30 Mei 2011

Balik Mudik

Pulang kampung
Sesuatu yang ngangenin sekaligus nyebelin.

Ngangenin, karena dengan itu kita bisa berjumpa dengan sanak saudara, teman lama dan suasana kampung yang menyejukan hati. Nyebelin, karena ada semacam pemeo, bahwa perantau tidak akan pulang sebelum sukses. Berani pulang kampung suka diartikan sebagai orang yang sudah sukses di kota. Yang pada akhirnya sering membuat kita lepas kontrol atas keuangan. Sampai suka disebut menampung hujan setahun habis menguap kena panas sehari. Makanya klop sudah, bila pemeo warga kampung ini bertemu dengan sindrom pulang kampung yang dialami perantau itu sendiri.

Apalagi bila pulang kampungnya ke negara yang berjudul Cilacap. Jalanan Cilacap yang aduhai, mengharuskan kita menambah anggaran untuk pijat boyok dan antisipasi ancaman turun berok. Belum lagi biaya ke bengkel yang tak pernah bisa dihindari. Selalu ada saja masalah di jalanan, entah itu pelek penyok, dop ilang, pecah ban atau sekedar kempes di tengah bulak sawah. Untuk mudik kali ini, memang tidak ada gangguan ban. Tapi bagian bawah pintu kiri digrafir dengan indahnya dan harus dikenteng.

Tapi semua hal yang tak enak itu tak pernah ada artinya dengan kebahagiaan yang didapat. Makanan kampung, kenangan masa kecil, semilir angin bebas polusi, bisa menjadi pengobat segala penat. Walau memang sudah begitu banyak perubahan yang terjadi. Sudah tak ada lagi anak-anak gembala duduk di punggung kerbau sambil meniup suling. Yang masih terlihat bersama ternak tinggal bapak-bapak tua, sementara anak mudanya sibuk bersmsria di atas sepeda motor.

Begitu melihat sawah menguning siap panen, hati juga mendadak damai. Berarti dalam waktu dekat bakal dapat kiriman beras dari mbahnya Citra. Bersyukur banget bila pulang ga pas lagi panen. Minimal Citra tak harus kegatelan, karena halaman rumah mbahnya penuh gabah. Yang paling penting, aku ga harus kerja paksa angkat junjung karung dan jemur padi. Menantu durhaka...

Memang durhaka. Dimana-mana orang pulang selalu bawa oleh-oleh. Ini malah kebalikannya. Kalo mudik bagasi kosong melompong. Begitu balik, seisi pasar induk sayuran diangkut semua. Kapan mulai kepikiran membalas budi ke orang tua. Dari anak-anak sampe tua bisanya cuma meminta. Apalagi sekarang, Citra kangen mbahnya selalu jadi alasan.


Tapi harus siap-siap neh. Besok tua pasti digituin sama anak cucu. Makanya mumpung masih ada kesempatan, puas-puasin angkut-angkut.

Hahaha payah...

Read More

Menembus Tembok

Aku tak tahu kenapa malam ini terasa begitu menekan
Luasnya semesta alam mendadak tak terasakan lagi
Semua terasa sempit dan menyempit

Tak tahulah kenapa aku begitu bodoh
Enggan bak katak dalam tempurung
Namun terlalu jauh mencari-cari

Tenggelam dalam kalkulasi infinity
Mengobrak-abrik batas-batas kuantum
Hanya tuk mencoba melompati pagar dimensi

Padahal nenek moyang telah lama menemukan
Satu cara sederhana menembus tembok
Cukup dengan satu langkah saja
Melalui pintu...

Mbuh ah
Mumet...

Mobile post via XPeria




Read More

Sesaat

Ada peribahasa mengatakan, enaknya dikit sakitnya lama...

Yang aku tahu, pernyataan itu berlaku untuk hal-hal yang bersifat negatif. Bila ternyata itu terasa dalam perjumpaan sesaat kemarin, termasuk salahkah kedatanganku menjenguk jagoan kecilku.

Hampir setahun aku tak bisa menemuinya apapun caranya. Aku pikir itu sudah cukup untuk menyiksa batinku yang tak pernah bisa melepaskannya. Ada sebuah kebahagiaan yang tiada tara, ketika kesempatan itu datang walau hanya sesaat. Aku pikir itu bisa menjadi awal yang baik agar aksesku ke jagoan tak lagi ditutup rapat.

Namun apa daya. Si sakit jiwa itu belum juga mampu untuk tidak lagi salah obat. Keceriaan sesaat itu hanya menjadi pengorek luka lama yang belum lagi sembuh dan membuatnya semakin berdarah-darah. Aku mungkin masih bisa mengerti cara mendinginkan hati. Namun kenyataan jagoan makin tertekan juga makin menekan pembuluh darahku yang entah sampai kapan aku bisa bertahan.

Sabarlah, nak...
Walau permintaan anak soleh yang teraniaya konon makbul, masih sekedar teori. Ayah masih akan mencoba mencari yang benar-benar maha kuasa. Bukan yang cemen dan kegedean mitos. Masih ada sedikit keinginan bahwa semua omong kosong yang berjudul tuhan itu memang nyata. Dan yang bernama tuhan bukan bullshit semata...

Maafkan bila kebahagiaan sesaat kemarin hanya membuat penderitaanmu semakin panjang...
Kapan kebersamaan ini akan kembali lagi..?
Read More

28 Mei 2011

Ubuntu untuk Fakir Bandwith

Satu hal yang lumayan mengganggu saat pulang kampung adalah keterbatasan koneksi internet. Ada bagusnya memang, biar acara keluarga ga terpotong waktunya buat onlen. Tapi namanya udah kebiasaan sok eksis, tetap aja gatel pengen onlen. Memang ada XPeria yang lumayan mumpuni buat urusan onlen. Namun tetap saja lebih nyaman pakai letop.

Satu-satunya alternatif untuk onlen selain ngacir ke warnet adalah pakai modem GSM atau CDMA. GSM disini cuma dapat EDGE dan sering ngagejlig ke GPRS. CDMA pakai semar pun ga bisa dapat EVDO, cuma dapat 1X dengan sinyal pas-pasan. Dites buat donlot, larinya maksimal hanya 8 kbps. Pokoke serasa hidup di jaman telkomnyet instan dulu. Mau ga mau, browsing di letop tapi selalu pakai web versi hape. Keluyuran di mulkipli ya yang pake embel-embel mobile. Di belokcepot selalu nambahin buntut urlnya dengan ?m=1

Itu pakai Ubuntu. Nyoba pakai windus malah lebih parah. Dites donlot mentok di 2 kbps. Ngacak-acak sistem dan aplikasinya untuk mematikan berbagai apdet otomatis cuma bisa naikin kecepatan ke angka 4. Tetap saja banyak pemakan bandwith tanpa omong-omong yang ga kelacak. Mungkin ini kelebihannya Ubuntu, dimana mekanisme update aplikasi melalui satu pintu di Update Manager. Sehingga ketika itu dinonaktifkan, koneksi benar-benar tidak terganggu oleh kegiatan underground sistem. Jadi, siapa bilang pakai linux ga nyaman..?

Eh, masih ada ding perusuh lain walau pakai linux
Contohnya ini nih...

Read More

27 Mei 2011

Sindrom Pulang Kampung

Seorang teman yang sama-sama dalam posisi cuti kirim sms. Dia tanya, kenapa setiap kali pulang kampung, maunya jalan-jalan, makan-makan dan buang-buang uang.

Dengar cerita semacam itu, aku jadi kepikiran kalo akupun merasakan sindrom yang sama. Semula aku tak pernah mikirin, karena aku pikir cuma aku saja yang mengalami suasana hati seperti itu. Maunya jalan terus karena ingin menikmati kebersamaan bersama keluarga yang tertahan selama sekian bulan. Pengennya makan mulu karena selama di pedalaman jarang sekali nemu makanan yang cocok di lidah.

Apalagi selama di kampung, ibu bikinin oseng belut kesukaanku sejak kecil. Masak belut 3 kilo, dua hari ludes dan pagi tadi dah belanja 3 kilo lagi. Di daerah Cilacap khususnya wilayah Kawunganten memang cukup banyak yang jualan nasi belut di pinggir jalan. Tapi rasanya tak pernah bisa pas di lidah seperti masakan ibu. Kalo yang di warung, sebelum dioseng belutnya digoreng. Kalo ibuku, belutnya dibakar lalu dagingnya disuwir-suwir (basa benernya apa sih..?) dan durinya dibuang. Jadi cuma dagingnya doang yang dioseng dengan lombok ijo.

Jangan salah kalo aku mendadak masuk masa pertumbuhan, sehari bisa makan sampe 6 kali. Itung-itung perbaikan gizi untuk mengganti bobot badan yang turun sampe 10 kilo selama 4 bulan di Kalimantan. Cuti 2 minggu bisa naik 2 apa 3 kilo kayaknya lumayan deh. Biarpun mungkin akan langsung habis dalam minggu pertama setelah balik ke hutan nanti.

Selain urusan makan, urusan belanja juga terpengaruh oleh sindrom ini. Biasa di Kalimantan tepok-tepok pantat setiap kali mau belanja apa. Melihat harga-harga disini jauh lebih murah, kesannya jadi ga sayang duit. Potong rambutpun kalo mungkin bisa tiap hari. Habisnya disini cuman 4 rebu perak sementara di Kalimantan 25 ribu. Apa aja rasanya pengen di beli. Bukan karena merasa butuh, tapi terdorong euforia, murah bangeeet...

Untungnya, keuangan sepenuhnya dipegang bendahara. Sehingga pengeluaran bisa terkontrol. Tidak seperti jaman bujangan dulu. Setiap kali pulang kampung khususnya mudik lebaran, pengennya hambur-hambur uang sok banyak duit. Seolah-olah pengen nunjukin ke setiap orang sudah sukses di perantauan. Nyatanya setiap mau balik lagi ke kota, harus merengek-rengek ke ortu minta ongkos. Atau minimal nawar-nawarin hape ke konter. Padahal sebelum pulang kampung, hape sengaja beli yang keluaran baru agar terkesan gaul. Pantes saja lebaran yang memang masanya perantau pulang kampung suka disebut riyaya.

Memang beneran sindrom pulang kampung..?
Apa hati yang ga beres berniat pamer..?
Read More

26 Mei 2011

Generasi Kelima

Diberi kesempatan untuk bercengkrama dengan generasi level kelima dari kita, adalah sebuah kesempatan yang teramat langka di masa kini. Makanya aku berusaha untuk bisa mengabadikan setiap kali Citra bermain-main dengan mbahnya. Siapa tahu saat itu adalah momen terakhirnya dengan leluhur tertinggi yang masih hidup.

Soal Citra manggilnya apa ke beliau, aku sendiri kurang paham tepatnya apa. Yang jelas aku saja menyebutnya mbah buyut, karena beliau adalah kakeknya ibu. Canggah, wareng, uthek-uthek atau gantung siwur kali ya..?

Berapa usianya pun tidak ada yang tahu pasti. Termasuk di KTP tidak tercantum kapan tanggal atau tahun lahirnya. Namun kalo mau main tebak-tebakan, mendiang mbah buyut putri pernah cerita bahwa pada saat tanah Jawa hujan abu sehari tujuh kali, beliau sudah perawan. Kalo hujan abu dahsyat itu dianggap letusan gunung Krakatau, berarti pada tahun 1883, mbah putri sudah perawan atau sekitar usia 12 - 15 tahunan. Mengingat di kampung, apalagi jaman itu, perempuan usia segitu biasanya sudah berhak menyandang gelar perawan yang artinya sudah bisa dinikahkan. Nah, anggap saja simbah ini usianya tak terpaut jauh dari mbah putri.

Kelakuannya mulai aneh. Disuruh tinggal di rumah ortu, tidak mau. Malah tinggal di gubuk orang lain bekas tempat menyimpan kayu bakar. Biarpun setiap hari rutin dikirim makanan, tetap saja beliau suka maksa datang ke tempat ortu, menanyakan apakah cucu-cucunya ada yang pulang kampung. Padahal jalannya sudah terseok-seok harus menempuh jarak hampir satu kilo menyebrangi sungai, jalan raya dan rel kereta. Diperingatkan agar tidak keluyuran mana mau dengar. Padahal orang lain bukannya ingin mengekang, tapi kawatir pas nyebrang jalan atau rel mengingat pendengarannya mulai berkurang.

Badan masih terlihat kekar dan sedikit tambun. Gigi masih utuh dan ngobrolnya masih bisa nyambung. Segitu banyak cucu cicitnya masih bisa dihapal satu persatu. Biarpun kalo mau manggil seseorang, semua nama bisa kesebut. Hanya penglihatan yang sudah mulai berkurang. Kecuali kalo dikasih duit, ga bakalan beliau salah lihat nominalnya.

Kalo ditanya apa rahasia umur panjangnya, ga pernah mau buka kartu. Paling banter cuma cerita, kalo leluhurnya orang sakti dan gagah berani. Mau ga mau aku turut bangga juga jadi keturunan mereka. Begitu saktinya leluhurku itu, sampai-sampai gagah perkasanya terwariskan turun temurun sampai 7 turunan.

Cuman sayangnya
Kenapa aku harus jadi keturunan ke 8 ya..?

Read More

Balada Jalanan Cilacap

Satu hal yang paling menyebalkan saat harus pulang kampung ke Cilacap adalah kondisi jalannya yang ancur. Sampai-sampai Citra yang tidur sepanjang perjalanan pun tahu kalo dia sudah hampir sampai ke tempat mbahnya, ketika mimpinya harus terganggu goyang dombret khas Bumi Wijayakusuma.

Sungguh unik bila Cilacap yang gudangnya semen, pasir dan aspal tak mampu memelihara jalan-jalannya agar tetap layak untuk berlalulintas. Ajaib sekali bila kabupaten terluas di Jawa Tengah dengan segudang potensi industri, perkebunan dan pertanian bisa kehabisan dana pembangunan. Yang tak terlalu aneh justru bupatinya yang sudah masuk bui akibat korupsi tapi APBD tetap saja bocor entah kemana.

Wakil bupati saat akan dilantik menjadi bupati cuma bisa menyalahkan cuaca dan kendaraan kelebihan muatan sebagai penyebab kerusakan jalan. Sementara antisipasi untuk itu tak terasa sama sekali. Bila daerah Cilacap barat memang langganan banjir, itu memang sudah dari jaman purba. Kenapa tidak dibikin jalan beton dan merasa cukup melapisi jalan dengan aspal curah. Kalo kendaraan over tonase jadi alasan, lalu untuk apa jembatan timbang masih tegak berdiri. Cuma buat melegalisasi premanisme jalanan saja oleh keparat eh aparat kah..?

Ada lagi anggota hewan yang mengatakan bahwa anggaran prasarana jalan di APBD memang sangat minim, karena harus menanggung biaya gaji PNS yang kenaikan berkalanya dibebankan ke daerah. Kalo memang belum mampu gaji PNS segitu banyak, ya dikurangi dong jumlahnya. Efisiensi masih sangat memungkinkan untuk profesi itu. Lihat saja di kecamatan. Ngurus KTP atau KK saja butuh waktu lama. Kirain karena pegawenya sibuk semua. Eh, begitu ditengok ke ruangan, lagi pada baca koran, maen game atau pesbuk.

Bikin bingung lagi pernyataan dari ketua DPR, "Siapapun bupatinya, tidak akan mampu membangun semua jalan di Cilacap. Biar semua harta Bupati dijual, tidak akan bisa memperbaiki seluruh jalan Cilacap yang rusak."

Emang siapa yang suruh bupati jual harta untuk bangun jalan. Tak perlu sampe segitunya lah, pak. Cukup pengelolaan APBD untuk ngurus jalan yang bener saja sudah cukup kok. Lagian, baru denger ada pejabat mau jual rumah untuk bangun jalan. Yang sering denger kayaknya pejahat nyunat anggaran bangun jalan untuk bikin rumah.

Kapan ya pejabat Cilacap bisa insap dan beneran mikirin rakyat..? Aku yang lahir dan besar disini saja sampe pangling. Ini lagi nyupir di Cilacap apa di pedalaman Kalimantan..? Kasihan juga mbahnya Citra. Kalo kangen cucunya nyuruh pulang kampung, malah suka disuruh pindah ke Jogja sama ibue. Mending pindah dari Indonesia raya ke Ngajogjokarto Hadiningrat wae, mbah...


Read More

Nonton Pameran

Sore-sore, iseng aplut foto ke pesbuk. Sebuah komeng gak nyambung masuk, "Nanti malem pembukaan pameran ditunggu di Tubi, Hasoe Foundation live show. *Jo lali pake pempers..." Plus satu ciri khas seniman multitalenta, Hadi Soesanto yang tak pernah hilang dalam setiap sabdanya, nyawer...

