Ke desa terdekat untuk cari perbekalan ke lapangan, aku mampir ke warung dekat SD di pinggir hutan yang lagi istirahat. Saat keluar warung, ada anak SD yang mau jajan sambil bernyanyi-nyanyi gembira, "no gadis no gadis bos yuk..."
Engga tau kenapa aku jadi pengen nanya, "apaan no gadis..?"
Eh, tuh anak malah nyolot pakai aksen Dayak Maanyan, "haha rapuiii... gaul dong om..."
"Nobody tau... Bukan no gadis..."
"Biarin, yang penting hepi..."
"Seneng amat, lo..? Abis ketiban duren ya..?"
"Ya seneng lah. Aku baru jadian kemaren.."
"Hah..? Tuyul jadi-jadian maksudnya..?"
"Yaelah, jadian sama cewek kelas 3 om..."
Halah...
Anak sekarang baru kelas 4 SD dah mulai tahu kata "hamen hanyu" dan nyanyi lagu-lagu yang bikin orang lain bingung dan dia sendiri ga tahu. Ditanya lagu anak-anak malah diketawain katanya ga gaul.
Mungkin ini salah satu kesalahan persepsi umum dimana warga pedalaman yang terisolir sering dianggap terbelakang. Pengelolaan negara ini memang membuat mereka terasing dari dunia luar. Tapi segala keterbatasan itu justru membuat mereka menjadi lebih dibandingkan warga pulau Jawa yang segalanya tersedia.
Aku yang katanya orang Jogja saja mana pernah lihat tipi macam HBO, CNN atau MTV karena memang disana cukup pakai antena huhahep. Di tengah hutan seperti disini, yang namanya tipi satelit sudah jadi barang yang umum. Tak usah heran kalo ada rumah di sini yang di Jawa dikategorikan gubuk sawah, di belakang rumah terpasang parabola berbayar dan genset. Sesuatu yang masih dianggap mewah oleh sebagian masyarakat di pulau Jawa.
Kalo ibu-ibu di Jawa lagi ngumpul paling banter ngobrolin sinetron, disini sudah umum anak kecil pada cerita tentang film asing yang masih bisa dibilang baru dan belum sempat tayang di stasiun tipi lokal. Dari sisi pergaulan, abege disini sudah tak kalah dengan mereka yang di kota. Bedanya cuma disini masih banyak norma berlaku, jadinya tidak terlalu terbuka dipamerkan didepan umum.
Kasus kesalahan persepsi ini juga sama dengan sebagian orang luar Kalimantan yang sering mengganggap orang Dayak sebagai sosok yang menyeramkan, kejam dan sadis walau gadisnya cantik-cantik. Padahal kenyataannya tidak begitu. Orang Dayak sama saja dengan orang dari suku-suku lainnya dimana selalu ada orang baik dan ada juga yang jahat. Soal mereka kelihatan dominan, itu bukan masalah kesukuan atau pribadinya semata, melainkan karena budaya yang punya kawasan. Merasa yang punya wilayah, wajar kalo kadang ada yang sedikit arogan ke pendatang.
Yang semacam ini berlaku juga di seluruh dunia. Tak usahlah membedakan etnis. Masih satu suku saja, kalo misalkan ada cowo yang ngapelin cewek kampung lain, cowok-cowok setempat suka malakin yang ngapel. Contoh lainnya adalah ketika komendan security disini yang memang jawara diajak ke kantor Jakarta. Di hutan dia memang jagoan. Tapi begitu lihat preman-preman Jakarta, hilang juga taring dia. Yang ada malah dia bilang malas pulang, gara-gara malamnya aku ajak jalan-jalan ke seputaran Hayamwuruk.
Orang Dayak suka dianggap kasar, aku pikir cuma karena masalah kebiasaan bicara saja. Namanya di hutan mana bisa bicara sambil bisik-bisik seperti priyayi kraton Jogja. Tak bisa kita mengatakan seseorang menakutkan hanya karena gaya bicara tanpa melihat isi hatinya. Contohnya ada satu pengalaman yang mungkin pernah aku tulis di jurnal sebelumnya.
Saat balik dari pelabuhan hujan turun dan membuat jalan di tengah hutan hancur mumur seperti sawah. Padahal transmisi penggerak 4 roda mobilku lagi bermasalah. Mau ga mau aku muter lewat jalan kampung dengan resiko jarak tempuh lebih jauh. Karena mengejar waktu, aku agak ngebut sambil memikirkan resiko nabrak anjing atau babi yang bisa kena denda sampai 3 juta rupiah.
