Jogja sempat sedikit heboh siang tadi hanya karena kejadian biasa yang terlalu didramatisir. Halo matahari sebenarnya hampir sama dengan pelangi dimana cahaya matahari dibiaskan di atmosfir. Bila pelangi dibiaskan oleh titik-titik air, halo dibiaskan oleh butiran es yang posisinya di atmosfir lebih tinggi daripada pembiasan pelangi. Mungkin karena itulah kenapa halo berbentuk bulat penuh sedangkan pelangi hanya berupa lengkungan.
Aku tak mempermasalahkan orang beropini dan berusaha menyebarkannya baik melalui lisan atau tulisan. Namun untuk hal-hal yang bisa menimbulkan keresahan orang banyak, seyogyanya penyampaiannya dilakukan dengan lebih hati-hati. Apalagi sebagian masyarakat kita bila menyampaikan informasi tak disertai sumbernya, padahal itu dikutip lagi dan dikutip lagi. Sehingga ketika informasinya telah membias kemana-mana, sulit untuk ditemukan informasi asalnya.
Sebagai contoh ketika dituliskan di sebuah blog bahwa fenomena halo kadang berhubungan dengan bencana alam. Kata kadang ditebalkan dan diberi garis bawah agar tidak terlewat. Segala dugaan itu juga disertai berbagai bukti yang menguatkan dan melemahkan dengan kesimpulan mengambang (karena memang belum bisa dikatakan benar atau tidak) agar pembaca bisa menyimpulkan sendiri setelah crosscheck kesana kemari. Tapi budaya Indonesia Raya, betapa berat untuk sekedar membuka mesin pencari mencari data pendukung dan langsung membuat kesimpulan sesuai isi otaknya lalu dipublikasikan sepotong-sepotong. Data yang begitu lengkap cuma ditulis "fenomena halo berhubungan dengan bencana alam", kadangnya hilang. Lebih parah lagi bila masuk ke pesbuker yang tak suka bahasan panjang dan ilmiah, yang tersisa cuma. "eh, halo tuh pertanda bencana tau...?"
Bahkan media online macam kompas, viva maupun detik pun lebih suka menitikberatkan pada pertanda bencananya daripada mengungkap bahasan teknis mengapa halo bisa terjadi. Tipi sama lebaynya kalo terlalu kasar dikatakan tolol. Tahu masyarakat kita "gumunan", yang diwawancarai kok malah artis yang isi otaknya tak seindah casingnya. Biar lebih dahsyat trus dibumbui wawancara dengan paranormal yang tak jelas. Sepertinya mereka begitu senang bila bisa membuat masyarakat resah dengan berita-beritanya. Bila kemudian dibreidel seperti acaranya Penisore yang mengatakan Jogja kota bencana dan akan banjir darah (yang ternyata tak terbukti), kan gampang bikin acara baru dengan format lama. Cukup ganti nama menjadi [bukan] Silit, dah bisa kembali tayang.
Hidup di masyarakat yang kental adonan kleniknya memang susah. Yang anti klenik pun kadang terlalu membabibuta agamanya sehingga tak bisa mencerahkan masyarakat. Seperti di blog temen yang menulis tentang fenomena halo tadi. Aku mencoba mengajaknya diskusi tentang hubungannya dengan bencana. Bila itu salah berarti bia menepis keresahan masyarakat, bila benar bisa dicarikan antisipasinya, maksudku cuma itu. Eh, komen panjang lebar sampai nyari bacaan sana sini cuma dijawab pendek, wallahu'alam.
Untuk membicarakan sebuah fenomena yang belum bisa disimpulkan secara jelas, wallohu'alam memang sebuah kata yang paling tepat untuk menutup berbagai dugaan yang simpang siur. Tapi mengatakan kuasa tuhan di awal wacana menurutku cuma milik orang bego yang ingin disebut agamis. Malu untuk mengakui kalo dia pemalas dan tidak mau bersusah payah mencari jawaban. Lebih parah lagi bila ada yang menanggapi dengan pemikiran bersebrangan, tak jarang dianggap sebagai penyerangan yang lalu dijawab dengan kata mitos atau musyrik.
