04 September 2010

Operasi Ketupat

Sekitar 20 tahun lalu, selama beberapa tahun aku tak pernah merasakan yang namanya lebaran bersama keluarga. Seminggu sebelum lebaran, aku sudah harus nongkrong di jalan bantuin pak polisi mengurusi yang pada mudik. Tahun pertama aku gabung di Pramuka Bhayangkara Polres Banyumas, pada tahun 1990, aku masih bisa sering pulang karena pake sistem sift. Sejak tahun kedua, aku masuk jadi pengurus yang mau ga mau harus full mengurus pasukan yang ada di jalanan.

Selama lima lebaran berturut-turut, aku selalu kebagian di Pos Simpatik Buntu, tepatnya di depan Polsek Kemranjen. Kebetulan pos itu mengawasi daerah yang lumayan rawan kecelakaan. Dari perempatan ke utara didominasi tanjakan curam dan belak belok. Ke arah barat dan timur jalanan datar dan lurus. Tapi justru itu yang sering membuat pengendara ngantuk dan lepas kontrol. Apalagi bila dihitung waktu tempuh dari Jakarta, daerah itu merupakan titik puncak kelelahan pengemudi. Makanya yang namanya kecelakaan, setiap hari pasti terjadi.

Pertama kali menangani kecelakaan lalu lintas, aku sempat mengalami mogok makan. Namun setelah dua tiga hari, aku mulai terbiasa dengan darah atau anggota tubuh yang tercerai-berai. Apalagi bila kecelakaan terjadi terus menerus tanpa memberi waktu aku untuk istirahat, mengisi perut di tengah genangan darah pun sudah bisa aku lakukan. Tak jarang aku aku nemu banyak makanan di kendaraan yang naas. Daripada mubazir sering aku bawa ke posko untuk untuk anak-anak sebagai makanan tambahan. Pernah ada kue tart yang ada cipratan darahnya, cuma dipotong sedikit bagian itu trus sisanya diembat. Habisnya tiap hari ransum hanya mie instan dan biskuit TB-2 yang makan sebiji bisa kenyang seharian.

Jangankan untuk sukarelawan seperti aku, untuk polisinya saja kesejahteraan kurang terjamin. Ga ngerti tuh pejabat di Mabes Polri kerjanya ngapain. Masa tiap kali mau ada kegiatan, mereka selalu ribut cari duit di luaran dengan alasan anggaran dari atas cuma ada di atas kertas. Tak jarang aku dengar para polisi bawahan yang mengeluhkan masalah itu tiap kali aku minta sumbangan untuk operasional anak buahku. Entah negara apa ini, yang untuk kegiatan keamanan saja petugasnya harus jadi pengemis dan kadang sedikit merampok.

Tapi entahlah. Walau akomodasi dan fasilitasnya pas-pasan, aku tetap senang menjalaninya. Apalagi bila malam takbir masih sibuk mengatur lalu lintas yang kusut. Suka ada rasa senut-senut di ujung hati yang sulit diungkap dengan kata-kata. Segala kesusahan malah jadi kenangan yang indah di kemudian hari.

Kurang tidur itu sudah pasti. Apalagi di daerah itu, puncak arus mudik seringkali terjadi dini hari sampai pagi. Kalo pas tidak ada kecelakaan sih mendingan, bisa sahur bergantian. Payahnya hampir tiap waktu ada yang ketiban sial. Petugas gabungan segitu banyak selalu saja kekurangan orang. Sampai kadang aku ga puasa karena tak sempat sahur. Payah...

Lebih payah lagi sekitar tahun 93 kalo ga salah. Menjelang subuh aku bersiap-siap pulang kampung, eh ada instruksi mendadak untuk mengamankan shalat ied di alun-alun Purwokerto. Yaudah, walau badan lelah aku langsung bagi tugas pasukan. Sampai di alun-alun aku jaga di pertigaan ragasemangsang kalo ga salah dengan yang namanya Bawor. Dasar otak error, shalat ied yang kepikiran shalat jumat. Begitu dengar adzan aku masih santai-santai karena aku pikir shalatnya setelah kutbah.

Makanya begitu kedengaran imam takbir, aku dan bawor baru nyadar pecicilan lari masuk barisan. Baru saja ikutan takbir, aku lihat Bawor yang berdiri di depanku masih pakai sepatu hansip. Begonya aku trus ngomong, "shalat kok pake sepatu sih, wor..?"

Eh, Bawor malah ikutan bego ngejawab ucapanku. Pake balik kanan kasih tahu aku juga pake sepatu segala. Melihat aku malah ngobrol, tetangga sebelah ngingetin, "shalat kok pada ngomong sendiri sih..?"

Belum sempat aku ngejawab, tetangga yang lain yang nyahut, "kenapa kamu ikut ngomong..?"

Takut bikin jamaah kacau, aku seret Bawor keluar barisan dan pulang. Ketupat opor pasti menungu di rumah...


7 comments:

  1. wah...hebat juga ya sob...bisa bantu orang2 yg mau mudik...yah...walaupun sedikit berat rasanya tp klo dah ngumpul dengan teman2 di lapangan kyknya asyik juga tuh...

    Tahun ini pasti lebarannya udah bisa ngumpul dengan keluarga tercinta dunk ^__^

    BalasHapus
  2. Prapatan buntu siki sing jaga rika apa udu? Salut untuk andil bagian dalam rangka mudik lebaran

    BalasHapus
  3. hihihi..sekarang kalo operasi ketupat, petugasnya dikasih uang saku 43.000 perhari *bacakoran*.

    Glodhaaak.. Bawor ikutan ngomong padahal udah sholat?. ckckckck

    BalasHapus
  4. Lah, ini ceritanya bagemana toh sholat kok pake sepatu? sekalian aja mungkin ya pake sepatu high heels. ckckckck

    BalasHapus
  5. negara korup...pantasan banyak failitias dan pelayanan umum yg ndak jelas pengurusannya...


    selamat bertugas... good luck :D

    BalasHapus
  6. punya keunikan tersendiri yah Om dari aktifitas sosiaLnya, adapun istiLah Pramuka Bhayangkara saya baru tau nih. ngertinya cuma Pramuka nya aja, seLebihnya ndak tau pasti.
    daLam aktifitas sosiaL yg berada di jaLan, (mungkin) bertemu dgn keceLakaan bukan suatu haL yg biasa tapi kaLo bagi saya itu haL yg Luar biasa, apaLagi kaLo ngeLihat potongan tubuh yg bercerai berai, Lha wong ngeLihat darah aja bisa jadi org Lain yg keceLakaan tapi maLah saya yg pingsan.
    saya hanya bisa mensupport, aktifitas tsb merupakan sebuah kesempatan tersendiri bisa berbuat Lebih baik dgn sesama, dari pada aktifitas pd orang2 pd umumnya.
    mengenai anggaran dinas yg suka minus, saya tidak bisa menanggapainya. kecuaLi, biLa tahun 2014 nanti saya terpiLih sebagai presiden RI. tentunya Om Rawins adaLah org pertama yg kesejahteraannya saya perhatikan, hakhakhak...

    BalasHapus
  7. gagah temen rika nang poto kang...

    BalasHapus

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena