Saat otak penuh masalah yang seolah bikin semua jalan mampet, selalu saja aku teringat temen yang berjudul Samuel Indratma. Bukan rambut gembelnya yang bikin kangen, tapi kebiasaannya mengajakku bermuralria di tembok-tembok kota Jogja saat melihatku tampak suntuk. Sampai-sampai aku pernah tanya, kenapa mengajak mural hanya saat aku suntuk. Padahal bermuralpun butuh mood yang oke agar bisa kompak dengan yang lain. Jawaban beliau malah begini, "saya tidak butuh situ ikut ngecat yang bisa bikin berantakan gambar. Tapi situ kalo lagi mumet kan rajin beli bir..."
Awal yang sepele. Namun dari situ aku bisa sedikit mengerti kenapa mural lebih sering dilakukan oleh mereka yang merasa terpinggirkan. Di saat buntu, rasanya tembok Berlin mendadak tegak berdiri mengepung di sekeliling. Dengan mural, kita belajar merubah pandangan bahwa tembok itu bukanlah pembatas pikiran. Namun jadi media untuk menyalurkan aspirasi yang tak boleh terkekang oleh apapun. Bagaimanapun juga, dengan mural kita bisa menunjukkan bahwa interaksi tidak hanya dilakukan secara visual. Namun mampu mendekatkan diri sebagai seni yang berinteraksi secara verbal.
Lagipula, hampir tidak pernah ada mural hasil karya satu orang. Selalu saja dibutuhkan kerjasama dengan banyak orang dalam melakukan brainstorming dan eksekusinya. Dalam perspektif populer, mural bisa membentuk masyarakat homogen yang bisa memiliki solidaritas sosial. Sehingga pada akhirnya, otak pesimis bisa menjadi optimis merasa punya teman seperjuangan yang bisa sama-sama termarjinalkan dalam tanda kutip.
Ini terasa sejak mulai aku mengenal mural saat balita dulu. Ketika merasa terpinggirkan, misalnya habis dimarahin ortu, aku suka menyendiri untuk kemudian mencoret-coret tanah atau tembok rumah dengan arang. Ketika mulai tersisih dari pergaulan dan membentuk geng, kebiasaan itu berbelok ke arah seni grafiti di tembok menggunakan cat semprot. Semakin banyak coretan nama geng terpampang di sudut-sudut kota, semakin bangga rasanya. Ketika mulai mengenal cinta, kebiasaan itu belum juga hilang. Saat dunia serasa runtuh ketika cinta ditolak, batang-batang pohon di tempat sunyi yang menjadi saksi. Tertoreh luka di kulit pohon dengan pisau pramuka, rawinchyankkmoeclaloe...
Ketika aku jadi tukang ngurus telepon umum di kandatel Tasikmalaya, mulai kumat lagi corat-coret itu di console atau box telepon umum. Awalnya sih karena frustasi dengan telepon coin yang selalu dicorat-coret ABG. Pagi dibersihkan, sore dah penuh coretan spidol dan cat lagi. Sehingga terbersit ide sekalian digambarin agar tidak terkesan kotor.
Setelah di Jogja, hobi corat-coret tembok bisa terpuaskan dengan lebih total. Arahnya sudah bukan lagi melampiaskan rasa terpinggirkan. Tapi memang terbawa suasana Jogja yang seninya tak pernah mati. Apalagi bila sudah gabung Samuel atau Rolly Lovehatelove. Sampai-sampai tembok kantor pun sering jadi ajang menumpahkan amarah tanpa kena marah juragan dengan alasan berkesenian.
Cuman sayang...
Walau seneng corat-coret
Tetap saja aku tak bisa melukis dengan benar
Yang aku bisa masih sebatas memeluk dan mengkiss
Tapi itu masih nyambung dengan berkesenian kok yah
Minimal masih berkaitan dengan sarana prasarana berair seni...
Awal yang sepele. Namun dari situ aku bisa sedikit mengerti kenapa mural lebih sering dilakukan oleh mereka yang merasa terpinggirkan. Di saat buntu, rasanya tembok Berlin mendadak tegak berdiri mengepung di sekeliling. Dengan mural, kita belajar merubah pandangan bahwa tembok itu bukanlah pembatas pikiran. Namun jadi media untuk menyalurkan aspirasi yang tak boleh terkekang oleh apapun. Bagaimanapun juga, dengan mural kita bisa menunjukkan bahwa interaksi tidak hanya dilakukan secara visual. Namun mampu mendekatkan diri sebagai seni yang berinteraksi secara verbal.
Lagipula, hampir tidak pernah ada mural hasil karya satu orang. Selalu saja dibutuhkan kerjasama dengan banyak orang dalam melakukan brainstorming dan eksekusinya. Dalam perspektif populer, mural bisa membentuk masyarakat homogen yang bisa memiliki solidaritas sosial. Sehingga pada akhirnya, otak pesimis bisa menjadi optimis merasa punya teman seperjuangan yang bisa sama-sama termarjinalkan dalam tanda kutip.
Ini terasa sejak mulai aku mengenal mural saat balita dulu. Ketika merasa terpinggirkan, misalnya habis dimarahin ortu, aku suka menyendiri untuk kemudian mencoret-coret tanah atau tembok rumah dengan arang. Ketika mulai tersisih dari pergaulan dan membentuk geng, kebiasaan itu berbelok ke arah seni grafiti di tembok menggunakan cat semprot. Semakin banyak coretan nama geng terpampang di sudut-sudut kota, semakin bangga rasanya. Ketika mulai mengenal cinta, kebiasaan itu belum juga hilang. Saat dunia serasa runtuh ketika cinta ditolak, batang-batang pohon di tempat sunyi yang menjadi saksi. Tertoreh luka di kulit pohon dengan pisau pramuka, rawinchyankkmoeclaloe...
Ketika aku jadi tukang ngurus telepon umum di kandatel Tasikmalaya, mulai kumat lagi corat-coret itu di console atau box telepon umum. Awalnya sih karena frustasi dengan telepon coin yang selalu dicorat-coret ABG. Pagi dibersihkan, sore dah penuh coretan spidol dan cat lagi. Sehingga terbersit ide sekalian digambarin agar tidak terkesan kotor.
Setelah di Jogja, hobi corat-coret tembok bisa terpuaskan dengan lebih total. Arahnya sudah bukan lagi melampiaskan rasa terpinggirkan. Tapi memang terbawa suasana Jogja yang seninya tak pernah mati. Apalagi bila sudah gabung Samuel atau Rolly Lovehatelove. Sampai-sampai tembok kantor pun sering jadi ajang menumpahkan amarah tanpa kena marah juragan dengan alasan berkesenian.
Cuman sayang...
Walau seneng corat-coret
Tetap saja aku tak bisa melukis dengan benar
Yang aku bisa masih sebatas memeluk dan mengkiss
Tapi itu masih nyambung dengan berkesenian kok yah
Minimal masih berkaitan dengan sarana prasarana berair seni...
Jadi tembok Jogja sebelah mana Om yang jadi karya senimu?
BalasHapusheheh jadi pengen malu...
BalasHapusitu tembok kantor pas lagi pengen ngamuk...
Jogja sekarang temboknya penuh lukisan indaaah... biar gak dikasih grafiti yang gaje
BalasHapusSiyalnya aku suka nggak bisa bedain mural dengan graffiti vandalisme, Mas. Perlu pelajaran seni yang lebih baik. *keluh*
BalasHapustrims mas bro, tambah satu ilmu lagi .. baru tahu nih yang namanya mural itu apa...
BalasHapuswah, pake kaos singlet dan ada teh cangkir besar
menandakan anda sedang dalam kondisi paling nyaman di dunia
mengingatkan lagu bang iwan
BalasHapusCoretan di dinding
Membuat resah
Resah hati pencoret
Mungkin ingin tampil
Tapi lebih resah
Pembaca coretannya
Sebab coretan dinding
Adalah pemberontakan kucing hitam
Yang terpojok di tiap tempat sampah
Ditiap kota
Cakarnya siap dengan kuku kuku tajam
Matanya menyala mengawasi gerak musuhnya
Musuhnya adalah penindas
Yang menganggap remeh
Coretan dinding kota
Coretan dinding
Terpojok ditempat sampah
Kucing hitam dan penindas
Sama sama resah
Kok pakai levis?Kelihatan banget takut kecipratan,hehe..
BalasHapusSemuanya pakai proses,gak mungkin langsung luar biasakan...
Yah,anggap aja lukisan abstrak,haha
Terus terang saya paling suka dengan muralmu yang ini mas
BalasHapus'rawinchyankkmoeclaloe . . . . . .' :-D
saya cuga suka coret-coret nih, cuma di buku atau di kertas. kalo di tembok kegedean modal.
BalasHapusbeberapa waktu lalu aku juga bikin mural di kamar tidur
BalasHapushasilnya lumayan laaah buat pemula
ternyata menyenangkan sekali ya bikin mural
semangart smua
BalasHapus