Tugas utama dari Jakarta ke Kalimantan adalah menyusun konsep networking antar site dan kantor pusat. Tapi sudah dua hari disini, tugas itu belum tersentuh sedikitpun karena kondisi di site sedang menghangat. Karyawan tambang protes dengan banyaknya jam lembur yang hilang setelah absen manual diganti dengan fingerprint sejak bulan lalu.
Sudah aku duga sejak awal bahwa status teknisi memang selalu digeneralisir orang. Walau hanya bisa bongkar komputer tanpa pasang, orang-orang akan menganggap bisa betulin AC atau tipi yang ngadat. Dalam kasus ini pun sama. Semua job description dari Jakarta tak digubris petinggi lokal disini dan harus membereskan masalah di fingerprint.
Rada tobat juga dituntut gerak cepat tanpa pengetahuan memadai tentang absensi sidik jari. Apalagi dalam kondisi hidup tanpa internet dan sinyal hape laplep. Untung nemu buku manualnya walau dalam bahasa planet dan harus dipelajari secara trial error sehari semalam. Ternyata masalahnya sepele. Teknisi sebelumnya cuma menginput sidik jari saja tanpa memasukan data lain dan rule rule sesuai jam kerjanya. Wajar kalo hasilnya kacaw beliau dan berbuntut demo karena memang menyangkut urusan perut.
Siang tadi fingerprint yang di kantor PLTU dan lokasi tambang sudah beres entry data dan rule serta sudah bisa aku integrasikan data keduanya. Setelah ini selesai harusnya aku sudah bisa memulai tahapan pekerjaan networking, namun demo lain menghadang di jalanan. Ada LSM yang protes dan memortal jalan truk pengangkut batubara. Padahal jalan itu merupakan jalan khusus dan bukan jalan raya beraspal antar kota. Walau demo itu urusan polisi, tapi tetap saja aku tak bisa bergerak karena jalanan dipenuhi truk mogok.
Tidak ada kerjaan seharusnya aku bisa santai ngeblog. Tapi bagaimana bisa nyaman kalo cari sinyal bagus harus naik ke pohon. Kalo posting sih ngetiknya bisa sambil tiduran begini. Nah pas mau post, harus cari sinyal dulu. Itupun kadang putus di tengah jalan dan harus diulang beberapa kali.
Situasi di lokasi sebenarnya nyaman. Apalagi aku masih bertahan di kantor PLTU yang masih di pinggiran hutan. Dari pemukiman terdekat sekitar 1 kilometer. Kondisi lingkungan sekitar becek berlumpur. Untuk kesana kemari harus pakai kendaraan 4WD kalo ga mau nyium pohon apa nyungsep di selokan. Listrik PLN sudah ada. Tapi jangan harap bisa misuh-misuh mati lampu ala di Jawa. Bisa habis energi buat misuh setiap jam sekali.
Resiko listrik sering mati yang paling terasa adalah air bersih yang kurang. Jadi kalo masuk toilet baunya pesing ya harap maklum, karena air kadang ada kadang tidak. Jangan tanyakan pula untuk urusan mandi walau belum memecahkan rekor buthuk saat jadi relawan merapi kemarin. Minimal disini masih bisa mandi sehari sekali biarpun hanya kebagian air setengah ember.
Dari kantor Jakarta sih bilang aku dapat fasilitas mess. Tapi melihat situasi disini yang mengharuskan tidur seperti ikan asin, aku lebih suka tidur di ruang kantor bermodal matras andalan. Lebih nyaman di lesehan ber AC dan tidak perlu umpel-umpelan walau gabisa ompol-ompolan.
Makan sih ga masalah karena ada beberapa ibu-ibu yang masak di dapur. Yang bikin rada ribet adalah babi. Untung saja ada tukang masak orang Solo yang sudah menetap disini yang ngasih tahu dan memilihkan lauk yang bukan babi atau dicampuri tetelan babi.
Nah, kayaknya untuk urusan tidur dan makan ini aku yang harus demo ke kantor. Demo sendirian dianggep ga yah..?
Mobile Post via XPeria
Sudah aku duga sejak awal bahwa status teknisi memang selalu digeneralisir orang. Walau hanya bisa bongkar komputer tanpa pasang, orang-orang akan menganggap bisa betulin AC atau tipi yang ngadat. Dalam kasus ini pun sama. Semua job description dari Jakarta tak digubris petinggi lokal disini dan harus membereskan masalah di fingerprint.
Rada tobat juga dituntut gerak cepat tanpa pengetahuan memadai tentang absensi sidik jari. Apalagi dalam kondisi hidup tanpa internet dan sinyal hape laplep. Untung nemu buku manualnya walau dalam bahasa planet dan harus dipelajari secara trial error sehari semalam. Ternyata masalahnya sepele. Teknisi sebelumnya cuma menginput sidik jari saja tanpa memasukan data lain dan rule rule sesuai jam kerjanya. Wajar kalo hasilnya kacaw beliau dan berbuntut demo karena memang menyangkut urusan perut.
Siang tadi fingerprint yang di kantor PLTU dan lokasi tambang sudah beres entry data dan rule serta sudah bisa aku integrasikan data keduanya. Setelah ini selesai harusnya aku sudah bisa memulai tahapan pekerjaan networking, namun demo lain menghadang di jalanan. Ada LSM yang protes dan memortal jalan truk pengangkut batubara. Padahal jalan itu merupakan jalan khusus dan bukan jalan raya beraspal antar kota. Walau demo itu urusan polisi, tapi tetap saja aku tak bisa bergerak karena jalanan dipenuhi truk mogok.
Tidak ada kerjaan seharusnya aku bisa santai ngeblog. Tapi bagaimana bisa nyaman kalo cari sinyal bagus harus naik ke pohon. Kalo posting sih ngetiknya bisa sambil tiduran begini. Nah pas mau post, harus cari sinyal dulu. Itupun kadang putus di tengah jalan dan harus diulang beberapa kali.
Situasi di lokasi sebenarnya nyaman. Apalagi aku masih bertahan di kantor PLTU yang masih di pinggiran hutan. Dari pemukiman terdekat sekitar 1 kilometer. Kondisi lingkungan sekitar becek berlumpur. Untuk kesana kemari harus pakai kendaraan 4WD kalo ga mau nyium pohon apa nyungsep di selokan. Listrik PLN sudah ada. Tapi jangan harap bisa misuh-misuh mati lampu ala di Jawa. Bisa habis energi buat misuh setiap jam sekali.
Resiko listrik sering mati yang paling terasa adalah air bersih yang kurang. Jadi kalo masuk toilet baunya pesing ya harap maklum, karena air kadang ada kadang tidak. Jangan tanyakan pula untuk urusan mandi walau belum memecahkan rekor buthuk saat jadi relawan merapi kemarin. Minimal disini masih bisa mandi sehari sekali biarpun hanya kebagian air setengah ember.
Dari kantor Jakarta sih bilang aku dapat fasilitas mess. Tapi melihat situasi disini yang mengharuskan tidur seperti ikan asin, aku lebih suka tidur di ruang kantor bermodal matras andalan. Lebih nyaman di lesehan ber AC dan tidak perlu umpel-umpelan walau gabisa ompol-ompolan.
Makan sih ga masalah karena ada beberapa ibu-ibu yang masak di dapur. Yang bikin rada ribet adalah babi. Untung saja ada tukang masak orang Solo yang sudah menetap disini yang ngasih tahu dan memilihkan lauk yang bukan babi atau dicampuri tetelan babi.
Nah, kayaknya untuk urusan tidur dan makan ini aku yang harus demo ke kantor. Demo sendirian dianggep ga yah..?
Mobile Post via XPeria
tetep semangat Om! demi empat setengah juta :DD
BalasHapusuuhh..liat nggak ada lantainya gitu koq geli yah.