Acara satu jam bersama google hari ini, aku terdampar di kata kunci Robert H. Schuller yang belum aku kenal sama sekali sebelumnya. Ada kutipan menarik dari beliau yang mungkin bisa dijadikan quote of the day.
Nemu translitannya di berbagai blog :
Aku tertarik mengutip itu, setelah melihat kenyataan bahwa banyak anak sekolah yang begitu alergi dengan pelajaran matematika. Padahal matematika selalu ada dalam setiap detil perjalanan hidup manusia sejak mulai belajar hidup. Setiap waktu boleh dikatakan kita selalu berhitung. Dari sekedar menghitung desahan nafas sampai menghitung berapa banyak kita bisa mencuri uang rakyat secara aman. Orang paling bodoh pun, dalam artian buta huruf, bisa dibilang tidak ada yang tidak mengerti angka. Minimal saat menghitung uang dan ngerumus togel.
Dalam mengatur strategi hidup kita juga harus selalu berhitung. Seperti dalam anehdot tentang dua orang kalangkabut dikejar harimau. Tetap saja dibutuhkan perhitungan cermat agar kita bisa selamat dan tak menjadi menu makan siang. Tak perlulah kita menghitung kecepatan lari harimau yang bisa mencapai 60 km/jam, yang hanya akan membuat kita jadi pesimis menghadapi kehidupan. Cukup kita perhitungan kecepatan lari teman kita dan minimal kita harus bisa satu langkah lebih cepat. Dan ini bukan soal makan teman, melainkan mengikuti proses seleksi alam ketika perhitungan untuk melawan bersama-sama sudah menghasilkan angka negatif.
Walau hidup teramat dekat dengan matematika, namun sebaiknya kita tak terjebak dalam pemikiran matematika digital dimana semuanya dibuat biner. Hidup tak hanya soal 0 dan 1, off dan on, gelap dan terang dan seterusnya. Tetap saja ada bagian yang remang-remang dalam artian selalu ada pecahan desimal di dalamnya. Antara 0 dan 1, masih ada 0,0000...1. Mungkin ini yang disebut Newton sebagai ketakberhinggaan nilai. Nol koma, walau jumlah angka nolnya sudah memenuhi layar komputer, tetap saja itu ada nilainya dan bukan null alias kosong.
Hal-hal yang kecil ini yang sering membuat kita terjebak dalam matematika hidup. Karena kecil seringkali kita malas memperhitungkannya. Padahal kenyataan di lapangan, kita jarang tertusuk linggis dan lebih sering tertusuk duri. Barang kecil dan sepele. Kita juga lebih sering mendengar orang tersandung kerikil kecil dibanding tersandung gajah raksasa hamil disengat tawon dan dilihat pakai mikroskop.
Setiap perhitungan selalu meminta persamaan agar bisa mencapai tujuan. Bila kita hanya bisa maju selangkah-selangkah, ya wajar bila dari 1 kita akan melalui 2, 3, dan seterusnya. Kalo misalkan ingin dari 1 langsung ke 3, berarti kita harus mampu melompat dalam setiap langkah. Dan sebuah kenyataan bila kita selalu mengingkan nilai akhir yang demikian tinggi namun tak mau mengasah kemampuan langkah agar bisa melompat lebih jauh. Akibatnya kita seperti orang yang pengen kaya plus ganteng. Ngimpiii...
Perjalanan hidup memang harus selalu diperhitungkan sebelum melangkah. Namun itu hanya ada di prosesnya. Untuk hasil akhir, terlalu banyak faktor non matematis yang harus bisa kita terima segala kepahitannya. Sering kita berusaha agar bisa memiliki kemampuan hidup menggunakan deret ukur daripada kita menggunakan deret hitung. Dengan deret geometri, kita memang bisa lebih cepat melaju karena menggunakan faktor perkalian dan pembagian. Ketika hidup harus terbagi pun selalu akan ada sisa walau hanya nol koma. Beda dengan deret aritmatika yang lebih lambat karena menggunakan faktor penambahan dan pengurangan. Bila menemukan jalan pengurangan, hasilnya bisa negatif alias di bawah nol. Namun tak selamanya itu bisa dijadikan patokan. Karena dalam deret geometri, bila kita menemukan pembagi bernilai nol, maka hidup kita akan error.
