Pekerjaan memberantakin kantor dan ruang pamer akhirnya usai. Beberapa hari lembur sampai dini hari, hari ini terlihat hasilnya. Capek sih, tapi ada kepuasan tersendiri yang susah diungkapkan dengan kata-kata. Apalagi si bos langsung ajak toast begitu datang dari Jakarta.
Tentang pekerjaan yang kadang over dosis ini, istriku pernah mengajakku ngobrol. Katanya, kalo memang terlalu melelahkan, kenapa tidak mencari peluang lain yang lebih manusiawi.
Aku yang pernah beberapa kali usaha sendiri, kadang merindukan juga untuk memulai hidup mandiri lagi. Tapi bila aku ingat dengan kepercayaan yang dibebankan kepadaku, aku jadi urung berpikir lagi. Cari duit memang susah. Tapi menjaga kepercayaan orang lain itu yang lebih susah.
Hampir dua tahun aku ditugaskan mengurus galeri ini, berat untuk meninggalkannya karena memang belum bisa dibilang sukses. Masih banyak yang perlu aku perjuangkan untuk kantorku. Pergi di saat baru setengah jalan, buatku tak ubahnya pecundang yang melarikan diri dari pertempuran.
Apalagi aku pernah beberapa kali kerja ikut orang lain. Minimal aku bisa membanding-bandingkan orang yang aku ikuti. Buatku nominal gaji bukanlah segalanya. Kenyamananku dengan pekerjaan dan atasan menjadi pondasi nomor satu.
Bosku sekarang memang orang yang tidak punya udel, kalo orang Jawa bilang. Beliau seorang pekerja keras yang pantang mundur dan tak pernah mau berhenti memutar otak. Itu yang membuat karyawan-karyawannya keteteran dan banyak yang tak kuat mengikuti lari cepatnya.
Ada satu hal yang sangat membuat aku kagum. Beliau sangat teliti dalam segala hal dan tidak mentolerir kesalahan kecil dalam proses mencapai tujuan. Tapi untuk hasilnya, beliau tak pernah mengharuskan langsung sukses. Karena baginya kesuksesan bukan semata dalam bentuk hasil materi, tapi nilai perjuangannya. Tak masalah usahanya bonyok di hasil akhirnya, asalkan prosesnya sudah di jalan yang benar.
Aku merasa seide dengan pemikiran itu. Walau untuk aku sendiri, itu bukan ide original dari otakku sendiri. Tapi dari salah seorang perempuan yang pernah singgah di hatiku sekitar 20 tahun lalu. Dia menanamkan sebuah pemahaman yang bertentangan sekali dengan yang aku tahu dari orang lain. Misalnya, ketika ulang tahun. Dia lebih suka aku buatkan bingkisan sederhana tapi buatan tanganku sendiri, daripada aku belikan barang berharga mahal.
Menurutnya, membeli itu soal mudah dan bisa dilakukan oleh banyak orang walau duitnya dapat pinjem atau nyolong sekalipun. Tapi bersusah payah membuat sesuatu dengan tangan sendiri itu jarang yang mau walau mampu. Dia tak ingin menghargai aku dari nilai uangnya, tapi dari usaha dan perjuangan yang tidak akan ternilai secara nominal. Berawal dari situ, aku terus belajar untuk tidak melihat segala sesuatu dari nilai uangnya. Walaupun manusia hidup seringkali tergantung pada uang.
Termasuk dalam hal pekerjaan. Aku jadi seringkali tak peduli dengan nominal yang ada di slip gaji. Asalkan aku nyaman, aku akan betah disitu. Soal pekerjaan kasar, aku juga tak begitu mempermasalahkan. Karena aku sadar manusia ada pasang surutnya. Tak mungkin bisa kita selamanya hidup sesuai dengan harapan kita. Seringkali kita jatuh dan harus memulai segalanya dari nol.
Banyak orang yang merasa putus asa ketika terjatuh, mungkin karena mereka tidak membiasakan diri dengan pekerjaan kasar ketika masih di atas. Sehingga yang ada di otaknya, pekerjaan hanyalah yang duduk manis di kursi empuk dan dapat duit banyak.
Pokoknya aku cukup nyaman dengan falsafah perjuangan si bos. Kita tidak boleh gagal di proses. Masalah hasilnya bonyok, itu urusan takdir. Kalo sudah usaha dengan benar, apa ada upaya lain selain tawakal..?
Tentang pekerjaan yang kadang over dosis ini, istriku pernah mengajakku ngobrol. Katanya, kalo memang terlalu melelahkan, kenapa tidak mencari peluang lain yang lebih manusiawi.
Aku yang pernah beberapa kali usaha sendiri, kadang merindukan juga untuk memulai hidup mandiri lagi. Tapi bila aku ingat dengan kepercayaan yang dibebankan kepadaku, aku jadi urung berpikir lagi. Cari duit memang susah. Tapi menjaga kepercayaan orang lain itu yang lebih susah.
Hampir dua tahun aku ditugaskan mengurus galeri ini, berat untuk meninggalkannya karena memang belum bisa dibilang sukses. Masih banyak yang perlu aku perjuangkan untuk kantorku. Pergi di saat baru setengah jalan, buatku tak ubahnya pecundang yang melarikan diri dari pertempuran.
Apalagi aku pernah beberapa kali kerja ikut orang lain. Minimal aku bisa membanding-bandingkan orang yang aku ikuti. Buatku nominal gaji bukanlah segalanya. Kenyamananku dengan pekerjaan dan atasan menjadi pondasi nomor satu.
Bosku sekarang memang orang yang tidak punya udel, kalo orang Jawa bilang. Beliau seorang pekerja keras yang pantang mundur dan tak pernah mau berhenti memutar otak. Itu yang membuat karyawan-karyawannya keteteran dan banyak yang tak kuat mengikuti lari cepatnya.
Ada satu hal yang sangat membuat aku kagum. Beliau sangat teliti dalam segala hal dan tidak mentolerir kesalahan kecil dalam proses mencapai tujuan. Tapi untuk hasilnya, beliau tak pernah mengharuskan langsung sukses. Karena baginya kesuksesan bukan semata dalam bentuk hasil materi, tapi nilai perjuangannya. Tak masalah usahanya bonyok di hasil akhirnya, asalkan prosesnya sudah di jalan yang benar.
Aku merasa seide dengan pemikiran itu. Walau untuk aku sendiri, itu bukan ide original dari otakku sendiri. Tapi dari salah seorang perempuan yang pernah singgah di hatiku sekitar 20 tahun lalu. Dia menanamkan sebuah pemahaman yang bertentangan sekali dengan yang aku tahu dari orang lain. Misalnya, ketika ulang tahun. Dia lebih suka aku buatkan bingkisan sederhana tapi buatan tanganku sendiri, daripada aku belikan barang berharga mahal.
Menurutnya, membeli itu soal mudah dan bisa dilakukan oleh banyak orang walau duitnya dapat pinjem atau nyolong sekalipun. Tapi bersusah payah membuat sesuatu dengan tangan sendiri itu jarang yang mau walau mampu. Dia tak ingin menghargai aku dari nilai uangnya, tapi dari usaha dan perjuangan yang tidak akan ternilai secara nominal. Berawal dari situ, aku terus belajar untuk tidak melihat segala sesuatu dari nilai uangnya. Walaupun manusia hidup seringkali tergantung pada uang.
Termasuk dalam hal pekerjaan. Aku jadi seringkali tak peduli dengan nominal yang ada di slip gaji. Asalkan aku nyaman, aku akan betah disitu. Soal pekerjaan kasar, aku juga tak begitu mempermasalahkan. Karena aku sadar manusia ada pasang surutnya. Tak mungkin bisa kita selamanya hidup sesuai dengan harapan kita. Seringkali kita jatuh dan harus memulai segalanya dari nol.
Banyak orang yang merasa putus asa ketika terjatuh, mungkin karena mereka tidak membiasakan diri dengan pekerjaan kasar ketika masih di atas. Sehingga yang ada di otaknya, pekerjaan hanyalah yang duduk manis di kursi empuk dan dapat duit banyak.
Pokoknya aku cukup nyaman dengan falsafah perjuangan si bos. Kita tidak boleh gagal di proses. Masalah hasilnya bonyok, itu urusan takdir. Kalo sudah usaha dengan benar, apa ada upaya lain selain tawakal..?
masih banyak orang yang menilai kepuasan dari sisi materi...
BalasHapusaku setuju ma filosofi itu ^^
happy weekend ^^
iya...uang bukan segalanya...
BalasHapussukses itu dilihat dari proses, bukan hasil
BalasHapusayo semangat
tak kiro cuman aku yang mikir kaya gitu, oms..,, tapi kalo punya atasan ra ndue udel tapi trus ra gelem ngalah itu yang susahh....,, :(
BalasHapusFor all
BalasHapusHahaha iyolah,
sekali kali berpikir berbeda dengan orang lain. paling dikira senewen resikonya