26 Januari 2011

Belajar nyupir lagi

Awalnya aku pikir, nyupir di sini tak bakalan jauh berbeda dengan di Jawa. Soal jalanan tanah yang sering berlumpur menurutku malah lebih baik kondisinya dibanding jalanan aspal di Cilacap. Masuk kubangan dengan pick up butut saja aku merasa sudah biasa, jadi menerobos dengan kendaraan 4WD sepertinya tak akan banyak kesulitan. Selama ini aku juga mikir kalo hutan itu diistilahkan alam bebas. Jadi di jalanan dalam hutan aku tak perlu banyak memikirkan undang undang lalu lintas yang selama di kota pun sering aku langgar.

Namun walau tanpa undang undang, disini ada aturan tanpa sanksi yang begitu kuat dipegang semua kendaraan pelintas hutan. Semula aku sempat bingung dengan rambu-rambu di pinggir jalan menuju tambang. Ada tanda panah ke kiri aku pikir jalan akan belok ke kiri, tapi kenyataannya belok ke kanan. Begitu juga sebaliknya. Sempat aku pikir itu rambu-rambu iseng bikinan masyarakat yang jauh dari peradaban. Tapi setelah mengamati perilaku pelintas jalan lain baru aku mudeng.

Selama ini tak peduli jalanan belok ke kanan atau kiri, aku seringkali mengambil sisi jalan sebelah dalam walau harus mencuri jalan orang. Seperti bila belok ke kanan. Asal diperkirakan dari depan tidak ada kendaraan lain, aku akan melangar marka poros jalan dan masuk ke jalur kanan. Disini normanya berbeda. Tak ada keharusan untuk selalu di lajur kiri di saat belok. Melainkan mengambil sisi jalan terluar dengan tujuan pandangan ke depan lebih leluasa. Tak perlu takut kepergok di tikungan dengan kendaraan dari depan, soalnya mereka pun pasti akan mengambil lajur luar. Ini bisa dimengerti karena disini banyak kendaraan berat pengangkut batu bara melintas dan akan sulit menghindar bila kepergok adu muka. Kecepatan mereka memang tidak terlalu tingi, tapi mereka akan sulit untuk berhenti mendadak dengan beban yang berpuluh ton di bak truk nya tanpa kena resiko kendaraan terguling. Itulah sebabnya kenapa di tikungan ke kiri, tanda panah di rambu justru mengarah ke kanan. Maksudnya kita harus ambil lajur kanan saat menikung ke kiri.

Toleransi antar pengguna jalan pun cukup tinggi. Saat berpapasan, kendaraan yang tanpa beban akan mingir dan berhenti memberi kesempatan kendaraan yang bermuatan untuk lewat terlebih dulu, apalagi di kubangan. Bila malam hari, kendaraan yang berhenti akan mematikan lampu besar dan hanya menyalakan lampu senja agar tidak menyilaukan pandangan yang dari depan. Tak perlu kita kedap-kedipkan lampu jauh berkali-kali hanya untuk meminta kendaraan dari depan untuk dim. Saat akan menyalip pun kita tak pernah kesulitan, karena kendaraan yang bermuatan akan menepi memberi kesempatan kendaraan yang bisa lari lebih kencang untuk lewat terlebih dulu. Tidak ada yang merasa benar atau ingin menguasai jalan. Tak ada pula klakson tanpa aturan atau sumpah serapah orang di jalan. Bukan cuma personal tambang saja, masyarakat memiliki perilaku yang sama.

Sebuah keindahan dari kata toleransi di tengah hutan.
Jadi siapa bilang hidup jauh dari peradaban identik dengan kebiadaban..?

Mobile Post via XPeria

2 comments:

  1. kereeeeeeeeeeen....
    beda sekali dengan perilaku lalu lintas di kota besar ya
    lihat saja sopir angkot atau sopir bus yang sama sekali gak ada toleransinya dengan pengguna jalan yang lain...

    BalasHapus

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena