Semalem teman bagian accounting begitu kalangkabut ketika internet mendadak mati saat dia harus kirim begitu banyak laporan ke Jakarta. Telpon dan smsnya bisa masuk ke hapeku tiap 5 menit menanyakan kapan internetnya bisa kembali berfungsi. Sementara gangguan terjadi secara total dari Telkom tanpa aku bisa memperkirakan kapan teratasinya. Tekanan dari Jakarta yang mengharuskan data sudah diterima besok pagi membuatnya stress berat. Aku sarankan untuk santai, ngopi dan tak perlu ribut malah dijawab dengan ngomel-ngomel ga karuan sampai menyentuh kata profesional.
Aku sendiri sampai sekarang tak pernah tahu, apa definisi dari kata profesional yang sebenarnya. Buatku kerja adalah menjalankan tugas sesuai fungsinya namun tetap ada batasannya. Disaat pekerjaan sudah selesai dan tak bisa dikirim, itu merupakan sesuatu yang di luar kemampuan. Toh sudah berusaha menggunakan modem gprs yang ternyata ga mampu mengangkat segitu banyak data. Cari warnet ke Tamiang dan komplen ke Telkom sudah. Mau ngotot ke Tanjung menurutku ga masalah, asalkan ada sarana. Tapi kalo harus menempuh perjalanan 2 jam dengan sepeda motor tengah malam, menurutku bukan sesuatu yang dianjurkan.
Perusahaan menggaji karyawan bukan berarti membeli seluruh hidupnya. Tak bisa kuterima pernyataannya bila dia di keuangan dan aku di IT. Bagiku, masalah yang terjadi justru bisa dipergunakan untuk mengedukasi perusahaan agar bisa mengerti bahwa kondisi di site tak seperti Jakarta. Kalo memang tak mau bisnisnya terhambat, ya siapkan sarana prasarana yang memadai. Aneh saja bila bidang bisnis pertambangan tapi pekerjaan akutansi mengandalkan sapidi, modem gprs, email gratisan, excel dan tidak ada dukungan aplikasi sistem yang memadai.
Perusahaan boleh menekan karyawan demi efisiensi dan efektifitas bisnisnya. Namun karyawan juga punya hak untuk bisa bekerja dengan nyaman dan aman. Kurangnya peluang kerja dibanding jumlah tenaga produktif nganggur bukan alasan untuk memperlakukan karyawan seperti romusha. Karyawan harus punya nilai tawar yang berarti punya hak bernegosiasi tentang pekerjaan dan kesejahteraannya.
Aku tak pernah setuju bila karyawan dikatakan sebagai aset perusahaan. Dengan menganggapnya aset, berarti perusahaan boleh berbuat apa saja. Aku selalu mengatakan karyawan adalah mitra kerja perusahaan. Bagaimanapun juga, ikatan karyawan dan perusahaan adalah simbiosis mutualisma. Karyawan butuh gaji dan perusahaan butuh kerjaannya beres. Bila perusahaan berhak menolak tuntutan karyawan yang katanya diluar kemampuan perusahaan. Karyawan pun punya hak untuk menolak tekanan kerja yang di luar batas kemampuan. Memang batasan-batasan itu tercantum dalam kontrak kerja. Namun penetapan pasal karet disitu seringkali sulit ditentang. Seperti misalnya karyawan berstatus all in. Perusahaan sah saja tidak perlu membayar kelebihan jam kerja atau lembur. Tapi tak bisa bila pekerjaan diluar jam kerjanya terlalu berlebihan.
Dalam kasus temen itu aku sempat bilang, kalo memang tertekan kenapa ga cabut saja. Ngapain diterusin tanpa berani mengedukasi perusahaan menjadi lebih baik. Malah temen yang ga tahu menahu jadi tempat membuang omelan. Timbal baliknya harus seimbang dong. Apa artinya profesionalisme bila perusahaan tak mau balik mengerti. Takut jadi pengangguran kayaknya tidak pada tempatnya bila memang benar dia profesional seperti yang selalu diucapkannya. Setahuku, salah satu ciri orang profesional adalah tak perlu pusing cari kerjaan. Melainkan pekerjaan yang mencari-cari dia.
Aku ajak dia ngobrol tentang kasusku minggat sampai 3 kali dalam 3 bulan, dia tak mau mengerti juga. Kaburku dulu sebenarnya bukan protes tentang kesejahteraan atau tekanan teknis. Tapi aku merasa tak bisa bekerja dengan optimal karena selalu terganggu dengan masalah yang bersifat non teknis. Perusahaan memang selalu memanggilku kembali dengan penawaran baru. Kabur pertama aku ditawari status permanen. Kabur kedua, aku diberi 2 orang baru untuk tim. Kabur ketiga gajiku dinaikan. Kelihatannya indah sekali perjalanan karir ini. Cuma masalahnya sampai sekarang aku tetap tak bisa kerja cepet, karena gangguan non teknis yang aku protes tak juga diamputasi.
Tenangkan pikirmu, teman...
Kerja tuh bukan sekedar soal gaji dan pekerjaan doang. Anggap saja seperti orang pacaran. Kalo cocok dilanjut kawin kalo engga ya balik kanan. Kalo sempat cium-cium dikit, anggap saja bonus, bukannya kewajiban untuk tetap bertahan. Toh yang sudah kawin saja, oleh agama dan negara masih dikasih opsi cerai bila mentok ga bisa akur.
Belajarlah berpikir bahwa kita adalah mitra kerja dan bukan aset.
Kira-kira begitu...
Aku sendiri sampai sekarang tak pernah tahu, apa definisi dari kata profesional yang sebenarnya. Buatku kerja adalah menjalankan tugas sesuai fungsinya namun tetap ada batasannya. Disaat pekerjaan sudah selesai dan tak bisa dikirim, itu merupakan sesuatu yang di luar kemampuan. Toh sudah berusaha menggunakan modem gprs yang ternyata ga mampu mengangkat segitu banyak data. Cari warnet ke Tamiang dan komplen ke Telkom sudah. Mau ngotot ke Tanjung menurutku ga masalah, asalkan ada sarana. Tapi kalo harus menempuh perjalanan 2 jam dengan sepeda motor tengah malam, menurutku bukan sesuatu yang dianjurkan.
Perusahaan menggaji karyawan bukan berarti membeli seluruh hidupnya. Tak bisa kuterima pernyataannya bila dia di keuangan dan aku di IT. Bagiku, masalah yang terjadi justru bisa dipergunakan untuk mengedukasi perusahaan agar bisa mengerti bahwa kondisi di site tak seperti Jakarta. Kalo memang tak mau bisnisnya terhambat, ya siapkan sarana prasarana yang memadai. Aneh saja bila bidang bisnis pertambangan tapi pekerjaan akutansi mengandalkan sapidi, modem gprs, email gratisan, excel dan tidak ada dukungan aplikasi sistem yang memadai.
Perusahaan boleh menekan karyawan demi efisiensi dan efektifitas bisnisnya. Namun karyawan juga punya hak untuk bisa bekerja dengan nyaman dan aman. Kurangnya peluang kerja dibanding jumlah tenaga produktif nganggur bukan alasan untuk memperlakukan karyawan seperti romusha. Karyawan harus punya nilai tawar yang berarti punya hak bernegosiasi tentang pekerjaan dan kesejahteraannya.
Aku tak pernah setuju bila karyawan dikatakan sebagai aset perusahaan. Dengan menganggapnya aset, berarti perusahaan boleh berbuat apa saja. Aku selalu mengatakan karyawan adalah mitra kerja perusahaan. Bagaimanapun juga, ikatan karyawan dan perusahaan adalah simbiosis mutualisma. Karyawan butuh gaji dan perusahaan butuh kerjaannya beres. Bila perusahaan berhak menolak tuntutan karyawan yang katanya diluar kemampuan perusahaan. Karyawan pun punya hak untuk menolak tekanan kerja yang di luar batas kemampuan. Memang batasan-batasan itu tercantum dalam kontrak kerja. Namun penetapan pasal karet disitu seringkali sulit ditentang. Seperti misalnya karyawan berstatus all in. Perusahaan sah saja tidak perlu membayar kelebihan jam kerja atau lembur. Tapi tak bisa bila pekerjaan diluar jam kerjanya terlalu berlebihan.
Dalam kasus temen itu aku sempat bilang, kalo memang tertekan kenapa ga cabut saja. Ngapain diterusin tanpa berani mengedukasi perusahaan menjadi lebih baik. Malah temen yang ga tahu menahu jadi tempat membuang omelan. Timbal baliknya harus seimbang dong. Apa artinya profesionalisme bila perusahaan tak mau balik mengerti. Takut jadi pengangguran kayaknya tidak pada tempatnya bila memang benar dia profesional seperti yang selalu diucapkannya. Setahuku, salah satu ciri orang profesional adalah tak perlu pusing cari kerjaan. Melainkan pekerjaan yang mencari-cari dia.
Aku ajak dia ngobrol tentang kasusku minggat sampai 3 kali dalam 3 bulan, dia tak mau mengerti juga. Kaburku dulu sebenarnya bukan protes tentang kesejahteraan atau tekanan teknis. Tapi aku merasa tak bisa bekerja dengan optimal karena selalu terganggu dengan masalah yang bersifat non teknis. Perusahaan memang selalu memanggilku kembali dengan penawaran baru. Kabur pertama aku ditawari status permanen. Kabur kedua, aku diberi 2 orang baru untuk tim. Kabur ketiga gajiku dinaikan. Kelihatannya indah sekali perjalanan karir ini. Cuma masalahnya sampai sekarang aku tetap tak bisa kerja cepet, karena gangguan non teknis yang aku protes tak juga diamputasi.
Tenangkan pikirmu, teman...
Kerja tuh bukan sekedar soal gaji dan pekerjaan doang. Anggap saja seperti orang pacaran. Kalo cocok dilanjut kawin kalo engga ya balik kanan. Kalo sempat cium-cium dikit, anggap saja bonus, bukannya kewajiban untuk tetap bertahan. Toh yang sudah kawin saja, oleh agama dan negara masih dikasih opsi cerai bila mentok ga bisa akur.
Belajarlah berpikir bahwa kita adalah mitra kerja dan bukan aset.
Kira-kira begitu...
Mobile Post via XPeria
balik jogja aja yuukkk...
BalasHapusbiar nggak ngomel-ngomel terus baiknya sembari dinasehati mulutnya dijejeli pisang goreng sepiring (itu kalo ada), kalo gak ada pisang goreng ya sudah ditontonin aja. sebagai mitra sejajar, jangan jadi budak.
BalasHapusMas Mampir dulu neh, lagi gugup mo mam dulu... heheheheh
BalasHapushm hm.... aset atau mitra yah
BalasHapusyaa begitulah resiko kalo kerja sama orang.. emang sih pemikiran orang beda-beda.. sama-sama butuh yaa kudu sama-sama ngerti laah..
BalasHapus