Matematika yang dikatakan ilmu pasti pun tak mampu menghasilkan sisa ketika nilainya harus dibagi dengan nol. Ketidakpastian matematika juga terjadi ketika menemukan angka yang terlalu besar, dengan menyebutnya sebagai tak terhingga. Ketidakpastian ini bisa dirasa juga saat kita tanya berapa hasil dari 3x4. Anak SD bisa jadi akan mengatakan 12. Namun tukang foto mungkin akan menjawab 2000.
Bila bicara pelajaran matematika SD. Aku pun pernah bingung dengan perintah sederhana dari guru. Aku masih lancar ketika harus maju dan menggambar segitiga sama sisi di papan tulis. Tapi ketika ibu guru menyuruhku menggambar segitiga sama kaki, buruan aku komplen. "Nggambarnya sama tangan aja ya, bu. Sama kaki susah, harus buka sepatu segala..."
Dah ah...
Mulai ngelantur kemana-mana
Mumet...
“The mathematics of high achievement can be stated by a simple formula. Begin with a dream. Divide the problems and conquer them one by one. Multiply the exciting possibilities in your mind. Substract all the negative thoughts to get started. Add enthusiasm. Your answer will be the attainment of your goal.”
Nemu translitannya di berbagai blog :
”Matematika untuk prestasi tinggi dapat dinyatakan dengan sebuah rumus yang sederhana. Mulailah dengan sebuah mimpi. Bagilah masalah-masalah yang ada menjadi bagian-bagian kecil dan taklukkanlah satu demi satu. Kalikanlah dengan kemungkinan-kemungkinan yang positif dalam pikiran anda. Kurangkanlah semua pikiran-pikiran yang negatif untuk memulai. Tambahkanlah antusiasme. Jawabannya adalah pencapaian cita-cita anda.”
Aku tertarik mengutip itu, setelah melihat kenyataan bahwa banyak anak sekolah yang begitu alergi dengan pelajaran matematika. Padahal matematika selalu ada dalam setiap detil perjalanan hidup manusia sejak mulai belajar hidup. Setiap waktu boleh dikatakan kita selalu berhitung. Dari sekedar menghitung desahan nafas sampai menghitung berapa banyak kita bisa mencuri uang rakyat secara aman. Orang paling bodoh pun, dalam artian buta huruf, bisa dibilang tidak ada yang tidak mengerti angka. Minimal saat menghitung uang dan ngerumus togel.
Dalam mengatur strategi hidup kita juga harus selalu berhitung. Seperti dalam anehdot tentang dua orang kalangkabut dikejar harimau. Tetap saja dibutuhkan perhitungan cermat agar kita bisa selamat dan tak menjadi menu makan siang. Tak perlulah kita menghitung kecepatan lari harimau yang bisa mencapai 60 km/jam, yang hanya akan membuat kita jadi pesimis menghadapi kehidupan. Cukup kita perhitungan kecepatan lari teman kita dan minimal kita harus bisa satu langkah lebih cepat. Dan ini bukan soal makan teman, melainkan mengikuti proses seleksi alam ketika perhitungan untuk melawan bersama-sama sudah menghasilkan angka negatif.
Walau hidup teramat dekat dengan matematika, namun sebaiknya kita tak terjebak dalam pemikiran matematika digital dimana semuanya dibuat biner. Hidup tak hanya soal 0 dan 1, off dan on, gelap dan terang dan seterusnya. Tetap saja ada bagian yang remang-remang dalam artian selalu ada pecahan desimal di dalamnya. Antara 0 dan 1, masih ada 0,0000...1. Mungkin ini yang disebut Newton sebagai ketakberhinggaan nilai. Nol koma, walau jumlah angka nolnya sudah memenuhi layar komputer, tetap saja itu ada nilainya dan bukan null alias kosong.
