21 Desember 2011

Mati Berbudaya

Membaca berita tentang tergelincirnya pesawat Sriwijaya di Bandara Adi Sutjipto, aku malah inget kejadian saat jadi relawan di lereng Merapi setahun lalu. Saat letusan kedua, warga kecamatan Dukun di daerah Magelang begitu tercerai-berai mencari selamat. Kepanikan yang luar biasa membuat sebagian dari mereka sampai lupa anggota keluarga. Banyak aku temukan anak-anak menangis di pinggir jalan tanpa tahu siapa dan dimana orang tuanya. Upayaku dan teman-teman relawan menenangkan massa seperti angin lalu saja. Yang bisa aku lakukan hanya mengamankan anak-anak dan perempuan agar terhindar dari bencana tambahan.

Untuk hujan debu yang sebenarnya tidak berakibat fatal secara langsung, begitu banyak pengungsi yang terluka. Bukan oleh debu vulkanik atau hujan batu, melainkan kecelakaan lalu lintas karena berebutan meninggalkan desa. Jalan berlapis debu itu teramat licin, apalagi dipakai kebut-kebutan. Belum lagi kekacauan di setiap persimpangan akibat semua ngotot tak ada yang mau mengalah.

Andai saja waktu itu mereka mau tertib, pergerakan evakuasi mungkin bisa berjalan lebih cepat. Korban kecelakaan dan anak kehilangan orang tua juga bisa diminimalkan. Tapi apa daya, polisi yang biasanya rajin bertugas kalo lagi razia, saat itu tak ada satupun yang kelihatan batangnya. Yang ada cuma beberapa relawan amatiran yang tidak mengenal medan. Saat mendata korban luka pasca evakuasi, aku cuma berkomentar lirih, "maklumlah, namanya juga orang gunung..."

Pagi ini aku baca, 5 korban luka pada kecelakaan Sriwijaya Air bukan karena benturan melainkan terinjak-injak penumpang lain. Aku kira yang mampu dan perlu naik pesawat adalah orang yang lebih berbudaya dibanding warga lereng Merapi sana. Orang kota yang tingkat pendidikan dan ekonominya lebih tinggi pun ternyata susah dibudayakan tertib. Kayaknya dalam kondisi normal, mereka begitu gampang bilang ladies first. Saat keadaan darurat segera berubah jadi egp first.

Makanya aku suka terharu kalo inget temen-temen di Jalin Merapi dulu. Hati-hati dan keselamatan pengungsi jadi nomor satu. Resiko pribadi entah urutan ke berapa. Paling aku inget adalah ucapan mbah Singo, "Kalo harus mati, mau lari kemana tetap saja mati. Tapi mati saat membantu orang lain untuk tetap hidup, itu kematian yang lebih indah dari kehidupan..."

Hidup memang tak semudah cocote Mario Singo...
Tapi kapan kita bisa lebih berbudaya sebagai manusia..?


21 comments:

  1. kalau di luar negeri, contohnya Jepang, aku denger gak gitu.
    waktu ada gempa dahsyat, orang Jepang biassanya tetep tenang dan bersembunyi di bawah meja.
    setelah gempa reda, mereka dengan tertib dan tenang keluar dari gedung satu persatu (gak berlarian kayak di sini).

    BalasHapus
  2. egoismenya kentara sekali, dan bs dikatakan takut sekali pada kematian, tp krn apa mereka takut? Blm siap bekal, atau takut meninggalkan gemerlap dunia.. Ckck

    BalasHapus
  3. yg kota kebanyakan takut mati :) karena sudah terlena dengan nikmatnya hedonisme :) ..

    itu foto anak kecilnay lucccccccccccuuu banget mas ^^

    BalasHapus
  4. mencontoh jepang, evakuasi saja bisa tertib

    BalasHapus
  5. maklum ciri khas orang negara berkembang, sifat egois masih berakar

    BalasHapus
  6. ini mungkin akibat terlalu lama di jajah londo, jadinya kalo di suruh tertib masih aja trauma hahahaha...


    masak udah pada gede ngga malu sama bebek...

    BalasHapus
  7. wah quote kematiannya keren banget... hampir menangis membacanya :'(

    BalasHapus
  8. budaya tertib sepertinya akan hilang mas,jangankan pas waktu ada bencana yang pasti hanya memikirkan diri sendiri sekarang pun di hari-hari normal banyak yang ga tertibnya

    BalasHapus
  9. "Kalo harus mati, mau lari kemana tetap saja mati. Tapi mati saat membantu orang lain untuk tetap hidup, itu kematian yang lebih indah dari kehidupan..."

    mrinding bacanya.... salam dari penghuni kaki gunung merapi... :D

    BalasHapus
  10. aku setuju sama pesan dari kalimat diakhir post,tapi jarang sekali dari kita semua yang mau tergerak hatinya untuk menolong sesama
    karena kebanyakan dari kita hanya memikirkan diri sendiri

    BalasHapus
  11. saya suka dengan ungkapan mbah singo, "Kalo harus mati, mau lari kemana tetap saja mati. Tapi mati saat membantu orang lain untuk tetap hidup, itu kematian yang lebih indah dari kehidupan..."

    yaaaap, namanya juga Indonesia ka. terkadang lebih mementingkan ego daripada sekitar..

    BalasHapus
  12. Orang Kota dibilang tertib?.. kayane ora deh kang,.. Sudah jelas2 ada pengumuman untuk penggunaan seluler nanti setelah pesawat benar2 berhenti, tetep aja ngeyel telpnan,.. berdiri setelah pesaawat benar2 berhenti, masih aja ngeyel buka bagasi atas padahal pesawat masih jalan,..

    BalasHapus
  13. Jangankan yang posisi panik kang... Jelas-jelas santai mau naik ke pesawat saja pada bejubel nggak bisa ngantri dengan tertib kok... Padahal jelas-jelas dapat tempat duduk dan Gak bakalan berdiri lho...

    Indonesia raya...

    BalasHapus
  14. mau duduk di metromini ato di busway tetap saja berebutan koq..

    BalasHapus
  15. Budaya antri di negeri ini memang masih sangat minim. Liat aja di halte busway, atau pas pembagian sembako atau zakat yang memakan korban tidak sedikit hanya demi beberapa puluh ribu. Egoisme dan keserakahan lebih berkuasa

    BalasHapus
  16. Sungguh saya mengkakak lama dengan postingan Mas Rawin yang mati berbudaya ini...
    DASAR ORANG GUNUNG...!
    Ternyata saat panik yang timbul EGP.. Sebenernya saat suasana tenangpun para passanger juga gak dengerkan kok..

    Di trafic light aja setiap hari masih terlihat budaya primitif ini Mas..

    DASAR COCOTe Mario Singo angel aplikasine..

    BalasHapus
  17. hahaha...

    yawis kapan mulih, munggah Merapi wae neh yukk.. isa mengenang lhooo...

    BalasHapus
  18. Namanya juga orang panik mas, jadi pada berusaha nyelamatin diri sendiri tanpa memperdulikan keselamatan orang lain :D
    Asal diri udah aman dan selamat, yo wis :)))

    BalasHapus
  19. salut deh kalau masih ada yang membudayakan tertib dan tidak hanya memikirkan kepentingan sendiri,,

    #ada gak ya,saya juga masih belum bisa,masih belajar

    BalasHapus
  20. Mbah Singo ki sopo to, Kang?

    Eh, itu foto si Ncip ya? Lucu banget.. :)

    BalasHapus

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena