15 Mei 2011

Mural

Saat otak penuh masalah yang seolah bikin semua jalan mampet, selalu saja aku teringat temen yang berjudul Samuel Indratma. Bukan rambut gembelnya yang bikin kangen, tapi kebiasaannya mengajakku bermuralria di tembok-tembok kota Jogja saat melihatku tampak suntuk. Sampai-sampai aku pernah tanya, kenapa mengajak mural hanya saat aku suntuk. Padahal bermuralpun butuh mood yang oke agar bisa kompak dengan yang lain. Jawaban beliau malah begini, "saya tidak butuh situ ikut ngecat yang bisa bikin berantakan gambar. Tapi situ kalo lagi mumet kan rajin beli bir..."

Awal yang sepele. Namun dari situ aku bisa sedikit mengerti kenapa mural lebih sering dilakukan oleh mereka yang merasa terpinggirkan. Di saat buntu, rasanya tembok Berlin mendadak tegak berdiri mengepung di sekeliling. Dengan mural, kita belajar merubah pandangan bahwa tembok itu bukanlah pembatas pikiran. Namun jadi media untuk menyalurkan aspirasi yang tak boleh terkekang oleh apapun. Bagaimanapun juga, dengan mural kita bisa menunjukkan bahwa interaksi tidak hanya dilakukan secara visual. Namun mampu mendekatkan diri sebagai seni yang berinteraksi secara verbal.

Lagipula, hampir tidak pernah ada mural hasil karya satu orang. Selalu saja dibutuhkan kerjasama dengan banyak orang dalam melakukan brainstorming dan eksekusinya. Dalam perspektif populer, mural bisa membentuk masyarakat homogen yang bisa memiliki solidaritas sosial. Sehingga pada akhirnya, otak pesimis bisa menjadi optimis merasa punya teman seperjuangan yang bisa sama-sama termarjinalkan dalam tanda kutip.

Ini terasa sejak mulai aku mengenal mural saat balita dulu. Ketika merasa terpinggirkan, misalnya habis dimarahin ortu, aku suka menyendiri untuk kemudian mencoret-coret tanah atau tembok rumah dengan arang. Ketika mulai tersisih dari pergaulan dan membentuk geng, kebiasaan itu berbelok ke arah seni grafiti di tembok menggunakan cat semprot. Semakin banyak coretan nama geng terpampang di sudut-sudut kota, semakin bangga rasanya. Ketika mulai mengenal cinta, kebiasaan itu belum juga hilang. Saat dunia serasa runtuh ketika cinta ditolak, batang-batang pohon di tempat sunyi yang menjadi saksi. Tertoreh luka di kulit pohon dengan pisau pramuka, rawinchyankkmoeclaloe...

Ketika aku jadi tukang ngurus telepon umum di kandatel Tasikmalaya, mulai kumat lagi corat-coret itu di console atau box telepon umum. Awalnya sih karena frustasi dengan telepon coin yang selalu dicorat-coret ABG. Pagi dibersihkan, sore dah penuh coretan spidol dan cat lagi. Sehingga terbersit ide sekalian digambarin agar tidak terkesan kotor.

Setelah di Jogja, hobi corat-coret tembok bisa terpuaskan dengan lebih total. Arahnya sudah bukan lagi melampiaskan rasa terpinggirkan. Tapi memang terbawa suasana Jogja yang seninya tak pernah mati. Apalagi bila sudah gabung Samuel atau Rolly Lovehatelove. Sampai-sampai tembok kantor pun sering jadi ajang menumpahkan amarah tanpa kena marah juragan dengan alasan berkesenian.

Cuman sayang...
Walau seneng corat-coret
Tetap saja aku tak bisa melukis dengan benar
Yang aku bisa masih sebatas memeluk dan mengkiss
Tapi itu masih nyambung dengan berkesenian kok yah
Minimal masih berkaitan dengan sarana prasarana berair seni...

11 comments:

  1. Jadi tembok Jogja sebelah mana Om yang jadi karya senimu?

    BalasHapus
  2. heheh jadi pengen malu...
    itu tembok kantor pas lagi pengen ngamuk...

    BalasHapus
  3. Jogja sekarang temboknya penuh lukisan indaaah... biar gak dikasih grafiti yang gaje

    BalasHapus
  4. Siyalnya aku suka nggak bisa bedain mural dengan graffiti vandalisme, Mas. Perlu pelajaran seni yang lebih baik. *keluh*

    BalasHapus
  5. trims mas bro, tambah satu ilmu lagi .. baru tahu nih yang namanya mural itu apa...

    wah, pake kaos singlet dan ada teh cangkir besar
    menandakan anda sedang dalam kondisi paling nyaman di dunia

    BalasHapus
  6. mengingatkan lagu bang iwan

    Coretan di dinding
    Membuat resah
    Resah hati pencoret
    Mungkin ingin tampil

    Tapi lebih resah
    Pembaca coretannya
    Sebab coretan dinding
    Adalah pemberontakan kucing hitam
    Yang terpojok di tiap tempat sampah

    Ditiap kota
    Cakarnya siap dengan kuku kuku tajam
    Matanya menyala mengawasi gerak musuhnya
    Musuhnya adalah penindas
    Yang menganggap remeh
    Coretan dinding kota

    Coretan dinding
    Terpojok ditempat sampah
    Kucing hitam dan penindas
    Sama sama resah

    BalasHapus
  7. Kok pakai levis?Kelihatan banget takut kecipratan,hehe..
    Semuanya pakai proses,gak mungkin langsung luar biasakan...
    Yah,anggap aja lukisan abstrak,haha

    BalasHapus
  8. Terus terang saya paling suka dengan muralmu yang ini mas
    'rawinchyankkmoeclaloe . . . . . .' :-D

    BalasHapus
  9. saya cuga suka coret-coret nih, cuma di buku atau di kertas. kalo di tembok kegedean modal.

    BalasHapus
  10. beberapa waktu lalu aku juga bikin mural di kamar tidur
    hasilnya lumayan laaah buat pemula

    ternyata menyenangkan sekali ya bikin mural

    BalasHapus

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena