Relatifitas

Kalo mbah Einstein membutuhkan kecepatan cahaya untuk dapat membelokkan waktu dalam ruang. Aku cuma butuh satu kata doang, cuti. Selama tiga bulan di tengah hutan, dua bulan sekian minggu waktu terasa cepat. Tapi begitu tanggal cuti kurang seminggu lagi, udah deh. Pergerakan jarum jam terasa lambat banget aku rasakan.

Aku memang jarang memperhatikan jam, karena jam kerjaku yang tak menentu. Kalo pas santai, siang hari bisa bobo manis. Sebaliknya saat ada masalah, tak peduli tengah malam aku harus turun ke lapangan. Hari berganti pun tak terlalu dirasakan perbedaannya. Tak ada hari libur selama masa 3 bulan kerja, makanya aku tak pernah menunggu-nunggu yang namanya hari minggu.

Awal bulan yang biasa dinanti kebanyakan orang juga tak pernah aku pedulikan. Tanggal muda tanggal tua sama saja. Namanya saja di tengah hutan yang ga terlalu membutuhkan yang namanya duit. Keperluan makan tidur sudah disediakan perusahaan. Aku males turun ke kota hanya untuk jajan karena musti bersusah payah untuk mendapatkan kendaraan sarana. Gaji sengaja aku minta perusahaan untuk transfer langsung ke rekening ibue biar ga ribet tiap awal bulan harus cari ATM hanya untuk setor nafkah. Makanya bulan berganti pun jarang aku rasakan keberadaannya.

Menjelang cuti tanggal 29 nanti, sudah begitu besar efek perlambatan waktu yang aku rasakan. Kalo saja aku puitis, mungkin sudah tercipta sebuah kisah galau tentang makan enak tidur tak nyenyak. Teknologi yang katanya bisa menyingkat jarak dan waktu, nyatanya tak berarti banyak dalam situasi seperti ini. Telpon-telponan bukannya ngilangin kangen, malah jadi menambah keinginan untuk pulang. Apalagi kalo dengar suara si Ncip yang mulai pinter ngoceh, Ncit dah bisa cerita dan ibue mulai ngomong jorok. Gregetan doang yang ada.

Perasaan memang membuat banyak hal jadi relatif
Rasanya tiada lagi logika di sini
Aku ingin pulang...

Gathengan...