Begitu pemalaskah kita sampai lupa bahwa banyak hal yang sekarang lumrah, beberapa tahun lalu juga masih menjadi mitos atau khayalan semata. Begitu mudah pula kita mengatakan orang yang mencoba berpikirrasional sebagai musyrikun. Bagaimana umat mau pinter kalo ada pertanyaan susah cukup dijawab wallahu'alam. Padahal tuhan sendiri tak akan meminterkan umatnya bila umat itu sendiri tak mau belajar. Mencoba sepenuhnya menggunakan akal untuk mencari jawaban malah dikatakan kafirun. Padahal kita tak dilarang untuk belajar ke negeri china yang komunis asalkan tak mengubah keyakinan asal. Toh hukum tak cuma tentang naqli saja, dalil aqli juga diperhitungkan.
Dari arah manapun kita melihat sebuah fenomena alam, buatku tak jadi masalah sepanjang tidak membuat masyarakat resah. Tidak apa kita bicara tentang pertanda bencana sejauh penyampaiannya seimbang antara faktor pendukung dan penyangkalnya. Mari kita jadikan teman-teman kita masyarakat yang dewasa dalam menyaring informasi. Buang jauh-jauh ikat kepala yang mengekang otak sehingga tak bisa berpikir terbuka. Jangan menjadi klenik. Jangan pula menjadikan agama sebagai sumber kebodohan.
Belajarlah menjadi cerdas dalam menyikapi fenomena alam.
Tuhan akan senang kepada umatnya yang mau berpikir keras sebelum bertawakal.
Wallahu'alam bishawab
Aku tak mempermasalahkan orang beropini dan berusaha menyebarkannya baik melalui lisan atau tulisan. Namun untuk hal-hal yang bisa menimbulkan keresahan orang banyak, seyogyanya penyampaiannya dilakukan dengan lebih hati-hati. Apalagi sebagian masyarakat kita bila menyampaikan informasi tak disertai sumbernya, padahal itu dikutip lagi dan dikutip lagi. Sehingga ketika informasinya telah membias kemana-mana, sulit untuk ditemukan informasi asalnya.
Sebagai contoh ketika dituliskan di sebuah blog bahwa fenomena halo kadang berhubungan dengan bencana alam. Kata kadang ditebalkan dan diberi garis bawah agar tidak terlewat. Segala dugaan itu juga disertai berbagai bukti yang menguatkan dan melemahkan dengan kesimpulan mengambang (karena memang belum bisa dikatakan benar atau tidak) agar pembaca bisa menyimpulkan sendiri setelah crosscheck kesana kemari. Tapi budaya Indonesia Raya, betapa berat untuk sekedar membuka mesin pencari mencari data pendukung dan langsung membuat kesimpulan sesuai isi otaknya lalu dipublikasikan sepotong-sepotong. Data yang begitu lengkap cuma ditulis "fenomena halo berhubungan dengan bencana alam", kadangnya hilang. Lebih parah lagi bila masuk ke pesbuker yang tak suka bahasan panjang dan ilmiah, yang tersisa cuma. "eh, halo tuh pertanda bencana tau...?"
Bahkan media online macam kompas, viva maupun detik pun lebih suka menitikberatkan pada pertanda bencananya daripada mengungkap bahasan teknis mengapa halo bisa terjadi. Tipi sama lebaynya kalo terlalu kasar dikatakan tolol. Tahu masyarakat kita "gumunan", yang diwawancarai kok malah artis yang isi otaknya tak seindah casingnya. Biar lebih dahsyat trus dibumbui wawancara dengan paranormal yang tak jelas. Sepertinya mereka begitu senang bila bisa membuat masyarakat resah dengan berita-beritanya. Bila kemudian dibreidel seperti acaranya Penisore yang mengatakan Jogja kota bencana dan akan banjir darah (yang ternyata tak terbukti), kan gampang bikin acara baru dengan format lama. Cukup ganti nama menjadi [bukan] Silit, dah bisa kembali tayang.
Hidup di masyarakat yang kental adonan kleniknya memang susah. Yang anti klenik pun kadang terlalu membabibuta agamanya sehingga tak bisa mencerahkan masyarakat. Seperti di blog temen yang menulis tentang fenomena halo tadi. Aku mencoba mengajaknya diskusi tentang hubungannya dengan bencana. Bila itu salah berarti bia menepis keresahan masyarakat, bila benar bisa dicarikan antisipasinya, maksudku cuma itu. Eh, komen panjang lebar sampai nyari bacaan sana sini cuma dijawab pendek, wallahu'alam.
Untuk membicarakan sebuah fenomena yang belum bisa disimpulkan secara jelas, wallohu'alam memang sebuah kata yang paling tepat untuk menutup berbagai dugaan yang simpang siur. Tapi mengatakan kuasa tuhan di awal wacana menurutku cuma milik orang bego yang ingin disebut agamis. Malu untuk mengakui kalo dia pemalas dan tidak mau bersusah payah mencari jawaban. Lebih parah lagi bila ada yang menanggapi dengan pemikiran bersebrangan, tak jarang dianggap sebagai penyerangan yang lalu dijawab dengan kata mitos atau musyrik.
Begitu pemalaskah kita sampai lupa bahwa banyak hal yang sekarang lumrah, beberapa tahun lalu juga masih menjadi mitos atau khayalan semata. Begitu mudah pula kita mengatakan orang yang mencoba berpikirrasional sebagai musyrikun. Bagaimana umat mau pinter kalo ada pertanyaan susah cukup dijawab wallahu'alam. Padahal tuhan sendiri tak akan meminterkan umatnya bila umat itu sendiri tak mau belajar. Mencoba sepenuhnya menggunakan akal untuk mencari jawaban malah dikatakan kafirun. Padahal kita tak dilarang untuk belajar ke negeri china yang komunis asalkan tak mengubah keyakinan asal. Toh hukum tak cuma tentang naqli saja, dalil aqli juga diperhitungkan.
Dari arah manapun kita melihat sebuah fenomena alam, buatku tak jadi masalah sepanjang tidak membuat masyarakat resah. Tidak apa kita bicara tentang pertanda bencana sejauh penyampaiannya seimbang antara faktor pendukung dan penyangkalnya. Mari kita jadikan teman-teman kita masyarakat yang dewasa dalam menyaring informasi. Buang jauh-jauh ikat kepala yang mengekang otak sehingga tak bisa berpikir terbuka. Jangan menjadi klenik. Jangan pula menjadikan agama sebagai sumber kebodohan.
Belajarlah menjadi cerdas dalam menyikapi fenomena alam.
Tuhan akan senang kepada umatnya yang mau berpikir keras sebelum bertawakal.
Wallahu'alam bishawab
Saya baru lihat fenomena ini tadi sore UM di TV...
BalasHapusKayanya persepsi masyarakat kita dan ilmu pengetahuannya harus lebih ditingkatkan untuk bisa membaca fenomena alam yang sekarang ini banyak yang aneh2.
Malem Sob... wah iya nie aku juga taunya baru sore tadi dari kaskus hhe... klo di luar negri mungkin Halo Matahari udah biasa Sob.. cuma klo di Indonesia kan jarang jadi sekalinya da heboh hhe.... yg paling aku benci klo udah dikaitin sama bencana dan akhir2nya artis2 celeng yg pada ngomongin pendapat masing2 halah....
BalasHapusyo wes lah wkwkw...
sebenarnya bukan hal aneh kok. sejak kecil aku sering liat. cuma untuk masyarakat jogja memang masih trauma dengan bencana jadi ketika rame di beritain di media mereka jadi resah. gara-garanya pas gempa dan merapi kemarin selalu dihubung-hubungkan dengan hal semacam ini...
BalasHapusya begitulah... walaupun udah bertitel kota pendidikan, tapi kalo unsur budaya yang begitu2 masih lekat ya emang susah mbenerinnya..
BalasHapusaturan fenomena seperti itu, penjelasan ilmiahnya dipublikasikan besar2an.. jangan sampe kalah sama klenik mania
Aq setuju lik nek nyebar na berita maring masyakat aja malah meden medeni.
BalasHapusNek ora ngerti jluntrungane ya ora susah ngromed.Apa maning sing jenenge pesbuker jan pada ora genah pokoke.
Nek soal jawaban Wallohu a'lam kuwe jawaban sing ora mutu.Jan keton bgt wong kucluk.Lah gusti Alloh kuwe aweh akal sehat maring menungsa.Nangapa ora di fungsi kan go menjawab rahasia alam.Mbok ya kang?
menarik postnya
BalasHapussalam hangat dari blue
saya sendiri pernah mengulas masalah ini Pak.Kitalah yang sebagian besar menyumbang bencana yang kita alami..
BalasHapusterimkasih sudah berkenan mampir keblog bang ngangan.com
Sekarang memmang banyak kejadian aneh2 yang berasal dari alam (maksudnya bukan ulah manusia)...
BalasHapus