Hal-hal yang kecil ini yang sering membuat kita terjebak dalam matematika hidup. Karena kecil seringkali kita malas memperhitungkannya. Padahal kenyataan di lapangan, kita jarang tertusuk linggis dan lebih sering tertusuk duri. Barang kecil dan sepele. Kita juga lebih sering mendengar orang tersandung kerikil kecil dibanding tersandung gajah raksasa hamil disengat tawon dan dilihat pakai mikroskop.
Setiap perhitungan selalu meminta persamaan agar bisa mencapai tujuan. Bila kita hanya bisa maju selangkah-selangkah, ya wajar bila dari 1 kita akan melalui 2, 3, dan seterusnya. Kalo misalkan ingin dari 1 langsung ke 3, berarti kita harus mampu melompat dalam setiap langkah. Dan sebuah kenyataan bila kita selalu mengingkan nilai akhir yang demikian tinggi namun tak mau mengasah kemampuan langkah agar bisa melompat lebih jauh. Akibatnya kita seperti orang yang pengen kaya plus ganteng. Ngimpiii...
Perjalanan hidup memang harus selalu diperhitungkan sebelum melangkah. Namun itu hanya ada di prosesnya. Untuk hasil akhir, terlalu banyak faktor non matematis yang harus bisa kita terima segala kepahitannya. Sering kita berusaha agar bisa memiliki kemampuan hidup menggunakan deret ukur daripada kita menggunakan deret hitung. Dengan deret geometri, kita memang bisa lebih cepat melaju karena menggunakan faktor perkalian dan pembagian. Ketika hidup harus terbagi pun selalu akan ada sisa walau hanya nol koma. Beda dengan deret aritmatika yang lebih lambat karena menggunakan faktor penambahan dan pengurangan. Bila menemukan jalan pengurangan, hasilnya bisa negatif alias di bawah nol. Namun tak selamanya itu bisa dijadikan patokan. Karena dalam deret geometri, bila kita menemukan pembagi bernilai nol, maka hidup kita akan error.
Matematika yang dikatakan ilmu pasti pun tak mampu menghasilkan sisa ketika nilainya harus dibagi dengan nol. Ketidakpastian matematika juga terjadi ketika menemukan angka yang terlalu besar, dengan menyebutnya sebagai tak terhingga. Ketidakpastian ini bisa dirasa juga saat kita tanya berapa hasil dari 3x4. Anak SD bisa jadi akan mengatakan 12. Namun tukang foto mungkin akan menjawab 2000.
Bila bicara pelajaran matematika SD. Aku pun pernah bingung dengan perintah sederhana dari guru. Aku masih lancar ketika harus maju dan menggambar segitiga sama sisi di papan tulis. Tapi ketika ibu guru menyuruhku menggambar segitiga sama kaki, buruan aku komplen. "Nggambarnya sama tangan aja ya, bu. Sama kaki susah, harus buka sepatu segala..."
Dah ah...
Mulai ngelantur kemana-mana
Mumet...
Wits... ternyata tidak semua matematika bisa diselesaikan dengan Kalkukatrok
BalasHapuswew...ganti template.... :D
BalasHapuskenapa coba harus sama kaki doang... :D kenapa ndak sama kepala juga
greeting for you
BalasHapusjadi tahu tuh mas unik juga yach maaf telat ya
ra mudeng matimatian mas... isone "mencongak"
BalasHapus::mecoco karo ndangak:: hehehe.....
Matematika, pelajaran yang tak banyak ku ingat >.<
BalasHapusBetul sekali, sebenarnya pelajaran di skolah banyak berperan dalam kehidupan.
BalasHapus