Sejak di bumi Kalimantan, aku rutin minum air rendaman akar Pasak Bumi setiap pagi dan sore untuk mencegah keluhan sakit pinggang. Rupanya ada teman yang tertarik pengen mencoba. Tapi begitu dia nyruput sedikit, langsung disemburkan lagi sambil berteriak, "anjrit, pait pisaaan..."
Andai saja Sang Pencipta mendesain lidah manusia dengan syaraf pengecap pahit berada di ujung lidah. Mungkin kita akan lebih mudah untuk mengakali kepahitan semacam itu. Misalnya dengan minum air pahit mempergunakan sedotan yang langsung ke pangkal lidah tanpa menyentuh bagian ujung. Tapi kenapa justru pengecap manis yang ada di ujung lidah dan pengecap pahit pada pangkalnya..?
Aku sedang tak ingin berfilosofi. Aku hanya ingin membaca itu sebagai sebagian dari tanda-tanda alam yang mengisyaratkan bahwa manusia memang paling mudah tertipu oleh rasa. Ketika menjulurkan lidah mencicipi sesuatu, hanya ujungnya saja yang bisa merasakan sehingga rasa pahit tak terdeteksi pada kesan pertama. Kecuali kita memang manusia yang inovatif, sehingga proses pencicipan rasa itu dilakukan di seluruh bagian lidah agar bisa tahu nilai komposisi rasa manis, pahit, asin dan asemnya. Namun pada kenyataannya, berapa banyak orang yang mau begitu. Lagipula menurutku itu bukanlah inovatif, malah terkesan sedikit lebay. Pernah lihat, orang mau minum apa, jarinya dicelupin dulu ke gelas lalu dioleskan ke segala penjuru lidah..?
Mungkin alam memang sedang mengajarkan kepada kita. Bahwa hidup memang seringkali diawali dengan yang manis-manis, dilanjutkan asin dan asem untuk kemudian diakhiri dengan kepahitan. Seperti ketika aku kenalan dengan cewek cakep dan seksi. Yang langsung terbayang hanya rasa indahnya bila bisa jadi pacar. Kemudian bisa jadi istri yang tak akan dilepaskan dari dekapan sepanjang malam. Padahal kenyataan manis seringkali hanya pada awal pacaran saja. Selanjutnya selalu saja rasa asin asem mengganggu dan tak jarang berakhir pahit. Tanpa kemauan kita mensiasati segala rasa yang ada, hidup bisa berasa tak menentu lagi. Apalagi kalo sudah jadi istri, jangankan kelon siang malam. Tidur saja sudah mulai beradu punggung. Tapi itu cuma contoh soal saja. Yang bisa merujak semua rasa menjadi nikmat juga banyak.
Kayaknya hanya sedikit orang yang mau membalik logika untuk mau mengawali dengan kepahitan agar bisa manis diakhirnya. Pada saat melihat orang sukses berlogika lidah terbalikpun, jarang kita mau melihat proses awalnya. Misalnya kita melihat teman yang sukses bisnis sapi, langsung ribut ikut jualan sapi. Bagaimana susah payahnya teman kita saat memulai bisnisnya tak pernah mau kita pelajari. Akhirnya kita hanya bisa menuai keberhasilan instan yang seringkali hanya tergantung pada kekuatan modal semata. Keuletan dan kemampuan menghadapi masalah bisnis, kita tak terlatih sama sekali. Sehingga wajar bila banyak yang berakhir tragis, kehilangan sapi berikut kandangnya...
Lebih parah lagi bila kita tak tahan godaan. Merasa gagal menjual sapi, dia mulai mulai berpikir untuk menjual harga diri. Modal aji mumpung, otak di dengkul dan email yahoo, bisa dapat uang banyak plus jalan-jalan gratis keluar negeri beserta anak istri.
Atau malah jualan daging mentah
Di sarkem misalnya
Atau taman lawang
Payah...
Andai saja Sang Pencipta mendesain lidah manusia dengan syaraf pengecap pahit berada di ujung lidah. Mungkin kita akan lebih mudah untuk mengakali kepahitan semacam itu. Misalnya dengan minum air pahit mempergunakan sedotan yang langsung ke pangkal lidah tanpa menyentuh bagian ujung. Tapi kenapa justru pengecap manis yang ada di ujung lidah dan pengecap pahit pada pangkalnya..?
Aku sedang tak ingin berfilosofi. Aku hanya ingin membaca itu sebagai sebagian dari tanda-tanda alam yang mengisyaratkan bahwa manusia memang paling mudah tertipu oleh rasa. Ketika menjulurkan lidah mencicipi sesuatu, hanya ujungnya saja yang bisa merasakan sehingga rasa pahit tak terdeteksi pada kesan pertama. Kecuali kita memang manusia yang inovatif, sehingga proses pencicipan rasa itu dilakukan di seluruh bagian lidah agar bisa tahu nilai komposisi rasa manis, pahit, asin dan asemnya. Namun pada kenyataannya, berapa banyak orang yang mau begitu. Lagipula menurutku itu bukanlah inovatif, malah terkesan sedikit lebay. Pernah lihat, orang mau minum apa, jarinya dicelupin dulu ke gelas lalu dioleskan ke segala penjuru lidah..?
Mungkin alam memang sedang mengajarkan kepada kita. Bahwa hidup memang seringkali diawali dengan yang manis-manis, dilanjutkan asin dan asem untuk kemudian diakhiri dengan kepahitan. Seperti ketika aku kenalan dengan cewek cakep dan seksi. Yang langsung terbayang hanya rasa indahnya bila bisa jadi pacar. Kemudian bisa jadi istri yang tak akan dilepaskan dari dekapan sepanjang malam. Padahal kenyataan manis seringkali hanya pada awal pacaran saja. Selanjutnya selalu saja rasa asin asem mengganggu dan tak jarang berakhir pahit. Tanpa kemauan kita mensiasati segala rasa yang ada, hidup bisa berasa tak menentu lagi. Apalagi kalo sudah jadi istri, jangankan kelon siang malam. Tidur saja sudah mulai beradu punggung. Tapi itu cuma contoh soal saja. Yang bisa merujak semua rasa menjadi nikmat juga banyak.
Kayaknya hanya sedikit orang yang mau membalik logika untuk mau mengawali dengan kepahitan agar bisa manis diakhirnya. Pada saat melihat orang sukses berlogika lidah terbalikpun, jarang kita mau melihat proses awalnya. Misalnya kita melihat teman yang sukses bisnis sapi, langsung ribut ikut jualan sapi. Bagaimana susah payahnya teman kita saat memulai bisnisnya tak pernah mau kita pelajari. Akhirnya kita hanya bisa menuai keberhasilan instan yang seringkali hanya tergantung pada kekuatan modal semata. Keuletan dan kemampuan menghadapi masalah bisnis, kita tak terlatih sama sekali. Sehingga wajar bila banyak yang berakhir tragis, kehilangan sapi berikut kandangnya...
Lebih parah lagi bila kita tak tahan godaan. Merasa gagal menjual sapi, dia mulai mulai berpikir untuk menjual harga diri. Modal aji mumpung, otak di dengkul dan email yahoo, bisa dapat uang banyak plus jalan-jalan gratis keluar negeri beserta anak istri.
Atau malah jualan daging mentah
Di sarkem misalnya
Atau taman lawang
Payah...
emang mas pernah liat kah yang nyelupin jarinya tadi? kurang kerjaan deh -.-"
BalasHapussuka ama tulisan di atas, ndak ada yang instan...semua butuh perjuangan termasuk ketika UTS berlangsung. lek ndak sinau, dijamin koyok enthung!
Mas, kalo tidur sudah mulai beradu punggung, coba refresh dengan mulai saling menggaruk-garuk punggung. Selamat berupaya ! :)
BalasHapusKeren banget analoginya, cocok buat seumuran gua yg lagi struggling bekerja dan membangun *ehem* fondasi untuk rumah tangga, hahaha...gua termasuk salah seorang yg ga pengen cepet2 married. Alesannya? Masih ingin hidup bebas, hehehe. Sementara kebanyakan temen2 gua dah pada kebelet married. Yg cowo kebelet pengen "kawin" (seks), yg cewe kebelet pengen "nikah" (punya sandaran dan status)
BalasHapusbagus sekaligus ngena bgt tulisanya, mudah di pahami juga hehe... Ya rasa pahit sudah menjadi bagian dari sekumpulan yg manis2. Orang sukses juga pasti pernah mengenyam yang pahit2nya dulu. Salam hehe..
BalasHapusKesimpulannya Mungkin apapun rasanya hidup:pahit,asem,asin,manis, yang penting tinggal kitaya ajh yang bisa bijak menyikapinya. Semua rasa itu thoh tetap punya karakter dan kenikmatan tersendiri
BalasHapusokeoke... aja klalen nginum madu, dejamin legi ...
BalasHapusLinduaji Masman
wow... berfilosofi ria... pantas saya sempat limbung di sini.. tolong sayaaa ^___^
BalasHapus