Menjelang tikungan, dari depan nongol sepeda motor yang agak ngebut juga. Karena jalanan sempit, pengendara motor sampai turun dari aspal dan melonjak-lonjak melewati tanah tidak rata di bahu jalan sambil teriak, "anjiiiiing...!!!"
Dikatain anjing, aku injak rem dan hampir ikut teriak. Belum sempat terucap, selepas tikungan ada 2 ekor anjing yang lagi bobo manis di tengah jalan. Aku pun banting setir dan nyungsep di selokan. Untung mobil sudah agak lambat dan selokannya dangkal sehingga tidak terjadi kerusakan yang berarti.
Sebelum melanjutkan perjalanan, tak urung aku terdiam sejenak memikirkan kejadian itu. Andai saja pengendara motor itu putri Solo yang lemah lembut dan penuh sopan santun, mungkin aku sudah dikeprukin penduduk dan harus bayar denda adat. Dengan itu aku jadi makin mengerti, bahwa yang kasar belum tentu jahat.
Nah kan...
Masih saja ngelantur kalo nulis
Dont judge book by the cover
Buku jangan dimasukin koper
Dibaca dong...
Engga tau kenapa aku jadi pengen nanya, "apaan no gadis..?"
Eh, tuh anak malah nyolot pakai aksen Dayak Maanyan, "haha rapuiii... gaul dong om..."
"Nobody tau... Bukan no gadis..."
"Biarin, yang penting hepi..."
"Seneng amat, lo..? Abis ketiban duren ya..?"
"Ya seneng lah. Aku baru jadian kemaren.."
"Hah..? Tuyul jadi-jadian maksudnya..?"
"Yaelah, jadian sama cewek kelas 3 om..."
Halah...
Anak sekarang baru kelas 4 SD dah mulai tahu kata "hamen hanyu" dan nyanyi lagu-lagu yang bikin orang lain bingung dan dia sendiri ga tahu. Ditanya lagu anak-anak malah diketawain katanya ga gaul.
Mungkin ini salah satu kesalahan persepsi umum dimana warga pedalaman yang terisolir sering dianggap terbelakang. Pengelolaan negara ini memang membuat mereka terasing dari dunia luar. Tapi segala keterbatasan itu justru membuat mereka menjadi lebih dibandingkan warga pulau Jawa yang segalanya tersedia.
Aku yang katanya orang Jogja saja mana pernah lihat tipi macam HBO, CNN atau MTV karena memang disana cukup pakai antena huhahep. Di tengah hutan seperti disini, yang namanya tipi satelit sudah jadi barang yang umum. Tak usah heran kalo ada rumah di sini yang di Jawa dikategorikan gubuk sawah, di belakang rumah terpasang parabola berbayar dan genset. Sesuatu yang masih dianggap mewah oleh sebagian masyarakat di pulau Jawa.
Kalo ibu-ibu di Jawa lagi ngumpul paling banter ngobrolin sinetron, disini sudah umum anak kecil pada cerita tentang film asing yang masih bisa dibilang baru dan belum sempat tayang di stasiun tipi lokal. Dari sisi pergaulan, abege disini sudah tak kalah dengan mereka yang di kota. Bedanya cuma disini masih banyak norma berlaku, jadinya tidak terlalu terbuka dipamerkan didepan umum.
Kasus kesalahan persepsi ini juga sama dengan sebagian orang luar Kalimantan yang sering mengganggap orang Dayak sebagai sosok yang menyeramkan, kejam dan sadis walau gadisnya cantik-cantik. Padahal kenyataannya tidak begitu. Orang Dayak sama saja dengan orang dari suku-suku lainnya dimana selalu ada orang baik dan ada juga yang jahat. Soal mereka kelihatan dominan, itu bukan masalah kesukuan atau pribadinya semata, melainkan karena budaya yang punya kawasan. Merasa yang punya wilayah, wajar kalo kadang ada yang sedikit arogan ke pendatang.
Yang semacam ini berlaku juga di seluruh dunia. Tak usahlah membedakan etnis. Masih satu suku saja, kalo misalkan ada cowo yang ngapelin cewek kampung lain, cowok-cowok setempat suka malakin yang ngapel. Contoh lainnya adalah ketika komendan security disini yang memang jawara diajak ke kantor Jakarta. Di hutan dia memang jagoan. Tapi begitu lihat preman-preman Jakarta, hilang juga taring dia. Yang ada malah dia bilang malas pulang, gara-gara malamnya aku ajak jalan-jalan ke seputaran Hayamwuruk.
Orang Dayak suka dianggap kasar, aku pikir cuma karena masalah kebiasaan bicara saja. Namanya di hutan mana bisa bicara sambil bisik-bisik seperti priyayi kraton Jogja. Tak bisa kita mengatakan seseorang menakutkan hanya karena gaya bicara tanpa melihat isi hatinya. Contohnya ada satu pengalaman yang mungkin pernah aku tulis di jurnal sebelumnya.
Saat balik dari pelabuhan hujan turun dan membuat jalan di tengah hutan hancur mumur seperti sawah. Padahal transmisi penggerak 4 roda mobilku lagi bermasalah. Mau ga mau aku muter lewat jalan kampung dengan resiko jarak tempuh lebih jauh. Karena mengejar waktu, aku agak ngebut sambil memikirkan resiko nabrak anjing atau babi yang bisa kena denda sampai 3 juta rupiah.
Menjelang tikungan, dari depan nongol sepeda motor yang agak ngebut juga. Karena jalanan sempit, pengendara motor sampai turun dari aspal dan melonjak-lonjak melewati tanah tidak rata di bahu jalan sambil teriak, "anjiiiiing...!!!"
Dikatain anjing, aku injak rem dan hampir ikut teriak. Belum sempat terucap, selepas tikungan ada 2 ekor anjing yang lagi bobo manis di tengah jalan. Aku pun banting setir dan nyungsep di selokan. Untung mobil sudah agak lambat dan selokannya dangkal sehingga tidak terjadi kerusakan yang berarti.
Sebelum melanjutkan perjalanan, tak urung aku terdiam sejenak memikirkan kejadian itu. Andai saja pengendara motor itu putri Solo yang lemah lembut dan penuh sopan santun, mungkin aku sudah dikeprukin penduduk dan harus bayar denda adat. Dengan itu aku jadi makin mengerti, bahwa yang kasar belum tentu jahat.
Nah kan...
Masih saja ngelantur kalo nulis
Dont judge book by the cover
Buku jangan dimasukin koper
Dibaca dong...
ikut meramaikan komentar agan...maaf ga sempat baca sampai selesai cause keburu mau pulang dulu :)
BalasHapusjadi inget tulisan masa kecil yang hampir sama seperti itu...penuh gambar..
BalasHapusmeskipun gak nyambung,tapi tetep isinya selalu menarik buat di simak,,
BalasHapusHhaha...ternyata mereka gaul2 juga ya :D
BalasHapusMirip sih dengan cara pandang orang terhadap orang2 di Jayapura.
Padahal orang2 sini kan gak se'ndeso yang mereka pikirkan :D
Btw, gak kebayang kencengnya kayak apa kalo orang dayak ngomong :D
wah2 nabrak anjing dendanya 3 juta,,mahal amat ya mas,,emng harga anjingnya berapa ya,,
BalasHapusbeda daerah beda kebiasaan lah om, sama kayak di sby sini.. temen-temen pada asyik banget menyelipkan kata pisuhan seenaknya dan ngomong tanpa ekspresi gitu...
BalasHapusaku gak pilih misuh tapi nusuk pelan-pelan. wong tulisan gak nunjuk ke seseorang kok ngataian nyerang, hahaha... kali kebetulan sama kasusnya
BalasHapushmmm...
BalasHapus"yang kasar belum tentu jahat"
setuju sih.
emang selalu ada "sesuatu" di balik kejadian.
asli aku gak tau arti hamen hanyu
BalasHapushaha... masa sih om
BalasHapusAku jarang masukin buku ke koper. Paling ku tarok di atas lemari
BalasHapus*jika postingan ngelantur, komen ikutan ngelantur* :D
anjrit kecil kelas 4sd aja dah pacaran,aku aja dulu baru kelas 2smp mulainya loh,hehehe
BalasHapusaturan mas,bilangin sama anak kecilnya jangan cuma teriak2 seneng aja kalau abis jadian ditumpengin aja,wkwkwk
DeCENTRALISASI.... Sebagai pemilik bangsa ini daerah dimanapun mesti harus mendapat perhatian yang layak..
BalasHapusYang aku tau malah Kalimantan memang terkenal kaya, soalnya dulu tantenya temen aku beli tas 200 ribu di Jakarta, dia jual 2 juta di Kalimantan, dan laku keras.
BalasHapusNo mandi no mandi bau.. *ikutan nyanyi :p
ngapain satpam diajak ke hayam wuruk :p
BalasHapus