Laporan ibue Citra, kalo jam delapanan mau ngumpul temen-temen mumpung di Jogja. Sebagai istri teladan, ibue tak pernah melarang aku keluyuran malam. Tak pernah lupa pula titip pesanan yang panjang lebar, "jangan pulang pagi, jangan ikutan ngerokok, jangan ikutan minum, jangan minta duit buat nyawer, dst dst..."

Sempat terharu juga ketemu Sarwoko, seniman Magelang yang pameran tunggal malam itu. Bagaimanapun juga, pameran ini sudah direncanakan sejak 2 tahun lalu dan aku seksi paling sibuknya. Saat persiapan sudah sampai di tengah jalan, aku malah kabur dari dunia seni Jogja. Tapi pokoknya aku bersyukur banget, pameran bertajuk Puisi Parkit ini bisa terselenggara juga biarpun sampai molor sekian lama.

Aku juga bersyukur banget bisa kumpul lagi sama temen-temen senasib dan sepermendheman dulu. Ketemu Hasoe dan angels nya yang tetap bermulut comberan. Ketemu Katirin yang Agustus mendatang akan pameran tunggal di Tel Aviv. Ketemu Joko Gundul yang sedih suasana kurang semarak semenjak Nurkholis inalillahi. Ketemu seniman-seniman muda yang mengeluh Tubi jarang pameran semenjak aku tinggalkan. Ketemu juga seniman-seniman bau tanah yang sedikit ngomel kekurangan stok bir semenjak aku hengkang. Dan yang paling bikin aku bersyukur, Budi Ubruk tidak muncul, sehingga aku bisa ngeles ga harus buru-buru bayar utang buat ongkos ke Kalimantan dulu.

Mumet ditempel Gandhung yang belum juga bosen jadi penarik pajak, aku ngungsi ke teras belakang. Mini bar yang sekarang tak punya bartender itu masih saja ramai bak angkringan Pakualaman. Suasana disini beda banget dengan di halaman depan, karena disini tempatnya orang-orang pinter. Netok Sawiji masih saja mempertanyakan apakah aku masih sregep nulis di blog. Mike Susanto terus saja mempertanyakan kenapa tak belajar menulis kuratorial saja. Dan yang paling rusak lambenya Kuss Indarto. "Anda sudah layak mengurasi lukisan. Satu, anda suka menulis. Kedua, anda cukup lama berkecimpung di galeri. Tiga, anda berpengalaman bertahun-tahun mengurasi bak mandi..."

Pokoknya indah bener Jogja, kalo untuk urusan nongkrong seperti ini
Yang ga indah tuh kalo dah ada sms masuk nyuruh pulang
Hahah...
Read More

25 Mei 2011

Duduk di Bawah Pohon

Setiap kali pergi ke suatu tempat yang memiliki nuansa spiritual seperti ke Candi Cetho kemarin, selalu saja ada teman yang menghubung-hubungkan itu dengan suatu khazanah tertentu. Selama itu masih dalam konteks budaya dan dibawakan dalam bentuk berbagi pendapat, buatku enjoy-enjoy aja. Sayangnya ada satu dua teman yang kadang suka membawanya terlalu jauh, sehingga acara gojek kere ala angkringan itu bisa berubah menjadi perngeyelan yang nyebai tenan.

Aku sedang tak ingin cerita banyak tentang keyakinan memang. Namun agar tak terasa mengganjal dalam hati, aku ceritakan saja sebuah analogi atau anehdot yang mungkin relevan dengan kenyataan diantara aku dan teman-teman ngeyelku.

Anggap saja pada jaman dahulu kala, saat aku masih suka keluyuran ke pondok. Sebut saja namanya si Polan yang numpang duduk di bawah pohon duren depan pondok untuk melepas lelah. Saat itu, lewatlah pak kyai yang jadi mahaguru disitu dan menegur dengan ramah, "Janganlah engkau duduk di bawah pohon itu. Sungguh sedikit kebaikan di dalamnya..."

Saat itu, lewatlah seorang santri tua dan sempat menangkap sebagian isi dialog pak kyai. Sebagai orang sudah senior, dia berusaha menelaah setiap hal yang dia temukan, demi kemaslahatan umat. Apalagi ini dari pak kyai junjungannya. Diapun mengambil kesimpulan, "ternyata, duduk-duduk di bawah pohon itu sungguh sedikit kebaikan di dalamnya. Itu kan kerjaan pemalas yang tak berguna. Hmmm, sungguh arif guruku ini..."

Kemudian, diapun selalu mengajarkan kepada santri-santri juniornya dan kepada semua orang, bahwa duduk di bawah pohon adalah pekerjaan pemalas yang lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya.

Sampai suatu hari si Polan yang kelelahan lewat lagi dan bermaksud numpang istirahat seperti dulu. Karena ingat pesan pemilik pondok agar tidak duduk di bawah pohon duren, dia pilih duduk di bawah pohon mangga. Baru saja duduk santai, ada seorang santri yang lewat dan menegurnya, "Hei, apa jadinya negeri ini. Kalo anak mudanya banyak pemalas sepertimu."

"Tidakkah kau tak lihat, aku sedang istirahat," jawab si Polan kaget.
“Kamu dinasihatin malah ngeyel. Tak tahukah kamu, duduk-duduk di bawah pohon itu sungguh sedikit kebaikan di dalamnya. Jangan sia-siakan waktumu.."
"Aku lelah. Justru banyak kebaikan dengan duduk di bawah pohon mangga ini. Sambil menikmati semilir angin, siapa tahu ada mangga jatuh dari pohon. Lumayan dobel tuh..."
"Apapun pohonnya, tetap saja sedikit kebaikan di dalamnya.."
"Apapun pohonnya..? Dasarnya apa..??"
"Guruku pernah bercerita. Bahwa dia melihat guru besar pondok ini menasehati seorang musafir agar tidak duduk-duduk di bawah pohon, karena sangat sedikit kebaikan didalamnya. Pak kyai sudah begitu terkenal kearifannya sampai ke luar daerah. Banyak orang menghormati setiap ucapan beliau. Apa kamu meragukannya..?"
"Bukan meragukan, tapi tergantung pohonnya dong..? Kalo pohon duren, memang benar kebanyakan kejelekan daripada kebaikannya. Ini pohon mangga..."
"Dasar tak tahu diri. Sudah pemalas, tidak bisa menghormati orang besar yang juga pemilik pohon tempat kamu berteduh. Pergi lo..."

Si Polan pun bangkit. Tak lupa dia bertanya, "berapa orang yang dinasehati oleh pak kyai tentang duduk di bawah pohon..?"
"Kan aku sudah bilang. Satu orang musafir..!!!"

Polan pun pergi meninggalkan kampung itu sambil terus memutar otak. Kalo nasehat itu diberikan hanya kepada satu orang, berarti hanya dialah yang dinasehati pak kyai yang arif itu. Dia tak pernah merasa bermasalah dengan nasehat itu. Namun kenapa, petuah bijak itu bisa jadi salah alamat, padahal generasi belum berganti.

Siapa yang salah..?
Salahkah pak kyai yang menasehati Polan agar tidak istirahat di bawah pohon duren..? Salahkah gaya bahasa pak kyai yang terlalu halus sehingga bisa multitafsir ketika dibaca sepotong-sepotong..? Salahkah orang kebetulan lewat dan mendengar pembicaraan orang..? Salahkah santri senior yang berusaha menafsirkan ucapan pak kyai agar bisa berbagi kebaikan dengan santri asuhannya..? Salahkah santri junior mau mendengar cerita santri senior tentang kearifan ucapan pak kyai..?

Aku pikir, ini yang sering terjadi diantara teman-temanku. Semuanya tidak ada yang bisa disalahkan karena merupakan hasil dari hukum sebab akibat. Rumus logika aljabarnya sudah benar, apalagi semua unsur disitu berusaha berpikir positif dengan masalah yang dihadapinya. Namun input datanya kurang lengkap, sehingga walau secara parsial nilai outputnya benar, bila ditelaah ke konteks awal, kebenaran nilainya baru terasa membingungkan. Dan sayangnya, menemukan jejak konteks awal ini yang paling sulit dan sering kita tak mau tahu karena berpuas hati dengan apa yang telah kita punyai saat ini.

Menyatukan cermin retak, jarang mau kita lakukan karena merasa telah memiliki wajah yang sempurna. Padahal bagaimana bisa melihat wajah kita benar sempurna, bila melihat jidat kita sendiri tanpa bantuan cermin kita tak mampu. Makanya selalu jadi pertanyaan dalam benakku, orang-orang yang fanatik ngeyelan itu benar-benar memiliki wajah sempurna, atau sebenarnya ketakutan melihat kenyataan saat bercermin. Siapa tahu wajahnya berjerawat atau malah tak punya hidung. Sebuah kenyataan bila obrolan tentang penyatuan cermin retak, lebih sering diakhiri dengan penghancuran cermin sebelum mozaiknya berpadu utuh.

Jadi apapun makanannya, yang salah tetap si Polan. Ngapain duduk-duduk di bawah pohon. Mendingan duduk numpang ngadem di warnet. Tidak ada yang ngomel, pulang bisa bawa koleksi IGO seplesdis penuh.

Kayaknya sih begitu...
Ndeyan

Read More

Candi Cetho

Salah satu tujuan jalan-jalan kemarin adalah ke Candi Cetho di lereng Gunung Lawu sana. Candi yang masuk ke wilayah Jenawi Kabupaten Karanganyar itu memang cukup mengasyikan dijadikan target travelling. Jalanan sempit belak belok penuh tanjakan curam diapit jurang sangat bagus untuk memacu adrenalin. Sesampainya di tujuan yang begitu elok, sejuk dan indah, sangat ideal untuk memompa balik kadar serotonin.

Tak ada alasan khusus untuk ritual walau Candi Cetho banyak berfilosofi tentang kesuburan sebagaimana halnya Candi Sukuh yang tak jauh dari situ. Mengingat saat Citra berusia 6 bulan dalam kandungan, aku datang ke Candi Sukuh dan saat ke Candi Cetho sekarang, adiknya Citra juga berumur sama.

Candi yang secara filosofi Kejawen sering dianggap sebagai pusat penyangga keseimbangan jagat Nusantara itu memang berbeda dengan candi-candi umumnya. Arsitektur Cetho dan Sukuh strukturnya berteras bak punden berundak bisa dianggap sebagai bangkitnya budaya atau kultur asli sebelum pengaruh agama-agama dari luar Nusantara masuk. Apalagi bila dikaitkan dengan simbol phallus yang selama ini dianggap budaya Hindu dengan lingga yoninya, ternyata mulai diungkap sebagai kebudayaan asli Nusantara purba.

Sayangnya keaslian situs ini sudah banyak tercemar. Bukan oleh vandalisme ABG iseng, melainkan oleh pemerintah yang banyak mendirikan bangunan tambahan dalam kompleks saat memugar. Tidak ada penjelasan sama sekali mana bangunan asli dan mana yang baru. Perlu kejelian saat melihat struktur bahan bangunan untuk bisa membedakannya atau menanyakan kepada tukang foto yang ada di situ.

Gapura depan yang berbentuk Candi Bentar dan patung Dewi Saraswati di bagian belakang candi sengaja dibangun dengan alasan untuk menyemarakan sekitar candi. Padahal untuk situs bersejarah semacam ini, tinjauan arkeologis seharusnya menjadi poin pertama. Masalah dukungan promosi agar banyak pengunjung, sah-sah saja dibuatkan berbagai tambahan. Tapi apakah tak lebih baik bila sarana rekreatif tambahan itu dibangun di luar situs walau masih dalam satu komplek. Kalo ditambah odong-odong kayaknya tak terlalu mengganggu. Namun penambahan arca dan sebagainya tanpa ada keterangan jelas, bisa membuat asumsi pengunjung melenceng dari dari sejarah awalnya.

Terserah deh, itu urusan arkeolog dan pemerintah. Buat aku yang penting bisa ngadem bersama keluarga. Dari Jogja dengan perjalanan santai bisa ditempuh dalam waktu 3 jam melalui Solo lanjut ke Palur dan ke arah Tawangmangu. Sekitar 12 kilo sebelum Tawangmangu ambil jalan lurus di pertigaan sementara ke Tawangmangu belok kanan. Pengeluaran juga tak terlalu banyak. Bensin Avanza dari Jogja pp diisi 100 ribu masih nyisa. Tiket masuk per orang 2.500,- dan parkir 3.000,-

Yang paling penting, mobil harus dalam kondisi sehat, mengingat tanjakan-tanjakannya lumayan aduhai. Kalo berangkat dari Jogja pagi, bisa tuh dibikin satu paket dengan tujuan Candi Cetho, Candi Sukuh, Grojogan Sewu atau sekedar jalan-jalan di kebun teh. Mau ditambah dengan Curug Jumog atau yang lain-lain juga bisa mengingat disitu banyak obyek wisata kecil-kecil yang belum terkenal.


Read More

23 Mei 2011

Meleset

Kenyataan selalu ada yang berubah dari apa yang diinginkan semula. Untungnya tak semua perubahan itu dirasakan tak enak. Seperti aku yang berbulan-bulan selalu membayangkan cuti akan diisi istirahat panjang, bobo siang, bermalasan dan sebagainya. Ternyata begitu bisa pulang kampung, bobo siang malah jadi kenangan.

Hanya hari pertama di rumah aku bisa leluasa memejamkan mata. Sorenya, Citra yang katanya habis sakit sudah pecicilan seperti saat sehat dulu. Ibue yang semula tampak lelah juga mendadak sehat wal afiat. Jadinya rencana bobo sehari-hari harus mengalah mengikuti permintaan orang-orang tersayang untuk jalan-jalan sepanjang hari.

Sudah tak heran lagi dengan acara tanpa rencana. Seperti bilang ingin muter doang ke Malioboro, jebul-jebulnya bisa jadi bakar ikan di pantai Depok ujung Parangtritis sana. Bilang ingin menyusuri jalan Solo bisa berakhir dengan makan-makan di Dapur Solo dekat stasiun Purwosari Solo sana. Ingin duduk-duduk sebentar di air mancur dekat kretek kewek, malah jadi pulang malam karena duduknya di Grojogan Sewu, Tawangmangu sana.

Weslah...
Dinikmati saja. Meleset-meleset dikit dari angan ga masalah. Toh segalanya juga demi keluarga. Kalopun kenyataan bisa memberi kesempatan sesuai bayangan, kadang malah aku nya yang keburu lemes dengkul duluan.
Seperti niat ganti oli bola bali...
Haduuuh...

Read More

Saat Pulang Kemarin

Cukup banyak cerita yang tertinggal sejak aku pulang kampung hari kamis kemarin. Dari sprot jantung saat perjalanan menuju Banjarmasin, sampai sport yang lain begitu nyampe ke rumah.

Kantor juga yang rada ga beres. Ketika aku menerima kode booking tiket plus kendaraan sarana ke bandara yang ternyata dibatalkan, aku pesan travel yang jam 11 malam agar bisa sampai ke Banjarmasin subuh. Eh, dari kantor kasih berita lagi kalo aku malam nanti ada kendaraan yang ke bandara. Travel aku batalin dan duduk manis nunggu jemputan sampe ketiduran.

Bangun-bangun dah jam 1 lewat 30 dan kendaraan jemputan belum juga datang. Padahal normalnya perjalanan ditempuh dalam waktu 6 jam dan tiketku jam 7:00 waktu Indonesia Tengah yang satu jam lebih cepat dari jamku. Sempat misuh-misuh nelpon sopir yang akhirnya bisa berangkat jam 2 tepat. Bagaimana ga spaneng bila aku harus sampai jam 5:30 WIB untuk check in. Tapi dasar sopir geblek, kalo terlalu kasar disebut hebat. Beneran nyampe tepat waktu biarpun aku paksain merem ga berani lihat jalannya mobil yang pake terbang-terbang segala.

Sebagai gantinya, nemu juga hiburan di pesawat. Dasar orang banyak amal, nasib baik selalu ngikutin. Entah kenapa aku sering banget kebagian kursi di pintu darurat yang artinya ada makhluk manis yang bisa diajak ngobrol duduk di hadapanku. Pramugari rada budek dan ngomongnya bindeng kayaknya bukan hal aneh, yang penting manis. Tapi yang kemaren itu, waduh, komplit deh biarpun aku yakin ga pake telor. Kadar judesnya diatas ambang batas aman dari WHO. Padahal aku ga colak colek atau minta hape. Cuman nanya, wajahnya putih tapi kok dengkulnya item.

Sampai di rumah, aku temukan Citra yang begitu semangat menghadapi hidup. Tak peduli badan masih lemas pasca sakit, dia tetap saja pecicilan naik meja dan panjat pagar. Wujudnya makin ajaib, rambut tambah kriwil, jidat makin jenong dan idung semakin pesek. Mendengar ocehannya, aku harus memperhatikan gerak tangannya agar bisa membedakan kata sudah dengan dadah. Begitu juga untuk membedakan ayah dan buah yang sama-sama terucap abuah. Engga tau kenapa dia suka menambahkan a didepan kata-katanya. Seperti memanggil mbahnya abah dan manggil ibunya abui.

Selain itu, aku temukan juga sosok ibue yang begitu tegar mengurus segalanya seorang diri. Ngurus Citra yang masih saja rewel sejak sakit dan ngurus adiknya yang sudah rajin nendang-nendang dalam perut. Waktu Citra semaleman rewel bolak-balik bangun pun ibue tak pernah mau mengganggu tidurku. Saat aku sempat terbangun dan gantian menggendongnya, terasa banget beratnya mata menahan kantuk.

Makanya suer...
Aku ga pernah bisa membayangkan andai saja aku harus tukar posisi dengan ibue. Berat juga menjalani hidup sebagai seorang ibu. Punya suamipun, datang-datang bukannya bantuin nidurin anak. Malah gantian usilin ibue setelah anaknya pulas. Ai luv yu, bue...

Maaf..
Bila selama di kampung jarang punya waktu untuk online...

Read More

18 Mei 2011

Anjing Kampung

Sejak kecil aku paling takut dengan yang namanya anjing. Biarpun pepatah mengatakan anjing menggonggong kafilah berlalu, tetap saja aku ngacir duluan sebelum digonggong. Salah satu alasan kenapa aku takut anjing, adalah konstruksi tubuhku yang berpostur bodigar berdada bidang. Bodigaring dada bidang datar maksudnya...

Jaman pramukaan di Bhayangkara, paling sebel kalo sudah harus berurusan dengan anjing pelacak. Anjing kampung saja sudah bikin aku ngacir, apalagi lihat herder yang kelihatan galak. Yang lebih bikin sebel, yang ga lulus ujian kecakapan anjing pelacak sering dianjurkan untuk pindah haluan jadi pelacak anjing.

Pindah ke bumi Borneo, masalah peranjingan kembali muncul. Anjing disini seperti orang di kampungku memelihara kucing. Bisa dibilang tidak ada rumah yang tidak punya anjing. Menyenggol anjing pake mobil bisa jadi masalah besar di sini. Apalagi kalo anjingnya berkelamin cewek, dendanya bisa berlipatganda karena pemiliknya akan menghitung berapa kemungkinan anjing itu akan beranak. Padahal berapa besar salah kita nyopir mobil di jalanan aspal dibandingkan dengan anjing yang keluyuran ke jalan raya..?

Makanya aku selalu mumet ketika pulang ke mess yang halamannya dipenuhi anjing-anjing berkeliaran. Lama-lama mereka memang tak lagi tampak galak. Mungkin mereka juga kenal peribahasa yang mengatakan tak kenal maka tak gonggong. Bisa jadi aku sudah dianggap teman, jadinya tak pernah lagi dijegog seperti semula. Mereka jadi suka nongkrong didepan pintu. Ngintip-ngintip kepengen ikutan ngeblog juga kayaknya. Saat aku makan pun mereka tak suka ribut seperti kucing. Tetap duduk manis sampai aku lemparkan tulang atau makanan sisa keluar.

Melihat tingkah polah anjing kampung itu, kok mendadak aku inget anggota hewan saudaranya. Hobinya menggongong kenceng sok galak, tapi begitu sudah kenal, apalagi sering dikasih tulang sisa, kalemnya minta ampun. Seneng banget menjilati majikannya dan ga pernah becus nangkap tikus. Makanannya banyak, tak pandang jenis, apa saja disikat asal perut kenyang. Udah gitu suka kebanyakan gaya, mau kencing saja sampai angkat satu kaki segala. Modal imel yahoo saja bangganya minta ampun.

Tapi biarpun anjing di depan mess sudah pasang tampang sok akrab
Tetap saja aku takut untuk dekat-dekat mereka
Cuma gayanya doang yang aku suka
Doggy style is the best lah

Read More

Aset atau Mitra..?

Semalem teman bagian accounting begitu kalangkabut ketika internet mendadak mati saat dia harus kirim begitu banyak laporan ke Jakarta. Telpon dan smsnya bisa masuk ke hapeku tiap 5 menit menanyakan kapan internetnya bisa kembali berfungsi. Sementara gangguan terjadi secara total dari Telkom tanpa aku bisa memperkirakan kapan teratasinya. Tekanan dari Jakarta yang mengharuskan data sudah diterima besok pagi membuatnya stress berat. Aku sarankan untuk santai, ngopi dan tak perlu ribut malah dijawab dengan ngomel-ngomel ga karuan sampai menyentuh kata profesional.

Aku sendiri sampai sekarang tak pernah tahu, apa definisi dari kata profesional yang sebenarnya. Buatku kerja adalah menjalankan tugas sesuai fungsinya namun tetap ada batasannya. Disaat pekerjaan sudah selesai dan tak bisa dikirim, itu merupakan sesuatu yang di luar kemampuan. Toh sudah berusaha menggunakan modem gprs yang ternyata ga mampu mengangkat segitu banyak data. Cari warnet ke Tamiang dan komplen ke Telkom sudah. Mau ngotot ke Tanjung menurutku ga masalah, asalkan ada sarana. Tapi kalo harus menempuh perjalanan 2 jam dengan sepeda motor tengah malam, menurutku bukan sesuatu yang dianjurkan.

Perusahaan menggaji karyawan bukan berarti membeli seluruh hidupnya. Tak bisa kuterima pernyataannya bila dia di keuangan dan aku di IT. Bagiku, masalah yang terjadi justru bisa dipergunakan untuk mengedukasi perusahaan agar bisa mengerti bahwa kondisi di site tak seperti Jakarta. Kalo memang tak mau bisnisnya terhambat, ya siapkan sarana prasarana yang memadai. Aneh saja bila bidang bisnis pertambangan tapi pekerjaan akutansi mengandalkan sapidi, modem gprs, email gratisan, excel dan tidak ada dukungan aplikasi sistem yang memadai.

Perusahaan boleh menekan karyawan demi efisiensi dan efektifitas bisnisnya. Namun karyawan juga punya hak untuk bisa bekerja dengan nyaman dan aman. Kurangnya peluang kerja dibanding jumlah tenaga produktif nganggur bukan alasan untuk memperlakukan karyawan seperti romusha. Karyawan harus punya nilai tawar yang berarti punya hak bernegosiasi tentang pekerjaan dan kesejahteraannya.

Aku tak pernah setuju bila karyawan dikatakan sebagai aset perusahaan. Dengan menganggapnya aset, berarti perusahaan boleh berbuat apa saja. Aku selalu mengatakan karyawan adalah mitra kerja perusahaan. Bagaimanapun juga, ikatan karyawan dan perusahaan adalah simbiosis mutualisma. Karyawan butuh gaji dan perusahaan butuh kerjaannya beres. Bila perusahaan berhak menolak tuntutan karyawan yang katanya diluar kemampuan perusahaan. Karyawan pun punya hak untuk menolak tekanan kerja yang di luar batas kemampuan. Memang batasan-batasan itu tercantum dalam kontrak kerja. Namun penetapan pasal karet disitu seringkali sulit ditentang. Seperti misalnya karyawan berstatus all in. Perusahaan sah saja tidak perlu membayar kelebihan jam kerja atau lembur. Tapi tak bisa bila pekerjaan diluar jam kerjanya terlalu berlebihan.

Dalam kasus temen itu aku sempat bilang, kalo memang tertekan kenapa ga cabut saja. Ngapain diterusin tanpa berani mengedukasi perusahaan menjadi lebih baik. Malah temen yang ga tahu menahu jadi tempat membuang omelan. Timbal baliknya harus seimbang dong. Apa artinya profesionalisme bila perusahaan tak mau balik mengerti. Takut jadi pengangguran kayaknya tidak pada tempatnya bila memang benar dia profesional seperti yang selalu diucapkannya. Setahuku, salah satu ciri orang profesional adalah tak perlu pusing cari kerjaan. Melainkan pekerjaan yang mencari-cari dia.

Aku ajak dia ngobrol tentang kasusku minggat sampai 3 kali dalam 3 bulan, dia tak mau mengerti juga. Kaburku dulu sebenarnya bukan protes tentang kesejahteraan atau tekanan teknis. Tapi aku merasa tak bisa bekerja dengan optimal karena selalu terganggu dengan masalah yang bersifat non teknis. Perusahaan memang selalu memanggilku kembali dengan penawaran baru. Kabur pertama aku ditawari status permanen. Kabur kedua, aku diberi 2 orang baru untuk tim. Kabur ketiga gajiku dinaikan. Kelihatannya indah sekali perjalanan karir ini. Cuma masalahnya sampai sekarang aku tetap tak bisa kerja cepet, karena gangguan non teknis yang aku protes tak juga diamputasi.

Tenangkan pikirmu, teman...
Kerja tuh bukan sekedar soal gaji dan pekerjaan doang. Anggap saja seperti orang pacaran. Kalo cocok dilanjut kawin kalo engga ya balik kanan. Kalo sempat cium-cium dikit, anggap saja bonus, bukannya kewajiban untuk tetap bertahan. Toh yang sudah kawin saja, oleh agama dan negara masih dikasih opsi cerai bila mentok ga bisa akur.

Belajarlah berpikir bahwa kita adalah mitra kerja dan bukan aset.
Kira-kira begitu...


Mobile Post via XPeria
Read More

17 Mei 2011

Manajemen Toko

Kerja di perusahaan yang bermanajamen toko memang suka menggelikan, kalo terlalu kasar disebut memuakkan. Terlalu banyak juragan dengan struktur tak jelas membuat garis komando dan koordinasi acak adut. Bisa juragan yang satu menyuruh kita ke utara namun ditengah jalan diharuskan belok ke barat oleh juragan yang lain. Makanya kalo salah menyikapinya, bisa stress berat. Sampai-sampai karyawan disini jarang sekali yang awet, terutama karyawan pendatang. Namun bila kita bisa menerimanya dengan berbeda, masalah-masalah ajaib yang terjadi bisa dijadikan bahan guyonan saat ngumpul di mess.

Kondisi seperti ini, beban yang cukup berat ada di HRD. Empat bulan disini, aku sudah mengalami 3 kali pergantian manager HRD. Pihak Jakarta bahkan sempat mengirim manager pusat untuk membenahi personalia di site. Tak sampai sebulan kabur dia dengan mewariskan masalah untuk HRD lokal. Dia yang pecat karyawan, staf lokal yang jadi sasaran dipukulin orang.

Gonta-ganti orang personalia yang kadang tidak dibarengi serah terima pekerjaan dengan jelas, sering jadi masalah. Sudah teramat umum disini data atau kontrak kerja karyawan tak tahu dimana disimpannya oleh orang lama. Belum lagi juragan-juragan yang suka memasukan orang seenaknya tanpa koordinasi dengan HRD. Sampai-sampai pas merekap absen untuk gaji mereka bingung kok bisa ada orang baru. Namun bila dikomplen, juragan yang memasukannya yang akan intervensi. Kebalikannya kadang ada juragan yang mengijinkan bolos atau memecat karyawan tanpa lapor HRD. Ada juga yang sedikit tertib melalui prosedur HRD, tapi maksa tanpa bisa mengatakan alasannya yang jelas.

Jumlah karyawan yang menggelembung sampai 350an orang, sementara aku lihat sebenarnya bisa ditangani oleh 200an orang, membuat pembagian pekerjaan jadi tidak seimbang. Ada yang super sibuk dan ada pula yang teramat santai. Yang santai ini bukan karena tidak kebagian kerjaan, tapi memang dia gabisa kerja. Namun susah untuk disentuh karena selalu terbentur, ini orangnya si anu. Ketidakseimbangan beban pekerjaan ini pada akhirnya menjadi penyebab timbulnya kecemburuan sosial. Sehingga karyawan yang sudah membentuk klan masing-masing itu makin terkotak-kotakan.

Aku dan tim juga kebagian getahnya. Pihak manajemen mendesak aplikasi sistem yang aku bangun bisa segera diselesaikan agar bisa menjadi sarana untuk memperbaiki carut-marut itu. Tapi bagaimana bisa jadi bila standar operasional prosedur nya saja tidak ada. Lagi pula aku pesimis, aplikasi HRD ini bisa memperbaiki masalah personalia ini. Bila melihat kenyataan, bahwa yang selalu bikin masalah itu bukan semata-mata dari bawah, melainkan dari atas. Aku tak yakin orang-orang yang selama ini memiliki kekuasaan besar namun tak pernah ada di struktur perusahaan bisa menerima, bila kekuasaan mereka terpotong oleh sistem.

Mumet memang...
Tapi justru itulah bahan ujian yang paling bagus untuk sebuah sistem informasi manajemen yang sedang aku bangun. Kondisi-kondisi ekstrim ini sangat diperlukan sebagai paramater, sehingga ketika diterapkan dalam kondisi apapun, sistem tak perlu sampai error.

Tapi semua ini sudah aku perhitungkan sejak awal. Apalagi untuk yang berkecimpung di IT dan punya tugas membangun sistem. Sudah menjadi kebiasaan bila perusahaan butuh sistem tapi tak mau bayar mahal beli SAP misalnya yang harganya milyaran. Cukup kontrak beberapa orang dengan gaji pas-pasan, setelah sistem selesai, tinggal disepak. Parameterku tentang pola manajemen perusahaan tak perlu terlalu rumit. Kalo saja kantornya deket-deket Glodok, umumnya ya juragan toko yang mengelola.

Kuharap tak perlu terlalu lama lagi berakit-rakit ke hulunya
Dah mulai jenuh tiap hari makan peuyeum
Tapedeeeh...


Read More

16 Mei 2011

Ingin Berteriak

Tanggal belum terlalu tua, tapi mumet rasanya sudah sedemikian mendesak otak. Lama ga ganti oli saja sudah bikin kepala nyut-nyutan. Apalagi saat Citra sakit seperti sekarang ini, konsentrasi kerja makin buyar saja. Anaknya ga mau digeletakin dan minta digendong terus. Ibunya harus mondar-mandir dalam rumah karena kalo duduk, anaknya nangis lagi. Bisa dibilang ibunya ga bisa istirahat padahal dalam kondisi hamil. Untungnya saat aku desak ulang ke HRD tentang permohonan cutiku yang sudah molor sebulan, mereka sudah setuju dengan syarat sambungan internet yang rusak kena petir sudah bisa aku atasi.

Namanya orang terlalu berharap, memang suka ada-ada saja hambatannya. Vendor radio link dari Banjarmasin yang biasanya mau mengantar barang sampai ke lokasi, mendadak sibuk dan mengatakan tak bisa ke Tamiang sampai minggu depan. Mau tidak mau aku jadi berangkat sendiri dan memakan waktu sampai 3 hari pp. Dan yang agak menyebalkan, setelah beres dengan belanjaan, si vendor yang bilang lagi sibuk malah ikut mengantar aku pulang. Hasemmm...

Sampai di Tamiang, Tuhan ternyata begitu menyayangiku dengan menurunkan hujan sedemikian lebat. Mungkin tak mau aku naik tower setinggi 40 meter dalam kondisi ngantuk setelah semalaman menempuh perjalanan, sehingga aku disuruh bobo manis dulu. Begitu hujan reda, aku ke Telkom dan berharap segera menyelesaikan pekerjaan  agar bisa cepet mudik. Eh, petugas Telkom yang dulu ngerjain proyek internet melarang aku naik di jam kerja. Harus kerja malam hari atau pada hari libur. Alasannya tidak enak ketahuan karyawan lain, karena tower merupakan daerah terlarang. Dan internet kantorku yang pasang perangkat di tower ini merupakan proyek pribadi tanpa sepengetahuan karyawan lain. Lebih mangkelnya lagi, aku harus siapkan uang tutup mulut untuk satpam dan karyawan non organik yang saat aku kerja sedang berada di Telkom. Semmm...

Naik turun dan bolak balik antara tower Telkom dan tower kantor yang jaraknya sekitar 15 kiloan, pasang perangkat, setting dan pointing selesai. Dari client di kantor sudah bisa ping ke modem yang terpasang di Telkom. Namun ping ke DNS sapidi tidak juga mau masuk. Bolak-balik seharian lagi untuk memeriksa kalau-kalau ada settingan yang salah. Sudah pasrah dengan dengkul leklok lama tidak naik-naik, aku nelpon ke 147. Dan jawabannya, internet diblokir, tagihan bulan lalu belum dibayar. Semmmprul...

Konfirmasi ke bagian keuangan dan ternyata benar mereka lupa bayar. Aku minta bayar segera. Tapi dasar aki-aki degleng, ngitung duit 700 rebu aja ga cukup 2 jam. Balik ke Telkom untuk bayar tagihan dan ternyata harus bayar langsung 2 bulan, judulnya duit kurang. Balik lagi ke kantor minta tambahan dan bolak ke Telkom lagi. Nyampe sana kantornya sudah tutup. Hari sabtu cuma setengah hari, pak. Semmm lagi...

Ngibrit ke ATM BRI mau pakai rekening pribadi, ternyata ATMnya error. Terpampang jelas di layar, saldo anda tidak mencukupi. Lapor bagian keuangan dan disuruh balik ke kantor. Sampe kantor, si aki-aki malah sudah ngabur ke kota. Katanya mau ke ATM. Begonya ga kasih tahu lewat telpon apa sms lagi. Yaudah akhirnya balik ke kota lagi dan harus menunggu juragan duit yang sebelum ke ATM mau makan dulu. Numpang makan gratis trus ikut ke ATM buat bayar tagihan. Setelah itu telpon ke 147 minta buka blokir. Hampir sejam menunggu, belum juga bisa nyambung tuh internet. Nelpon lagi ke CS dan katanya blokir sudah dibuka. Tapi ada masalah di sentral dan aku harus menghubungi orang sapidi hari senin. Dan senin pagi ini aku meluncur ke Telkom mencari bagian sapidi. Dan ternyata beliau harus patuh pada peraturan bersama 3 menteri yang menyarankan hari ini cuti bersama. Semmm apalagi neh...

Kalo saja dekat pantai, pasti aku sudah lari kesana berteriak kenceng melepas kepenatan otak. Sayang disini cuma ada hutan belantara. Kalo aku teriak-teriak, bisa dikira tarzan tar. Mending kalo trus disamperin jane, kalo yang datang anjing hutan bisa berabe. Aku bisa dikira tulang berjalan...

Dah, gada semmm lagi...
Read More

15 Mei 2011

Mural

Saat otak penuh masalah yang seolah bikin semua jalan mampet, selalu saja aku teringat temen yang berjudul Samuel Indratma. Bukan rambut gembelnya yang bikin kangen, tapi kebiasaannya mengajakku bermuralria di tembok-tembok kota Jogja saat melihatku tampak suntuk. Sampai-sampai aku pernah tanya, kenapa mengajak mural hanya saat aku suntuk. Padahal bermuralpun butuh mood yang oke agar bisa kompak dengan yang lain. Jawaban beliau malah begini, "saya tidak butuh situ ikut ngecat yang bisa bikin berantakan gambar. Tapi situ kalo lagi mumet kan rajin beli bir..."

Awal yang sepele. Namun dari situ aku bisa sedikit mengerti kenapa mural lebih sering dilakukan oleh mereka yang merasa terpinggirkan. Di saat buntu, rasanya tembok Berlin mendadak tegak berdiri mengepung di sekeliling. Dengan mural, kita belajar merubah pandangan bahwa tembok itu bukanlah pembatas pikiran. Namun jadi media untuk menyalurkan aspirasi yang tak boleh terkekang oleh apapun. Bagaimanapun juga, dengan mural kita bisa menunjukkan bahwa interaksi tidak hanya dilakukan secara visual. Namun mampu mendekatkan diri sebagai seni yang berinteraksi secara verbal.

Lagipula, hampir tidak pernah ada mural hasil karya satu orang. Selalu saja dibutuhkan kerjasama dengan banyak orang dalam melakukan brainstorming dan eksekusinya. Dalam perspektif populer, mural bisa membentuk masyarakat homogen yang bisa memiliki solidaritas sosial. Sehingga pada akhirnya, otak pesimis bisa menjadi optimis merasa punya teman seperjuangan yang bisa sama-sama termarjinalkan dalam tanda kutip.

Ini terasa sejak mulai aku mengenal mural saat balita dulu. Ketika merasa terpinggirkan, misalnya habis dimarahin ortu, aku suka menyendiri untuk kemudian mencoret-coret tanah atau tembok rumah dengan arang. Ketika mulai tersisih dari pergaulan dan membentuk geng, kebiasaan itu berbelok ke arah seni grafiti di tembok menggunakan cat semprot. Semakin banyak coretan nama geng terpampang di sudut-sudut kota, semakin bangga rasanya. Ketika mulai mengenal cinta, kebiasaan itu belum juga hilang. Saat dunia serasa runtuh ketika cinta ditolak, batang-batang pohon di tempat sunyi yang menjadi saksi. Tertoreh luka di kulit pohon dengan pisau pramuka, rawinchyankkmoeclaloe...

Ketika aku jadi tukang ngurus telepon umum di kandatel Tasikmalaya, mulai kumat lagi corat-coret itu di console atau box telepon umum. Awalnya sih karena frustasi dengan telepon coin yang selalu dicorat-coret ABG. Pagi dibersihkan, sore dah penuh coretan spidol dan cat lagi. Sehingga terbersit ide sekalian digambarin agar tidak terkesan kotor.

Setelah di Jogja, hobi corat-coret tembok bisa terpuaskan dengan lebih total. Arahnya sudah bukan lagi melampiaskan rasa terpinggirkan. Tapi memang terbawa suasana Jogja yang seninya tak pernah mati. Apalagi bila sudah gabung Samuel atau Rolly Lovehatelove. Sampai-sampai tembok kantor pun sering jadi ajang menumpahkan amarah tanpa kena marah juragan dengan alasan berkesenian.

Cuman sayang...
Walau seneng corat-coret
Tetap saja aku tak bisa melukis dengan benar
Yang aku bisa masih sebatas memeluk dan mengkiss
Tapi itu masih nyambung dengan berkesenian kok yah
Minimal masih berkaitan dengan sarana prasarana berair seni...
Read More

Matematika Hidup

Acara satu jam bersama google hari ini, aku terdampar di kata kunci Robert H. Schuller yang belum aku kenal sama sekali sebelumnya. Ada kutipan menarik dari beliau yang mungkin bisa dijadikan quote of the day.

“The mathematics of high achievement can be stated by a simple formula. Begin with a dream. Divide the problems and conquer them one by one. Multiply the exciting possibilities in your mind. Substract all the negative thoughts to get started. Add enthusiasm. Your answer will be the attainment of your goal.”

Nemu translitannya di berbagai blog :

”Matematika untuk prestasi tinggi dapat dinyatakan dengan sebuah rumus yang sederhana. Mulailah dengan sebuah mimpi. Bagilah masalah-masalah yang ada menjadi bagian-bagian kecil dan taklukkanlah satu demi satu. Kalikanlah dengan kemungkinan-kemungkinan yang positif dalam pikiran anda. Kurangkanlah semua pikiran-pikiran yang negatif untuk memulai. Tambahkanlah antusiasme. Jawabannya adalah pencapaian cita-cita anda.”

Aku tertarik mengutip itu, setelah melihat kenyataan bahwa banyak anak sekolah yang begitu alergi dengan pelajaran matematika. Padahal matematika selalu ada dalam setiap detil perjalanan hidup manusia sejak mulai belajar hidup. Setiap waktu boleh dikatakan kita selalu berhitung. Dari sekedar menghitung desahan nafas sampai menghitung berapa banyak kita bisa mencuri uang rakyat secara aman. Orang paling bodoh pun, dalam artian buta huruf, bisa dibilang tidak ada yang tidak mengerti angka. Minimal saat menghitung uang dan ngerumus togel.

Dalam mengatur strategi hidup kita juga harus selalu berhitung. Seperti dalam anehdot tentang dua orang kalangkabut dikejar harimau. Tetap saja dibutuhkan perhitungan cermat agar kita bisa selamat dan tak menjadi menu makan siang. Tak perlulah kita menghitung kecepatan lari harimau yang bisa mencapai 60 km/jam, yang hanya akan membuat kita jadi pesimis menghadapi kehidupan. Cukup kita perhitungan kecepatan lari teman kita dan minimal kita harus bisa satu langkah lebih cepat. Dan ini bukan soal makan teman, melainkan mengikuti proses seleksi alam ketika perhitungan untuk melawan bersama-sama sudah menghasilkan angka negatif.

Walau hidup teramat dekat dengan matematika, namun sebaiknya kita tak terjebak dalam pemikiran matematika digital dimana semuanya dibuat biner. Hidup tak hanya soal 0 dan 1, off dan on, gelap dan terang dan seterusnya. Tetap saja ada bagian yang remang-remang dalam artian selalu ada pecahan desimal di dalamnya. Antara 0 dan 1, masih ada 0,0000...1. Mungkin ini yang disebut Newton sebagai ketakberhinggaan nilai. Nol koma, walau jumlah angka nolnya sudah memenuhi layar komputer, tetap saja itu ada nilainya dan bukan null alias kosong.

Hal-hal yang kecil ini yang sering membuat kita terjebak dalam matematika hidup. Karena kecil seringkali kita malas memperhitungkannya. Padahal kenyataan di lapangan, kita jarang tertusuk linggis dan lebih sering tertusuk duri. Barang kecil dan sepele. Kita juga lebih sering mendengar orang tersandung kerikil kecil dibanding tersandung gajah raksasa hamil disengat tawon dan dilihat pakai mikroskop.

Setiap perhitungan selalu meminta persamaan agar bisa mencapai tujuan. Bila kita hanya bisa maju selangkah-selangkah, ya wajar bila dari 1 kita akan melalui 2, 3, dan seterusnya. Kalo misalkan ingin dari 1 langsung ke 3, berarti kita harus mampu melompat dalam setiap langkah. Dan sebuah kenyataan bila kita selalu mengingkan nilai akhir yang demikian tinggi namun tak mau mengasah kemampuan langkah agar bisa melompat lebih jauh. Akibatnya kita seperti orang yang pengen kaya plus ganteng. Ngimpiii...

Perjalanan hidup memang harus selalu diperhitungkan sebelum melangkah. Namun itu hanya ada di prosesnya. Untuk hasil akhir, terlalu banyak faktor non matematis yang harus bisa kita terima segala kepahitannya. Sering kita berusaha agar bisa memiliki kemampuan hidup menggunakan deret ukur daripada kita menggunakan deret hitung. Dengan deret geometri, kita memang bisa lebih cepat melaju karena menggunakan faktor perkalian dan pembagian. Ketika hidup harus terbagi pun selalu akan ada sisa walau hanya nol koma. Beda dengan deret aritmatika yang lebih lambat karena menggunakan faktor penambahan dan pengurangan. Bila menemukan jalan pengurangan, hasilnya bisa negatif alias di bawah nol. Namun tak selamanya itu bisa dijadikan patokan. Karena dalam deret geometri, bila kita menemukan pembagi bernilai nol, maka hidup kita akan error.

Matematika yang dikatakan ilmu pasti pun tak mampu menghasilkan sisa ketika nilainya harus dibagi dengan nol. Ketidakpastian matematika juga terjadi ketika menemukan angka yang terlalu besar, dengan menyebutnya sebagai tak terhingga. Ketidakpastian ini bisa dirasa juga saat kita tanya berapa hasil dari 3x4. Anak SD bisa jadi akan mengatakan 12. Namun tukang foto mungkin akan menjawab 2000.

Bila bicara pelajaran matematika SD. Aku pun pernah bingung dengan perintah sederhana dari guru. Aku masih lancar ketika harus maju dan menggambar segitiga sama sisi di papan tulis. Tapi ketika ibu guru menyuruhku menggambar segitiga sama kaki, buruan aku komplen. "Nggambarnya sama tangan aja ya, bu. Sama kaki susah, harus buka sepatu segala..."

Dah ah...
Mulai ngelantur kemana-mana
Mumet...

Read More

14 Mei 2011

Blogger Ditutup

Saat di Banjarmasin dua hari lalu, aku masih bisa posting sampe 2 kali ke Blogger pake hape. Eh, begitu kembali ke Tamianglayang kemarin subuh, Blogger sudah ngadat dalam perbaikan. Sempat heran juga dengan maintenance Blogger kali ini yang makan waktu sampai 2 hari. Biasanya mogok satu dua jam juga dah sehat lagi.

Awalnya sih cuma berstatus read only, dalam artian ga bisa posting tapi blog masih bisa dibaca-baca. Tapi sore tadi penyakitnya nambah. Dua jurnal terakhir yang diposting dalam kondisi maintenance mendadak hilang dari blog. Ketika Blogger sudah bisa dibuka kembali, kedua jurnal itu tidak juga kembali. Padahal janjinya di Blogger status, semua yang hilang akan dikembalikan seperti semula. Untung saja aku selalu melakukan crossposting antara Blogger dan Multiply, sehingga tidak perlu kehilangan catatan sejarah perjuangan hidup yang sebenarnya ga penting.

Yang lebih mengenaskan adalah sempat tersebar isu kalo blogger akan ditutup. Sampai akhirnya nemu pencerahan di Blogger Buzz yang mengatakan bahwa :

Pada tanggal 25 Juni 2011 akan diadakan penutupan permanen secara otomatis account Blogger yang terdaftar sejak sebelum tahun 2007, kecuali yang sudah menggabungkan account Bloggernya dengan account Google.

Sebelum tahun 2006, Blogger dan Google memang menggunakan account terpisah. Sejak 2007, Google sudah mensosialisasikan penggabungan account Blogger ke account Google. Mungkin karena banyak yang ndableg, akhirnya proses integrasi itu dipaksakan seperti yang terjadi saat ini. Ini juga berlaku untuk pemilik account Youtube yang sejak bulan Mei 2009 sudah diminta untuk mengalihkan account Youtube nya dengan account Google. Soal ini bisa dibaca di Youtube Global.

Agaknya perebutan pasar di dunia maya sudah sedemikian ketat sampai membuat Google gerah. Meskipun Google termasuk perusahaan yang sehat di dunia bisnis, namun cukup banyak produknya yang dianggap gagal. Misalnya :

Google X, yang merupakan versi dari home page Google dengan model interface Mac OS.

Google Catalog yang merupakan mesin pencari catalog online. Dikembangkan sejak tahun 2001 sampai 2009, namun dari awal sampai akhir hayatnya tak pernah melepas label beta nya.

Google Answers  yang sempat nongol sejak tahun 2002 sebagai tandingan  Yahoo! Answers. Distop pengembangannya pada tahun  2006 karena kekurangan penggemar

Google Video Player untuk memainkan file video Google yang dihentikan pengembangannya pada tahun 2007 dan digantikan dengan mengakuisisi Youtube.

Google Wave yang dirancang Google agar penggunanya bisa melakukan komunikasi layaknya email dan instant messaging dengan cara yang baru. Namun google wave terlalu rumit dan sepi peminat. Akhirnya bulan Agustus 2010 Google resmi mengumumkan penutupan layanan ini.

Produk lain yang bisa dikatakan gagal diantaranya : Web Accelerator, Wiki Search, Google Audio Ads, Google Page Creator dan masih banyak lagi. Ada juga yang masih bertahan, namun bila orang Madura mengatakan "maju tak jalan" diantaranya : Google Buzz yang disiapkan untuk menandingi Twitter, Gtalk untuk menandingi Y!M, Knol untuk menandingi Wikipedia, Google Groups untuk menandingi milis Yahoo dan beberapa lagi lainnya.

Namun yang jelas, Google masih tetap nomor satu untuk urusan mesin pencari walaupun algoritmanya sering dikacaukan oleh para pebisnis onlen dengan black SEO nya. Untuk urusan webmail, Gmail juga lebih bagus dibandingkan Yahoo yang pelindung spamnya kurang beres. Google Adsense didukung Google Adwords juga masih bisa dibilang jagoan untuk urusan periklanan.

Untuk urusan ngeblog, ya Blogger lah yang membebaskan kita mengutak-atik tampilan dengan berbagai script yang tak ditolelir oleh penyedia layanan blog gratisan lainnya. Walau kadang kebebasan ini membuat para penggunanya overdosis dalam mendandani tampilan blognya, sampai ga mikirin orang lain tersiksa dengan load halaman yang begitu memakan waktu. Sudah tampilannya rame banget, tapi ngebet pengen dikomengin temen. Udah gitu masih pasang verifikasi kata lagi. Wuah, nyebelinnya poool...

Pokoknya bersyukur banget, malam ini Blogger sudah pulih
Dan semoga tidak ketularan rese seperti Mulkipli Indonesia...


Read More

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena