#Semua Umur
Musim liburan kali ini, beberapa teman yang berlibur ke Jogja menyempatkan diri mampir. Dan dalam salah satu obrolan tentang jalan-jalan, ada teman yang mempertanyakan kenapa caraku membuat rute perjalanan tidak sebagaimana lazimnya orang lain. Yang dimaksud lazim adalah, pada umumnya orang memilih obyek wisata terkenal sebagai tujuan. Berbeda denganku yang justru menelusuri jalur jalan yang sepi.
Sebenarnya ini cuma masalah kebiasaan. Saat kebanyakan teman akan mengunjungi suatu tempat, biasanya akan mencari-cari info di internet. Otomatis yang masuk dalam catatan tujuan adalah obyek-obyek besar yang sering diekspos. Makanya aku sempat komentar usil ke salah seorang teman yang membuat rutenya loncat-loncat tak karuan sehingga lebih banyak waktu terbuang di jalan. Tapi karena punya tujuan pasti, cara semacam ini tak menjadi masalah.
Untuk aku sendiri, saat merencanakan perjalanan tak pernah membuat catatan tujuan pasti. Cukup buat satu tujuan lalu buka peta dan cari jalan alternatif yang cenderung menghindari jalan raya utama. Saat menemukan lokasi yang asik langsung parkir pinggir jalan gelar tikar. Atau tanya-tanya ke penduduk setempat kalo-kalo ada tempat wisata yang asik walau belum terkenal. Contohnya seperti saat cuti yang lalu. Tujuan awalnya pengen ke Bromo. Kebanyakan mampir-mampir akhirnya malah ga sempat sampai Bromo sudah balik karena kehabisan bekal.
Dengan cara ini, aku seringkali menemukan kejutan. Banyak tempat yang baru aku dengar saat itu tapi pemandangannya begitu menakjubkan. Memang masih sepi, namun justru itu daya tariknya. Benar-benar masih alami belum banyak tercemar sampah dan bangunan tambahan yang menurutku justru merusak keaslian lokasi.
Tidak terlalu banyak orang membuatku lebih leluasa menikmati suasana. Terus terang aku suka pusing kalo niatnya refreshing tapi mau masuk saja susahnya minta ampun. Di jalannya saja sudah macet yang bikin pegel kaki bolak-balik injek kopling. Cari tempat parkir susah dan begitu masuk sudah mumet duluan lihat manusia berjubelan kayak semut.
Belum dikenal makanya tiket masuknya murah meriah malah seringkali gratis atau cuma dipasang semacam kotak amal saja. Bandingkan dengan masuk ke Borobudur misalnya yang pasang tarif tiket sampai 30 ribu per orang. Atau ke Parangtritis yang sekali parkir 10 ribu perak. Pindah parkir kena lagi 10 ribu. Kalo diruntut dari makan di pantai Depok, lalu ke gumuk pasir, terus ke Parangkusumo kemudian geser lagi ke Parangtritis, untuk parkir saja bisa lebih dari 50 ribu.
Belum lagi kalo pengen wisata kuliner. Harga makanan di obyek terkenal di musim liburan suka pake acara getok kepala segala. Apalagi yang jual jajanan atau mainan anak. Melihat bawa anak kecil terus saja dikintil kemana-mana. Mungkin dikiranya kalo orang jalan-jalan tuh selalu duitnya banyak kali.
Memang tak selamanya enak. Ada juga satu dua lokasi yang ga asik karena kurangnya prasarana. Itu sudah resiko, namanya juga kelas kakilima masa minta fasilitas bintang lima. Tapi secara umum aku nyaman dengan cara wisataku yang ga umum itu.
Ada pendapat lain..?
Musim liburan kali ini, beberapa teman yang berlibur ke Jogja menyempatkan diri mampir. Dan dalam salah satu obrolan tentang jalan-jalan, ada teman yang mempertanyakan kenapa caraku membuat rute perjalanan tidak sebagaimana lazimnya orang lain. Yang dimaksud lazim adalah, pada umumnya orang memilih obyek wisata terkenal sebagai tujuan. Berbeda denganku yang justru menelusuri jalur jalan yang sepi.
Sebenarnya ini cuma masalah kebiasaan. Saat kebanyakan teman akan mengunjungi suatu tempat, biasanya akan mencari-cari info di internet. Otomatis yang masuk dalam catatan tujuan adalah obyek-obyek besar yang sering diekspos. Makanya aku sempat komentar usil ke salah seorang teman yang membuat rutenya loncat-loncat tak karuan sehingga lebih banyak waktu terbuang di jalan. Tapi karena punya tujuan pasti, cara semacam ini tak menjadi masalah.
Untuk aku sendiri, saat merencanakan perjalanan tak pernah membuat catatan tujuan pasti. Cukup buat satu tujuan lalu buka peta dan cari jalan alternatif yang cenderung menghindari jalan raya utama. Saat menemukan lokasi yang asik langsung parkir pinggir jalan gelar tikar. Atau tanya-tanya ke penduduk setempat kalo-kalo ada tempat wisata yang asik walau belum terkenal. Contohnya seperti saat cuti yang lalu. Tujuan awalnya pengen ke Bromo. Kebanyakan mampir-mampir akhirnya malah ga sempat sampai Bromo sudah balik karena kehabisan bekal.
Dengan cara ini, aku seringkali menemukan kejutan. Banyak tempat yang baru aku dengar saat itu tapi pemandangannya begitu menakjubkan. Memang masih sepi, namun justru itu daya tariknya. Benar-benar masih alami belum banyak tercemar sampah dan bangunan tambahan yang menurutku justru merusak keaslian lokasi.
Tidak terlalu banyak orang membuatku lebih leluasa menikmati suasana. Terus terang aku suka pusing kalo niatnya refreshing tapi mau masuk saja susahnya minta ampun. Di jalannya saja sudah macet yang bikin pegel kaki bolak-balik injek kopling. Cari tempat parkir susah dan begitu masuk sudah mumet duluan lihat manusia berjubelan kayak semut.
Belum dikenal makanya tiket masuknya murah meriah malah seringkali gratis atau cuma dipasang semacam kotak amal saja. Bandingkan dengan masuk ke Borobudur misalnya yang pasang tarif tiket sampai 30 ribu per orang. Atau ke Parangtritis yang sekali parkir 10 ribu perak. Pindah parkir kena lagi 10 ribu. Kalo diruntut dari makan di pantai Depok, lalu ke gumuk pasir, terus ke Parangkusumo kemudian geser lagi ke Parangtritis, untuk parkir saja bisa lebih dari 50 ribu.
Belum lagi kalo pengen wisata kuliner. Harga makanan di obyek terkenal di musim liburan suka pake acara getok kepala segala. Apalagi yang jual jajanan atau mainan anak. Melihat bawa anak kecil terus saja dikintil kemana-mana. Mungkin dikiranya kalo orang jalan-jalan tuh selalu duitnya banyak kali.
Memang tak selamanya enak. Ada juga satu dua lokasi yang ga asik karena kurangnya prasarana. Itu sudah resiko, namanya juga kelas kakilima masa minta fasilitas bintang lima. Tapi secara umum aku nyaman dengan cara wisataku yang ga umum itu.
Ada pendapat lain..?