25 Januari 2008

Psikoclogh

Dahulu kala, terdapat dua orang filsuf Yunani yang bersahabat karib, yang bernama Phobias dan Syndromeus. Pada suatu kali, mereka berdua sedang terlibat dalam suatu wacana diskusi yang cukup serius.

Phobias: Menurutmu, di negri ini, siapakah orang yang paling banyak dosanya, Ndro?

Syndromeus: Tentu saja, para Psikolog!

Phobias: Kok Psikolog sih? Apakah mereka lebih berdosa daripada para Pezinah? Pembunuh? Atau pun Koruptor?

Syndromeus: Iya tepat sekali. Psikolog yang Pezinah, Pembunuh dan Koruptor itulah yang paling banyak dosanya, Phob…

Phobias: Maksudku bukan itu, Ndro! Kamu ini bagaimana sih? Mengerti atau tidak sih maksud dari pertanyaanku tadi?!

Syndromeus: Maksudmu, aku ini bodoh? Tidak mengerti pertanyaan konyolmu itu? Kamu sama saja dan tidak ada bedanya dengan para Psikolog itu. Mereka pikir bahwa mereka paham atas apa-apa yang ada di dalam benak otak setiap orang. Apakah mereka juga mampu memahami akan diri mereka sendiri yang sebenarnya? 


Mereka pikir manusia bisa dinilai hanya dari jawaban singkat atas batasan pertanyaan-pertanyaan aneh mereka? Dari hasil angket, evaluasi, quotient, kognitive, atau apapun istilah mereka itu? Kebenaran tidak bisa dinilai hanya dari sebatas angka-angka, sesi tanya-jawab, ataupun prilaku statistik belaka…

Phobias: Ndro… Tenangkan dirimu, Ndro… Aku kan tadi hanya sekedar bertanya… Jangan terlalu cepat emosi begitu, tidak baik Ndro… Bersikap dewasa-lah, Ndro… Jangan kekanak-kanakan begitu… Mungkin kamu perlu sekali-sekali meluangkan waktumu untuk membaca kitab-kitab “Anger Management” ataupun “Personal Development” yang banyak beredar…

Syndromeus: Beredar dimana maksudmu? Kita berdua kan selama ini tidak bisa pergi kemana-mana, kecuali hanya di sekitar tempat rehabilitasi mental ini…

Phobias: Oh iya, aku terlupa… Sekarang kita bermain petak-umpet saja yuk? Bermain “therapist dan pasien” ini membuat kepalaku semakin pening…

Syndromeus: Oke… Kamu yang mendapat giliran pertama ngumpet, dan aku yang diam berjaga di sini… Aku hitung sampai seratus… satu… dua… lima… sepuluh… tiga puluh…

Phobias pun segera beranjak dari tempat berdirinya dan kemudian bersembunyi. Setelah hitungan “ke-100”, bukannya lekas mencari Phobias di tempat persembunyiannya, Syndromeus justru malah mendekati salah seorang perawat yang sedang berada di sekitarnya.
 
Syndromeus: Suster… Suster… Si Phobias kini kumat lagi sakit gila-nya… Sekarang dia sedang berdiri di dekat air mancur sana (sambil menunjuk ke arah Phobias), menjulurkan “anu”nya dan mengencingi kolam. Dia pikir sekarang dia itu adalah sebuah patung…

Suster: (dengan nada berteriak) Phobias, jangan kamu kencingi kolam itu!!!...

Setelah merasa tempat “persembunyiannya” telah diketahui, Phobias pun lalu mendekati Syndromeus yang kini tertawa terbahak-bahak.

Phobias: Kamu selalu saja bermain curang, Ndro!!! Di permainan sebelumnya kamu menggunakan filsafat logikamu yang sukar aku mengerti, dan sekarang kamu menggunakan jasa seorang suster untuk menemukanku… Dasar kamu curang!!! Tidak bisakah engkau berpura-pura bodoh seperti yang lainnya???... Kamu manusia beradab atau bukan sih?

Syndromeus: Siapa bilang aku ini manusia? Kamu saja yang berpikir demikian…

Phobias: Kamu selalu saja berkata demikian. Namun bagaimana mungkin engkau bisa membuktikannya?!...

Syndromeus: Mau bukti apa lagi, Phob? Bukankah dahulu aku telah menunjukkan beberapa bukti kepadamu? Walaupun seandainya aku mampu untuk menyodorkan bukti-bukti sebesar gunung pun beserta mukjizat-mukjizat, engkau tetap saja bersikeras untuk tidak mempercayainya… Percuma saja…

Suster itu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya, menyaksikan si Phobias masih saja gemar berbicara dengan si Syndromeus, “teman khayalannya” itu.

- The End -

0 comments:

Posting Komentar

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena