"Indosiarkah..?"
Sebuah ritual rutin yang dilakukan warga mess setiap kali jam makan tiba. Maksud dari pertanyaan itu adalah menanyakan menu yang ada di meja makan. Apabila menemukan lauk terhidang adalah ikan goreng mereka akan menyebutnya sebagai indosiar. Ikan memang baik dari sisi nilai gizi yang katanya lebih bagus daripada daging. Tapi kalo setiap hari nemunya ikan goreng terus, nafsu makan langsung melayang juga bagaikan ikan terbang stasiun tipi itu.
Kamp orang hutan yang jauh dari pasar dan ikan yang murah meriah disini menjadi sumber penyebabnya. Atau bisa jadi ikan merupakan salah satu makanan pokok penduduk setempat, sehingga tiada hari tanpa ikan. Bahkan di warung makan kota terdekat pun susah sekali mencari lauk sayur. Pernah waktu ngeluyur ke pasar ada bapak-bapak borong sayuran sampai menutupi stang motor bebeknya. Aku pikir dia punya warung yang menyediakan sayur. Pas aku tanya, jebul buat pakan babi. Siyal...
Benar-benar bikin kangen sama yang namanya warteg..
Mending yang pada punya gaji dan istri cuman dijatah sisanya. Dia bisa belanja stok makanan tambahan seminggu sekali. Kalo yang jatah jajannya mepet kaya aku, paling-paling beli ikan asin dan mie instan untuk acara "ngaliwet" di belakang mess kalo malem. Tak heran kalo badanku susut sampai 12 kilo dalam waktu hampir setahun.
Pernah nyoba refreshing menu di warung padang pas bisa turun ke kota. Beneran bisa makan dengan lahap. Tapi habis itu, sampe 2 hari napsu makan ga mau balik ketinggalan di warung padang. Setiap masuk ruang makan di mess, perut mendadak kenyang melihat potongan kepala indosiar nongol di panci. Makanya buatku, makan di warung padang sangat tidak baik untuk kesehatan. Bisa menyebabkan impotensi, gangguan jantung, kehamilan dan yang pasti dompet.
Komplen tinggal komplen, realisasinya ga pernah ada. Maksa turun ke kota terus bisa bikin perekonomian negara bangkrut. Apalagi harga-harga disini bisa dua tiga kalinya harga makanan angkringan di Jogja. Jadinya ya kembali ke selera asal. Ikan asin sama kecap yang lebih bisa merangsang selera.
Nasinya juga susah diterima bala kurawa cacing aku. Biasa beras Jawa yang pulen, susah juga menerima beras Banjar yang keras. Meminta ganti jenis beras, hambatannya tetap sama dengan indosiar. Orang sini kalo makan nasi yang lembek katanya ga kenyang. Mau ga mau karyawan pendatang harus menerima apa adanya. Yang punya kawasan kan lebih kuasa. Lagian mengalah kan bukan berarti menang dan selalu berefek positip. Buktinya dietku makin sukses.
Kalo mau enak pas di lidah memang harus pulang kampung. Di rumah yang aku bisa minta apa saja ke ibue asal duitnya ada. Dan kalo ngomongin soal ibue, aku jadi ingat pertanyaannya kenapa aku pengen segera menikah.
"Aku ingin menikah karena bosan makan sendiri, masak sendiri, nyuci sendiri dst dst. Repot..."
"Padahal aku malas buru-buru menikah juga karena alasan yang sama. Repot..."
Sebuah ritual rutin yang dilakukan warga mess setiap kali jam makan tiba. Maksud dari pertanyaan itu adalah menanyakan menu yang ada di meja makan. Apabila menemukan lauk terhidang adalah ikan goreng mereka akan menyebutnya sebagai indosiar. Ikan memang baik dari sisi nilai gizi yang katanya lebih bagus daripada daging. Tapi kalo setiap hari nemunya ikan goreng terus, nafsu makan langsung melayang juga bagaikan ikan terbang stasiun tipi itu.
Kamp orang hutan yang jauh dari pasar dan ikan yang murah meriah disini menjadi sumber penyebabnya. Atau bisa jadi ikan merupakan salah satu makanan pokok penduduk setempat, sehingga tiada hari tanpa ikan. Bahkan di warung makan kota terdekat pun susah sekali mencari lauk sayur. Pernah waktu ngeluyur ke pasar ada bapak-bapak borong sayuran sampai menutupi stang motor bebeknya. Aku pikir dia punya warung yang menyediakan sayur. Pas aku tanya, jebul buat pakan babi. Siyal...
Benar-benar bikin kangen sama yang namanya warteg..
Mending yang pada punya gaji dan istri cuman dijatah sisanya. Dia bisa belanja stok makanan tambahan seminggu sekali. Kalo yang jatah jajannya mepet kaya aku, paling-paling beli ikan asin dan mie instan untuk acara "ngaliwet" di belakang mess kalo malem. Tak heran kalo badanku susut sampai 12 kilo dalam waktu hampir setahun.
Pernah nyoba refreshing menu di warung padang pas bisa turun ke kota. Beneran bisa makan dengan lahap. Tapi habis itu, sampe 2 hari napsu makan ga mau balik ketinggalan di warung padang. Setiap masuk ruang makan di mess, perut mendadak kenyang melihat potongan kepala indosiar nongol di panci. Makanya buatku, makan di warung padang sangat tidak baik untuk kesehatan. Bisa menyebabkan impotensi, gangguan jantung, kehamilan dan yang pasti dompet.
Komplen tinggal komplen, realisasinya ga pernah ada. Maksa turun ke kota terus bisa bikin perekonomian negara bangkrut. Apalagi harga-harga disini bisa dua tiga kalinya harga makanan angkringan di Jogja. Jadinya ya kembali ke selera asal. Ikan asin sama kecap yang lebih bisa merangsang selera.
Nasinya juga susah diterima bala kurawa cacing aku. Biasa beras Jawa yang pulen, susah juga menerima beras Banjar yang keras. Meminta ganti jenis beras, hambatannya tetap sama dengan indosiar. Orang sini kalo makan nasi yang lembek katanya ga kenyang. Mau ga mau karyawan pendatang harus menerima apa adanya. Yang punya kawasan kan lebih kuasa. Lagian mengalah kan bukan berarti menang dan selalu berefek positip. Buktinya dietku makin sukses.
Kalo mau enak pas di lidah memang harus pulang kampung. Di rumah yang aku bisa minta apa saja ke ibue asal duitnya ada. Dan kalo ngomongin soal ibue, aku jadi ingat pertanyaannya kenapa aku pengen segera menikah.
"Aku ingin menikah karena bosan makan sendiri, masak sendiri, nyuci sendiri dst dst. Repot..."
"Padahal aku malas buru-buru menikah juga karena alasan yang sama. Repot..."
mabok ikan dong judulnya :)
BalasHapuskodong... :D
BalasHapuskenapa ndak pelihara ayam saja di mess itu? :D
waduh, berarti saya kalau mau diet tinggal pindah ke situ aja ya, dijamin sukses.
BalasHapusudah ga doyan ikan, ga doyan pula nasi keras, ga bakal makan2 toh? itu bakal kurus atao mati? Hahahaha
itu ikan?.. koq kayak potongan brownies yah?, hehehe..
BalasHapusyaudah kalo repot, nikah lagi aja ama pembantu *lah?*
kidding
benar juga, meskipun makanannya itu termasuk makanan yang enak dan sehat, tapi kalo tiap hari lauknya itu itu saja, dijamin, bossaaannn, heee
BalasHapussabar ya gan...
pokoknya semua dinikmati sajalah sampai waktunya tiba. tabungan cukup bikin restoran besar di kampung halaman
BalasHapusbaru tahu.
BalasHapusindosiar = lauk ikan asin.
kalo saya malah suka banget sama ikan :) setiap hari makan ikan juga nggak papa
BalasHapusmaras men Om2, itu ikan asinnya nggak ada variasinya apa Om? Di cacap kek, di sambel goreng potong dadu kek, di santen kek. Kalau cuma digoreng trus disuguhin akayk gitu ya pasti semua bilang sudah kenyang alias ndak napsu makan lagi Om... nasi Banjar memang keras, tapi perut saya nggak protes disiatin makan yang ada kuahnya... Pantes Om Rawins kalau dah balik kerja pasti kurussss
BalasHapusTernyata pria pengen nikah karena ingin ada yg melayani, sementara wanita enggan buruan nikah karena enggan melayani hahaha... Gak nyambung dongggg...
BalasHapusjudulnya mendramatisir banget, iwak miber haha..
BalasHapustadi pagi mo komeng but.. kotak komengnya eror, eh ternyata modemku yang minta di istirahatin :D
setelah membaca dg seksama,saya baru paham bahwa inilah yg dimaksud indosiar..:)
BalasHapusKalau menghadapi hal seperti itu, saya selalu mencoba bersyukur. Bersyukur bisa makan setiap hari. Bersyukur bisa makan dengan ikan setiap hari di saat yang sama masih ada orang yang kesulitan untuk makan walaupun hanya sesuap nasi.
BalasHapusBukan mengajari. Saya tidak berani ngajarin Mas Eko. Saya hanya berani ngajari bersyukur pada keluarga saya sendiri.
judulnya nembak keyword banget :D
BalasHapus