27 Januari 2008

Sandal Jepitku

Pagi-pagi HP bunyi...
Telpon dari temen Kepala MTs minta tolong betulin komputer di lab. Buruan mandi ala capung lalu ngiprit dengan mata berat abis begadang sampai jam 6 pagi. 


Nyampe sekolahan masuk ke ruang guru maksudnya nemuin guru TI. Baru aja ucap assalamu'alaikum dan belum sempat masuk ruang, sudah ada seorang guru yang menegur..
"Mas, ini kan kantor. Sedikit punya rasa hormat apa sih susahnya."
"Maksudnya gimana, pak..?" Saya bingung.
"Jangan pakai sandal apa ga bisa," ucap beliau.


Dasar masih merasakan puyeng garap kerjaan semalem belum selesai, mata ngantuk dan belum sempat sarapan. Dapat sambutan begitu saya langsung balik kanan. Baru saja nyampe, kepala sekolah nelpon lagi.


"Tar dulu bos, beli sepatu dulu.." saya cuma jawab begitu lalu rebahan di kursi panjang melanjutkan tidur yang terpotong tadi.

Tapi engga tau kenapa kok malah ga bisa tidur. Kata-kata mas guru tadi sedikit kepikiran dalam otak sampai akhirnya malah nongkrong sepan kompi...

Hmmm...
Saya inget kata-kata temen saya Ribut Achwandi di Kemudian.com.


Dalam kamus budaya kita yang namanya sepatu itu kan nggak ada. Bukankah ini budaya asing (Belanda) yang sengaja dicekokkan pada bangsa kita untuk semakin terburai karena alasan prestise. 


Gengsi dan status sosial yang mencoba membuat manusia terpasung dalam kepalsuan. Jujur saya protes! Sebab, menghadap Tuhan saja kita harus menanggalkan sandal bahkan sepatu, masa cuma menghadap orang penting yang notabene hanya seorang manusia saja harus pakai sepatu?"

Emang kayaknya sewenang-wenang banget tuh orang. Apa ga inget kalo manusia lahir tuh ga bawa apa-apa. Adalah sebuah kenyataan hidup manakala periode awal dari tiap bentuk kehidupan dimulai dari sebuah kenestapaan. 


Ya, tangis pertama seorang bayi yang baru lahir adalah sebuah bukti bahwa ketika seorang manusia terlahir, ia dalam penderitaan yang sungguh luar biasa. Bagaimana tidak, seorang bayi yang lahir pada awalnya merasa nyaman di dalam rahim Ibunya. Ia merasa terlindungi dari segala kejatahan dunia. Ia merasa dirinyalah raja, sebab segala kebutuhan baik gizinya maupun kemanjaan secara psikologisnya tumbuh dari sana. 

Makanya jangan heran jika seorang perempuan hamil selalu identik dengan ngidam. Tapi begitu ia lahir, dia telah melihat sebuah bentuk kekejaman yang sangat luar biasa. Cahaya luar yang menyilaukan telah membuat matanya silau. 

Dan seorang bayi melihat sebuah pemandangan yang sungguh tak ia duga sebelumnya. Kucuran darah yang mengalir dari vagina Ibunya bersamaan lahirnya telah membuat ia begitu ketakutan.

Ya, penderitaanlah yang mengawali setiap periode kehidupan manusia. Sebagaimana Adam dan Hawa diturunkan ke dunia ini. Mereka dalam keadaan yang sama-sama terceraikan. Saling mencari dan saling berharap agar mereka segera dipertemukan dalam sebuah situasi yang sangat membahagiakan dan penuh haru biru.

Pakailah sandal jepitmu sebelum engkau mengenakan sepatu kulit yang mengkilap. Resapi betul enaknya memakai sandal jepit. Resapi betul betapa bahagianya ketika engkau bisa memakai sepasang sandal jepit. 


Sebab, begitu banyak orang yang kadang lupa akan enaknya mengenakan sandal jepit sebab sehelai kaus kaki telah membentengi pori-pori kulit untuk dapat merasakan ringannya debu dan merasakan tekstur kerikil yang begitu menggelikan dan nikmat.

Ingat, bersandal tidak selamanya tidak sopan. Tapi justru kerendahan hatilah yang dinampakkan oleh sepasang sandal jepit. Jangan pernah malu jika engkau tak bersepatu.

Umumnya, pemakai sepatu kulit selalu diidentikkan dengan orang-orang kantor yang berkantong tebal, memiliki setelan pakaian yang serba necis, rapi, berbahasa begitu tertata dan santun, berjalan dengan penuh gaya dan serba dihargai. Saya akan kemukakan kalau tidak selamanya sepatu kulit itu mengindikasikan hal-hal tersebut.

Banyak di antara orang-orang bersepatu kulit itu yang lebih kotor secara moralnya ketimbang seorang yang hanya bersandal jepit. Menurut saya, sepatu kulit yang mungkin harganya sepuluh atau duapuluh kali lipat dari harga sepasang sandal jepit tak ubahnya topeng belaka. 


Memang banyak pejabat yang bersepatu tapi banyak juga penjahat yang bersepatu. Jadi jumlah antara pejabat dan penjahat yang bersepatu mungkin hampir sama.

"Lepaslah Sepatumu dan Bertelanjang Kakilah Engkau"

Akhirnya...
Rencana beli sepatu demi sesuap nasi di kantoran gagal. 

Mendingan langsung saja saya belikan nasi bungkus di warung. 
Nikmatnya bisa langsung saya rasakan...
Walau alasan aslinya, uangnya belum cukup untuk beli sepatu...

 

0 comments:

Posting Komentar

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena