumasan.
Kon kepriben, Lik..?
Cilacap yang punya kilang minyak di ujung Teluk Penyu tak cuma punya fenomena kelangkaan minyak tanah di warung depan Pertamina saja, tapi juga kelangkaan aspal yang notabene limbah atau ampas sisa pengolahan minyak mentah. Jalan beraspal mulus teramat susah disana. Lebih mudah mencari jalan berlubang daripada lubang berjalan.
Teramat jauh dibandingkan dengan Jokja yang tidak punya pabrik aspal. Jalan tikus masuk ke perkampungan pun berhotmix ria. Jalan keluar kota juga lebar dibuat empat jalur yang nyaman. Begitu melewati perbatasan propinsi, mulailah kita harus memutar musik dangdut di mobil agar goyang dombretnya terasa lebih afdol.
Tak heran bila sebagian masyarakat Cilacap, begitu ingin menJokjakan daerahnya terutama untuk urusan jalan raya. Terbukti di sebuah pos ronda di kampung istriku tertulis kata yang Jokja banget, Pos Rondo. Walau orang Jokja sendiri menulisnya sebagai Pos Ronda.
Masalah jalan itulah yang kadang membuatku mengalami kebingungan sukuisme. Aku suka mencela daerah kelahiranku sendiri dan mengagungkan pembangunan Jokja. Sampai-sampai teman-teman sekampungku bertanya, "Emang kamu orang mana..?"
Aku masih bisa bersikukuh membanggakan diri dengan mengeluarkan KTP Jokjaku. Dan aku baru bungkam ketika mereka menukas, "Masa orang Jokja ngomongnya ngapak..?"
Ga urusan lah. Yang penting aku masih bisa tepat mengucapkan Monumen Jokja Kembali. Bukannya Monumen Jokja Balik Maning.
Tapi karena sudah telanjur cinta bahasa Banyumasan.
Kon kepriben, Lik..?
aku malah ra mudeng boso ngapak, lek....,, T_T
BalasHapusKene tak ajarin...
BalasHapus