17 Desember 2011

Konflik Lahan

Ramai berita bentrokan di Mesuji, aku sudah tak begitu kaget. Kasus semacam itu sudah teramat umum terjadi di daerah eksploitasi sumber daya alam khususnya di luar Jawa. Tapi yang mencuat ke permukaan hanya beberapa, sehingga lebih banyak kasus yang lepas dari sorotan publik secara nasional.

Selama aku disini, walau belum sampai ada korban jiwa, ancaman kekerasan bersenjata sudah jadi menu sehari-hari. Akar permasalahannya terlalu rumit sehingga sulit sekali untuk mencari siapa yang salah dan siapa yang benar. Yang pasti semua itu berawal dari rusaknya harmoni alam akibat investasi yang hanya memikirkan soal uang semata.

Aturan negara yang ada kadang melupakan bahwa warga pribumi memiliki apa yang disebut hukum adat. Aturan yang sudah mengakomodasi kepentingan lokal, pelaksanaannya seringkali melenceng dan diselewengkan oleh pihak-pihak tertentu yang tetap berujung pada urusan duit. Sayangnya ketika terjadi masalah dan terjadi kekerasan, yang jadi target korban tetap saja salah sasaran ke orang kecil.

Seperti misalnya soal pembebasan lahan. Disini bila seorang warga membuka hutan untuk dijadikan ladang, secara adat tanah tersebut menjadi milik keluarga tersebut. Tak heran bila satu keluarga bisa menguasai tanah sampai puluhan hektar karena untuk menjadikan tanah tersebut menjadi milik secara adat cukup bermodal ketapel. Tembakan saja biji-biji karet itu sejauh dia mampu. Saat biji itu tumbuh, tanah tersebut sudah menjadi miliknya.

Penguasaan tanah hutan negara secara adat itu tidak diakui pemerintah sebagai hak milik secara hukum dalam bentuk sertifikat. Pemerintah hanya menerbitkan surat kepemilikan tanah dalam bentuk hak guna pakai. Makanya pada saat tanah yang dikuasai masyarakat itu dilirik oleh pengusaha sawit atau tambang, pemerintah dengan mudah menyerahkan lahannya dengan alasan itu tanah negara.

Masyarakat tradisional yang awalnya damai dengan kearifan lokal mulai terusik dan tergiur dengan uang gampang. Mereka beramai-ramai menjual lahannya kepada investor yang masuk. Toh mereka mudah mencari lahan baru cukup dengan ketapel tanpa harus beli.

Sepintas itu teramat sederhana. Tapi kenyataan di lapangan seringkali berbeda. Gampang dapat duit tanpa harus berladang, sedikit demi sedikit merubah mental masyarakat menjadi komsumtif. Masalah mulai timbul ketika mereka kehabisan uang dan lahan barunya tidak bisa dijual karena tidak mengandung batubara misalnya. Tanpa bermodal skil mereka maksa pihak perusahaan untuk menerimanya menjadi karyawan. Ketika perusahaan menolak, mereka mengungkit-ungkit bekas lahan mereka dan tak jarang melarang aktifitas perusahaan di bekas tanahnya.

Kasus lain yang sering terjadi adalah warga yang tanahnya tak masuk area pembebasan, maksa perusahaan untuk membeli lahan mereka juga. Selain iri dengan tetangga yang bisa dapat duit gampang, mereka merasa dirugikan dengan aktifitas penambangan yang merusak jalan dan lingkungan sekitar. Program CSR atau comdev yang menjadi kewajiban perusahaan seringkali tidak menjangkau semua kalangan atau melenceng di lapangan. Demo dan demo banyak terjadi tanpa terekspos keluar. Dan ketika mandau terhunus, yang saling berhadapan tetap saja warga dengan karyawan kelas bawah yang tak pernah tahu urusan kebijakan manajemen.

Itu baru masalah lahan
Hanya sebagian kecil dari semua akar konflik yang terjadi
Entah siapa yang salah karena di lapangan semua selalu merasa benar

Yang bikin duit kali yang salah...


15 comments:

  1. ternyata banyak juga ya konfliknya. harus jaga diri ya tinggal disana. Ibunya citra hebat nih bisa jauh2an sama suami, aku ??? :-D

    BalasHapus
  2. wah hati2 mas.
    ingat keluarga menunggu di rumah. :)

    BalasHapus
  3. waduh mas , tentang lahan dan sebagainya itu memang tema yang berat, jadi bengong dan sedikit merenung aja saya - yg bikin duit yg salah kyknya :)

    apa kabar mas rawins ?

    BalasHapus
  4. pulang aja yuk..
    katanya kangen kucrit :)

    BalasHapus
  5. lagi2 ujung2nya duit...
    tapi tetep aja yg jd korban kebanyakan ya masyarakat kecil atau yg ga punya duit

    BalasHapus
  6. dalam masalah tanah memang sangat rumit, apalagi kalo di satukan dengan adat dan pemerintah, bertolak belakang kan sistemnya.
    sampe2 bisa jadi ribut.
    haduuh, jadi ikutan pusing saya.. heuheu

    BalasHapus
  7. berharap konflik segera kelar dan jangan ada penambahan lagi :'(

    BalasHapus
  8. Wah,kalau urusan tanah atau lahan atau uang jgn diajak maen2 deh,hal sensitif itu,tetangga ane aja,nanam singkong ,marah nya minta ampun,btw ditunggu ya komentar balsannya digubuk ane mas,thanks

    BalasHapus
  9. Yang salah kamu om... :D
    Balik jogja ae om~

    BalasHapus
  10. Bener banget, kalo ga ada duit, mungkin manusia ga akan jadi serakah kayak skrg ya? Hehehe

    BalasHapus
  11. Keven:

    masalahnya kalau ga ada duit, gimana tatanan dunia ini?

    gak kebayang kita beli baju bawa kambing kayak zaman barter wkakakakak.

    menurutku sih duit itu seperti pisau, semua tergantung pada penggunanya. dia bisa digunakan untuk membunuh orang, tapi bisa juga digunakan untuk memberi orang dengan menggunakannya untuk memasak di dapur :)

    BalasHapus
  12. Konflik masalah lahan ini emang gak ada habis2nya.
    Di Jayapura aja masalah lahan sudah menjadi makanan sehari2.
    Tapi kalo disini, masalahnya beda.
    Kadang walau udah dibayar, eh..masih ada terus2an diminta bayar.

    BalasHapus
  13. sebenarnya banyak ya mas masalah seperti itu?
    dan sekalinya muncul menyeramkan seperti mesuji :(
    sampai memakan korban..

    tetap yaa, semua bermula dari uang..

    BalasHapus
  14. Masalah begituan memang rumit mas, susah dicari jalan keluarnya.

    BalasHapus
  15. Iya tuh DUIT yang bikin semua jadi berantakan..
    Diiming-imingi orang desa mau saja. tak mengerti di lain hari akan di usik keberadaannya..
    Budaya konsumtif dan budaya pragmatis masuk dalam pelosok desaku...

    BalasHapus

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena