Berkat

Bulan syawal di kampung identik dengan bulannya orang mbarang gawe atau hajatan. Aku sendiri ga mudeng, kenapa orang begitu kompakan bikin acara beramai-ramai di bulan ini. Entah benar-benar bulan baik atau karena saudara masih ngumpul pasca lebaran aku ga tau. Yang pasti, efek samping utamanya pasukan cacing sampe demo terus-terusan dijejali nasi berkat yang tak pernah pulen. Jangankan sampe masuk perut, baru dikabrukin ke piring saja, nasinya sudah langsung talak tilu bercerai berai kemana-mana.

Aku sendiri tak pernah tahu kenapa nasi pemberian orang hajatan atau kendurian alias kenduren alias kepungan bisa dinamakan berkat. Mungkin berasal dari kata barokah. Dimana saat kenduren, nasi akan didoain beramai-ramai sebelum dibagikan dan dibawa pulang. Sehingga ketika kita makan nasi itu, apa yang diminta dalam doa itu diharapkan bisa berefek domino terhadap kita yang memakannya. Ini persis kalo kita datang ke pesantren dan disuguhi makanan. Tak peduli perut sudah penuh, tetap saja harus menghabiskannya. "Jangan lihat makanannya, mas. Tapi barokah dari pak kyai yang penting..."

Budaya ngalap berkah melalui perantaraan makanan sudah begitu mendarah daging terutama di kalangan masyarakat Jawa. Dari waktu ke waktu isinya cuma slametan dan slametan. Sejak ortu menikah sebagai tanda kita siap diproduksi mereka sudah melaksanakan slametan. Ketika kita sudah mulai menggumpal dalam perut ibu empat bulan, tujuh bulan dan lahir, slametan juga. Setelah itu tiap selapan hari di among-amongi, lalu ulang tahun, sunatan, pacaran, menikah sampai kita sudah mati pun masih suka dislametin dengan istilah tahlilan.

Di bidang sosial lain pun sama. Kita membangun rumah, menanam padi, diterima jadi PNS sampai beli mobil baru, kita makan-makan juga. Begitu membudayanya membagi berkat ini sampai penggunaannya meluas tak hanya yang menyangkut kemanusiaan kita saja. Sampai ada temenku yang begitu lulus sekolah pinjem sertifikat tanah ortunya untuk disekolahkan di BRI buat modal usaha. Begitu kredit cair, ketika ditanya mau usaha apa, jawab dia, "belum kepikir. Yang penting syukuran dulu sudah ada modal..."

Kalo jaman dulu, mungkin benar semua itu terasa barokahnya. Doanya panjang-panjang dan penuh penghayatan. Mulai ba'da isya kelarnya bisa jam 10 malem. Tapi semalem apapun bapak pulang kenduren, anak-anak ga ada yang bakal bisa tidur. Semua siap siaga menunggu berkat. Jangan harap nasi dan lauknya bisa nyisa untuk besok pagi. Ga ada anak yang nangis karena kalah rebutan makanan saja sudah untung.

Kenduren jaman sekarang, berdoanya 10 menit saja engga ada. Itupun masih disambi smsan. Begitu berkatnya nyampe rumah, boro-boro ada yang melirik. Kalopun ada yang berkenan menyentuh, paling cuman mendumil daging atau sneknya doang. Nasi dan pasukan lainnya cuma numpang lewat dan bablas ke kandang ayam.

Jaman sudah berubah, namun kebiasaan lama belum banyak berubah. Sudah tahu nasi berkat banyak terbuang, masih saja orang memaksakan diri membuat kenduren konvensional. Kayaknya ga susah kalo kenduren hanya untuk berdoa bersama yang cukup ditemani dengan snek ala kadarnya. Keindahan berbagi makanannya bisa dimodifikasi. Misalnya nilai masakan kendurinya dinominalkan dalam bentuk rupiah lalu disodakohkan ke panti asuhan. Sepertinya kemungkinan nasi terbuang jadi bisa diminimalisir.

Tidak ada yang salah bila cara harus berubah. Yang penting kan kesampaian niatnya untuk berbagi berkah. Budaya itu kan cuma budi daya manusia yang bisa diamandemen kapan saja. Asal tidak memberatkan dan menyalahi norma dasarnya, apa salahnya kita lakukan. Seperti pepatah mengatakan, banyak jalan menuju Roma. Tapi kalo engga ada yang ngongkosin, entah kapan aku bisa sampai kesana. Namun karena niat bukanlah hal yang bersifat fisik, kan sah sah saja aku kesananya melalui internet atau tipi. Walau ga bisa menyentuh langsung, tapi minimal bisa mendengar suara khasnya. Sungguh terlalu...

Bisakah berkat kembali menjadi barokah untuk umat..?