17 Januari 2008

Hak Anak Yang Terabaikan

Seorang Suami dan Istrinya tengah menghadiri sidang perceraiannya. Dalam sidang akan memutuskan siapa yang mendapat hak asuh anak.

Sambil berteriak histeris dan melompat-lompat si istri berkata: "Yang Mulia, Saya yang mengandung, melahirkan bayi itu ke dunia dengan kesakitan dan kesabaran saya!! Anak itu harus menjadi hak asuh Saya!!"

Hakim lalu berkata kepada pihak suami: "Apa pembelaan anda terhadap tuntutan istri Anda"


Si Suami diam sebentar, dengan nada datar ia berkata: "Yang mulia... Jika saya memasukkan koin ke mesin minuman softdrink, mesinnya bergoyang sebentar, dan minumannya keluar, Menurut Pak Hakim ....... Minumannya milik Saya atau Mesinnya?"
 
Sebuah anehdot yang menarik menurut saya.
Selama ini kita sebagai orang tua mungkin belum begitu menyadari bahwa dunia anak adalah dunia bermain dan bersukacita. Di benaknya belum terpikirkan tanggung jawab layaknya orang dewasa. Namun mereka sering merasakan, bahkan menjadi korban masalah yang terjadi di antara orang dewasa. 

Bila mau diungkap mungkin banyak lagi pelanggaran HAM di keluarga-keluarga yang tidak kita sadari. Ketika orang tua tidak meluangkan waktu dan memberikan kesempatan anaknya untuk berekreasi saja sudah melanggar HAM, karena rekreasi sendiri merupakan hak anak.

Apalagi bila melihat kenyataan begitu banyak orang tua yang asyik bergumul dalam egonya masing-masing sampai akhirnya terjadilah perceraian, pelanggaran itu semakin besar seiring hilangnya sebagian besar hak yang semestinya diterima oleh anak. 

Tidak jarang di tengah pertengkaran orang tua, salah satu pihak melampiaskan kemarahannya kepada anak. Anak menjadi telantar dan sebagian turun ke jalan untuk mencari pengganti kasih sayang yang hilang.

Padahal ketentuan dalam undang-undang dan bahkan konvensi PBB tentang perlindungan hak anak sepertinya sudah lebih dari cukup untuk menjamin anak memperoleh haknya. Namun kenyataan berkata lain. 

Sebagai contoh, Dinas Bina Mental dan Kesejahteraan Sosial Pemerintah DKI Jakarta mencatat, bahwa di Jakarta sejumlah 8.158 telah menjadi anak jalanan. Bahkan secara keseluruhan, selama tahun 2005, Komnas Perlindungan Anak mencatat terjadinya 688 kasus kekerasan pada anak, 381 meliputi kekerasan fisik dan psikologis. Dan yang paling ironis adalah bahwa 80 persen pelaku kekerasan adalah ibu kandung korban

Sedangkan balita terlantar pada tahun 2005 tercatat ada 1.138.126 anak dan anak terlantar ada 3.308.642 orang. Diperkirakan pula setiap 1-2 menit terjadi kekerasan pada anak di Indonesia

Soal data ini mohon maaf bila dianggap kurang valid. Dari berbagai sumber yang konon kabarnya merujuk ke sumber yang sama yaitu Pusdatin Komisi Perlindungan Anak ternyata angka-angkanya berlainan dan semuanya merujuk ke data tahun 2005. Data tahun selanjutnya sampai saat ini saya belum menemukan. 

Yang lebih parah lagi, bila kita membuka website KPAI tidak ada data apapun yang bisa kita temukan disana. Setidaknya ini membuktikan bahwa kinerja KPAI masih perlu dipertanyakan. Padahal alokasi dana yang dikeluarkan pemerintah kepada KPAI cukup besar. Anggaran yang diperoleh KPAI dari APBN tahun 2006 sebanyak Rp 12 milyar dan tahun 2007 sebesar Rp 16 milyar.

Yang sedikit mengharukan adalah pernyataan dari Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Giwo Rubianto Wiyogo kepada wartawan, di Jakarta sebagaimana dimuat dalam SuaraKaryaOnline. "Penyelenggara perlindungan anak di Indonesia, termasuk pemerintah dan aparat penegak hukum belum memiliki respon yang tinggi terhadap perlindungan anak. Hal ini dimungkinkan sebab masalah perlindungan anak tidak mengandung unsur politis, sehingga tidak menjadi prioritas utama dari pemerintah. Perangkat perundang-undangan di Indonesia yang mengatur tentang perlindungan anak, sebetulnya sudah lebih maju dibandingkan dengan negara-negara lain. Tetapi sayangnya, KPAI yang ditunjuk resmi oleh pemerintah sebagai lembaga yang memantau pelaksanaan perlindungan anak di Indonesia, tidak memiliki legal standing.” 

Menurutnya, KPAI ibarat macan ompong. "Kita ini ibaratnya di kasih pistol, tapi tidak diberikan pelurunya.Sebab, kalau terjadi kekerasan terhadap anak, KPAI tidak bisa langsung mengambil anak yang menjadi korban kekerasan tersebut, karena kita tidak memiliki legal standing.

Selain KPAI, Depsos pun bernasib sama. Kendati sudah ada UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, masih banyak anak-anak Indonesia yang menjadi korban kekerasan akibat kurang adanya perlindungan dari Negara. Sangat disayangkan Depsos tidak mampu melakukan kegiatan pemberdayaan untuk anak-anak Indonesia

Padahal, dalam laporan Sekjen dan para Dirjen Depsos dalam rapat dengan pendapat (RDP) dengan Komisi VIII Depsos masih punya kelebihan anggaran, alias anggarannya nganggur. Depsos kurang giat. 

Menurut laporan dari Sekjen dan Dirjen masih ada dana sekitar 40% dari total anggaran Depsos. Oleh karena itu, Komisi VIII akan mengevaluasi kembali anggaran itu, kendati anggaran Depsos tergolong kecil dibanding dengan departemen atau instansi lainnya, yakni, Rp 2 triliun. Wuaaah….
 
Bila dikaji secara hukum, pelanggaran hak asasi manusi (HAM) terhadap anak telah terjadi. Hanya, apakah anak mengerti HAM? Jangankan menuntut, mengetahui arti HAM pun mungkin tidak. Apalagi mengenal UU No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak (PA) dan Konvensi Hak Anak (KHA). Anak selalu menjadi korban dari ego orang tua dan ketidakberdayaan negara.


Walau saya tidak menyukai acara infotainment, saya kadang mendengar teman bergosipria tentang selebritis anu yang begitu ribut memperebutkan anak. Bahkan sampai terjadi acara culik menculik anak. Padahal dalam Konvensi Hak Anak (KHA) yang diperkuat dengan UU PA, dikatakan agar anak mendapatkan haknya untuk tetap berhubungan dengan orang tuanya bila di-pisahkan dengan salah satu orang tua.

Di dalam UU Perkawinan, salah satu pasalnya menjelaskan, apabila terdapat perceraian antara suami - istri yang mempunyai anak berusia 5 tahun ke bawah, maka yang berhak menjadi wali asuh adalah ibu. Berbeda jika anak tersebut telah berusia diatas 5 tahun, hak asuh atas anak diputuskan oleh hakim

Dalam hal ini bisa dimungkinkan hakim mendapatkan pertimbangan-pertimbangan dari si anak untuk menentukan siapa yang berhak menjadi wali asuhnya. Yang terpenting, dalam memberikan putusan, hakim harus mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak. Meski telah diputus hak asuh atas anak namun tidak diperbolehkan memutuskan hubungan darah atas keduanya.

Tapi…
Mengapa masih banyak kasus salah satu orang tua membawa lari atau menyembunyikan anak dari orang tua yang lainnya. Bahkan anak diintimidasi secara fisik ataupun psikis untuk tidak berhubungan lagi dengan salah satu orang tuanya. 

Salah orang tua kah, atau salah pemerintah yang tidak mampu menyosialisasikan ketentuan itu..?
Hmmmm… pedih jendraaal….

25 comments:

  1. buah dari "kekeliruan" mengaji diri ... akhirnya hidup bukannya menjadi "rahmatan" bagi semesta dunia... yang ada "lakuning urip" membawa nestapa pada diri dan sekitarnya....

    perceraian terjadi karena masing-masing dari mereka "lupa diri" pada "sejatinya diri".

    ini salah satu cermin, hasil "pengakuan" beragamanya bangsa indonesia..... masih banyak cermin yang lainnya, yang menunjukan cermin hasil "ke-beragama-an" bangsa indonesia, seperti : korupsi.....

    BalasHapus
  2. Memang seharusnya begitu, kang. Kita seringkali sulit menjadikan segala yang kita miliki menjadi rahmatan lil 'alamin. Mungkin memang sudah kodratnya manusia tetap mengandung unsur binatang yang sering bergerak sekedar berdasar naluri tanpa pemikiran dan perasaan. Sehingga lupa pada apa yang disebut "ajining diri gumanthung saka lathi..."

    BalasHapus
  3. pengen ngomentarin KPAI tapi mesti panjang..jadi ngomentarin soal hak anak wae. Balik soal orang sering merasa sok paling ngerti dan faham. Termasuk orang tua ke anaknya. Bahkan anak tidak pernah ditanya apa keinginannya. Hak anak untuk tahu, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi sering dikebiri dengan alasan yang terbaik buat anak. Jadi buatku sendiri..menjadi orang tua memang berat ya hiks..hiks...jangan sewenang weang menjadi orangtua...mari...
    sorry win..komen nyong ga mutu..

    BalasHapus
  4. Ada yang mengherankan pada perayaan Hari Anak Nasional kemarin, dimana Sekjen Komisi Nasional Perlindungan anak (Komnas PA) Aris Merdeka Sirait berharap pemerintah lebih serius dalam upaya perlindungan pada anak-anak sebagai pihak yang sangat rentan terhadap kekerasan, fisik, seksual, yang sebagain besar berujung pada kematian.Padahal dengan dengan UU No 23 tahun 2003, pemerintah sudah mendelegasikan sesgala sesuatu yang berkaitan dengan perlindungan anak kepada KPAI. Kalau saja KPAI selama ini sudah punya progress yang jelas, wajar untuk menuntut itu. Nyatanya KPAI selama ini masih jalan di tempat.

    Sudah saatnya kita bergerak nyata dan tidak hanya diisi dengan jargon-jargon belaka, dan sidah saatnya pemerintah serius memberi perhatian dan upaya perlindungan pada anak-anak secara nyata.Berhentilah membuat jargon seperti 'saya anak Indonesia, mandiri dan kreatif', atau 'saya anak Indonesia selalu disiplin'. Bagaimana mau mandiri dan kreatif kalau anak seringkali menerima perlakuan kasar dan kekerasan dari orang orang terdekatnya?

    Ingat dua kasus pembunuhan pada anak-anak yang terjadi di Kelapa Gading dan Klender, Jakarta Timur baru-baru ini harus menjadi pelajaran berharga bahwa perlindungan anak jauh lebih penting daripada menyampaikan jargon-jargon tentang HAM.

    BalasHapus
  5. Bener kok nissa..
    Aku baru nemu lagi nih data mandan anyar,Menurut Komnas PA kejahatan dan kekerasan terhadap anak tahun 2006, dari total 1124 kasus yang masuk dari masyarakat ke Komnas PA, 60 persennya adalah kekerasan fisik dan seksual pada anak dan 35 kasus di antaranya anak meninggal akibat mengalami kekerasan.
    Yang lebih parah lagi data semester pertama 2007, telah masuk 1.137 kasus dengan 87 kasus di antaranya anak tewas akibat kekerasan.
    Mengutip kata-kata Ketua Yayasan Kita dan Buah Hati, Elly Risman, mengungkapkan selama bertahun-tahun lamanya pemerintah tidak menyinggung masalah kekerasan pada anak-anak dan pentingnya memberi perlindungan serta lingkungan yang nyaman pada mereka.
    "Ancama kekerasan, penculikan, dan pembunuhan pada anak sudah sangat genting tetapi pemerintah tidak berbuat apa-apa,"

    Payah memang. Gerakan pemerintah menurut saya terlalu banyak yang bersifat seremonial saja, langkah nyata bagaimana pemerintah memberikan perlindungan rasa aman dan nyaman pada anak-anak Indonesia teramat kurang.

    Cuma ada satu yang paling mengganjal buat saya, yaitu pelaku kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh ibu kandung tiap tahun selalu di atas 70%. Kata siapa hanya ibu tiri yang kejam...?

    BalasHapus
  6. Sebenarnya tidak begitu, kk. Secara psikologi seorang ibu memang lebih banyak waktu lebih dekat dengan anak daripada ayahnya. Ditambah beban ibu di masyarakat kita terutama golongan menengah ke bawah kan berat banget. Laki-laki mungkin enak, tinggal cari uang. Dapat banyak atau sedikit tinggal jawab wong rejekinya memang segitu...
    Tapi seorang ibu, k... Banyak atau sedikitnya uang yang diterima tetap keluarga harus makan. Dan di saat problem itu bertambah, tingkat stresnya juga meningkat dan butuh pelampiasan. Hanya saja kesalahan ibu kadang takut untuk menyalurkan emosi itu ke suami. Yang ada anaknya, jadilah salah sasaran. Apalagi kalo anaknya mendadak rewel..
    Gitu lho, kk..

    BalasHapus
  7. Mungkin menarik apa yang disampaikan Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Departemen Kedokteran Forensik dan Hukum Medis Prof dr Budi Sampurna, SpF, SH, dalam seminar Penanganan Multidisiplin Korban Kekerasan Pada Anak, di Gedung Depkes, Jakarta,(6/12/2003).

    "UU nya tanggung. Tidak ada kata-kata wajib lapor. Tidak ada lapor juga tidak ada sanksi,"

    Memang UU yang memuat hukum KTA ada 2. Pertama UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak dan UU 23/2004 tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT). Dipaparkan Budi, pasal yang menyerempet wajib lapor adalah pasal 78 UU Perlindungan Anak.

    "Setiap orang yang mengetahui dan sengaja membaiarkan anak dalam situasi darurat sebagaimana dalam pasal 60..Atau anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 59, padahal anak tersebutmemerlukan pertolongan, dipidana penjara paling lama 5 tahun dan atau denda paling banyak Rp 100 juta," bebernya.

    Sedangkan dalam UU KDRT terdapat pada pasal 15 yang mengatakan tiap orang yang mendengar melihat atau mengetahui terjadinya KDRT wajib melakukan upaya, seperti mencegah, memberikan perlindunga kepada korban dan pertolongan darurat, dan membantu proses pengajuan penetapan permohonan.

    Di negara lain jelas bunyinya. Pelapor tidak harus bersaksi dan memberikan kebenaran. Tidak ada hubungannya. Itu tugas penyidik. pelapor itu punya itikad baik yang dilindungi hukum.
    Kelemahan lainnya menurut saya, tak ada rincian siapa saja yang wajib melapor dan kemana melaporkan. Banyak kelemahan, terutama kewajiban para profesional untuk melapor tidak ditonjolkan. Profesional yang wajib lapor haruslah profesional yang dekat dengan dunia anak, seperti tenaga kesehatan, pendidik,agamawan, bahkan tukang foto kali ya...
    Kalau dia mencetak foto kasus kejahatan ya harus lapor.

    Sederet kewajiban pelapor yang dijabarkan ada 2 UU itu, membuat pelapor enggan melapor. Bingung kan lapornya ke mana. Lapor ke polisi nanti takut ditanya. Semua orang jadi takut lapor. Udah rahasia umum kalo masyarakat kita tuh paling tidak mau berurusan dengan polisi. Termasuk untuk masalah darurat. Liat kecelakaan di jalan mau nolong bingung. Takut dijadiin saksi. He he he...

    Kondisi seperti ini, sangat berbahaya, baik bagi masyarakat maupun kondisi psikis anak korban kekerasan. "Nanti ada dark number,seperti gunung es. Anaknya sendiri kasihan, dia akan tetap terkungkung dalam lingkungan penyiksanya

    Pedih memang melihat nasib anak-anak kita, nissa...

    BalasHapus
  8. Untuk itu rasanya memang perlu mengusulkan perbaikan UU dengan mencantumkan lebih rinci lagi mengenai mekanisme seperti yang kk sampaikan. Penanganan multidisiplin pun diperlukan. Malah seharusnya dibentuk pusat krisis nanti yang lebih berperan pemulihan psikososialnya. Karena itu lama disembuhkan. Kalau dokter tidak seberapa, karena luka fisiknya biasanya tidak berat, kecuali untuk beberapa kasus.

    Pemulihan psikososial itu, bisa dilakukan bekerja sama dengan pekerja sosial, agamawan, aparat hukum,serta psikolog maupun psikiater. Semua itu tergabung dalam suatu pusat krisis kekerasan anak, gratis. Dan harus ada hotline yang bisa dihubungi. Ingat, kk.. Apa yang terjadi pada masa kanak-kanak seringkali terbawa sampai anak menjadi dewasa karena sudah mengkristal dalam pikirannya trauma masa kecilnya itu.
    Emang sih kk, nissa berminat dengan masalah anak. ya sedikit banyaknya kerjaan nisa berhubungan dengan ibu dan anak juga. Ternyata masalah psikologi dan sosial harus banyak nissa pelajari, k.. Apalagi kultur masyarakat di pedalaman itu boleh dikataka gampang-gampang susah. Fanatismenya tinggi dan itu sulit sekali kita rubah. Perlu pendekatan yang benar-benar persuasif..

    BalasHapus
  9. Tapi nissa dah lama berarti dah bisa adaptasi kan..? Tapi sepertinya kalo didesa kekerasan terhadap anak masih relatif lebih kecil kan, ga seperti di kota. Soalnya belum pernah dengar ada anak jalanan di desa, he he he.. Apa ada kasus menonjol juga di tempat nissa tentang kekerasan anak..?

    BalasHapus
  10. Memang sih kasusnya beda dengan di kota, kk.. Tapi tetap perlu perhatian juga. Masalahnya di tempat nissa tugas tuh boleh dikatakan masyarakatnya sedang mengalami shock dengan teknologi. Semenjak listrik masuk dan kepala desanya ganti dari unsur pemuda proses dari gagap teknologi ke tanggap teknologinya terlalu cepat.
    Keinginan anak menjadi cerdas kadang melewati batasnya, k.. Memang Siapa sih orangtua yang tak ingin anaknya pandai. berbagai macam cara pun dilakukan. Tapi seharusnya jangan terlalu ekstrem karena bisa mengganggu tumbuh kembang sang anak. Anak 2 tahun sudah dipaksa untuk membaca. Orangtua pun hendaknya membiarkan anak pada usia ini bermain-main.
    Kalau anak normal, usia 3 - 5 tahun bisa menambah kemampuan baca.Saya memang kurang setuju dengan metode flash card pada anak-anak usia 2 tahun. Anak 2 tahun bukan disuruh baca tapi main yang disesuaikan dengan umurnya.
    Selain itu, kemampuan anak tidak bisa dipicu dengan menonton TV. Orangtua hendaknya natural aja. Apalagi kalau melihat acara-acara TV saat sekarang. Waaah.. payah banget kan...?

    BalasHapus
  11. Menonton televisi memang bisa menambah wawasan dan pengetahuan. Namun dampaknya sungguh berbeda bagi bayi bawah tiga tahun (batita).Dalam penelitian, anak di bawah 3 tahun melihat layar kaca rata-rata 2 jam sehari. Sedangkan anak 3-5 tahun rata-rata 3 jam sehari.Setelah berusia 6-7 tahun dilakukan penilaian kembali.

    Dari detikinet nih,
    "Menurut neurolog anak RSCM, Dr Hardiono D Pusponegoro SpA(K). Hasilnya pada anak di bawah 3 tahun menunjukkan penurunan kemampuan membaca, membaca komprehensif, dan penurunan membaca. Sedangkan pada anak 3-5 tahun memiliki kemampuan baca yang baik. Hal itu pernah disampaikan dalam media edukasi bertema "Modalitas visual dukung optimalisasi perkembangan kecerdasan anak" di Hotel Le Meridien, Sudirman, Jakarta, Rabu (28/11/2007)." Hardiono menjelaskan, perkembangan otak terkait dengan adanya sinaps. Sinaps ini butuh nutrisi dan stimulasi. Jika distimulasi, maka sinaps akan berkembang terus. Otak itu berkembang sampai 5 tahun. Tapi sekarang nggak seperti itu lagi. Sinaps berkembang hanya sampai 2 tahun,"

    Memang nissa stimulasi yang baik itu sosial yang interaktif, bermain yang eksploratif dan manipulatif, bermain mengutamakan kemampuan anak dalam memecahkan masalah, serta membaca buku.Dengan menonton televisi, otak kehilangankesempatan mendapat stimulasi dan berpartisipasi aktif dalam hubungan sosial dengan orang lain. Anak kurang mengesksplorasi dunia tiga dimensi dan kehilangan peluang mencapai tahapan perkembangan yang baik, walaupun tak selamanya televisi buruk bagi anak.

    Logikanya begini, anak sebetulnya butuh banyak bergerak. Anak di depan TV itu duduk diam,
    pasif karena nyaman. Sehingga kemampuan imajinasinya, fisik, kreativitas terhambat. Anak cenderung agresif, hiperaktif dan anti sosial. Karena anak menganggap nilai-nilai dari televisi ini. Anak cenderung meniru berbagai perilaku yang ada di TV,karena pada kondisi tertentu, anak tidak bisa membedakan mana yang realitas dan mana yang tontotan.

    Conto gampangnya lihat saja adi, nissa. Dia memang kurang begitu suka menonton TV. Tapi kan dari umur satu tahun tiap hari hanya komputer dan komputer yang jadi teman. Akhirnya sosialisasi dengan teman sebayanya jadi kurang. Untung saja sejak TK sekolahnya sampai sore. Jadi kesempatan main komputer jadi berkurang.Lumayan lah, sekarang sudah mulai bisa belajar bersosialisasi dengan teman-temannya walau pola pikirnya kadang tetap terbawa pola digital. He he he...

    BalasHapus
  12. Pernah baca tentang wanita yang telat menikah ada kecendrungan lebih gampang menyakiti..
    Meskipun sebagian orang muda bersikap masa bodoh terhadap perkawinan, tidak semua menyikapinya seperti itu. Entah karena nilai-nilai pribadi atau konformitas terhadap norma agama dan budaya, sebagian orang menjadi gelisah bila tenggat waktu yang ditargetkan untuk menikah belum kesampaian. Sesuai tugas perkembangan, biasanya kecemasan mulai muncul pada usia pertengahan dewasa awal (setelah 27 tahun).

    Kegelisahan karena terlambat menikah lebih banyak terjadi pada wanita. Hal ini terjadi karena dua kemungkinan:
    1) dorongan internal yang lebih kuat untuk hidup dalam harmoni bersama pasangan.
    2) pandangan masyarakat yang cenderung lebih negatif terhadap wanita yang dianggap telat menikah.

    Meski demikian, cukup banyak wanita yang harapannya untuk menikah belum terpenuhi, tidak membuat mereka rendah diri. Ini biasanya terjadi pada mereka yang sibuk dalam karier yang menyenangkan.

    Lain halnya bila perasaan negatif berkembang tanpa adanya hal-hal yang mendukung rasa percaya diri (seperti karier, teman, keluarga), dapat menimbulkan pandangan negatif terhadap diri sendiri: perasaan kurang cantik, kurang menarik, dan sebagainya. Selanjutnya konsep diri negatif mengurangi rasa percaya diri dalam interaksi sosial.

    Sebuah sumber menggambarkan wanita yang terlambat menikah bukan karena keinginannya sendiri, perasaan negatif terhadap diri sendiri akan mengurangi rasa percaya diri dalam bersosialisasi: menjadi serba kaku, malu, atau malah terlalu agresif.

    Lebih lanjut sumber tersebut menyatakan: ”...Akibatnya cenderung merugikan pihak lain karena seringkali mereka melakukan hal-hal seperti menyalahkan, mempermalukan, menyerang (secara verbal atau fisik), marah-marah, menuntut, mengancam, sarkasme, menyindir, ataupun sengaja menyebarkan gosip.”

    Hampir semua yang disebutkan di atas merupakan bentuk-bentuk perilaku agresi, yakni agresi fisik langsung (menyerang fisik), agresi fisik tidak langsung (mempermalukan), agresi verbal langsung (menyerang secara verbal atau menyakiti dengan kata-kata, termasuk sarkasme dan menyalahkan), agresi verbal tidak langsung (mengancam, menyebarkan gosip).

    Apa iya, ya..?

    BalasHapus
  13. Ya ya ya.. percaya deh.. Nissa dilawaaan...

    Tapi gini lho
    Gambaran mengenai kecenderungan agresif yang nissa maksud jelas tidak dimaksudkan untuk menggambarkan semua wanita yang terlambat menikah. Bahkan, kemungkinan perkembangan semacam itu tampaknya sangat kecil.Bila toh ada, itu pun perlu diteliti lebih lanjut, apakah kecenderungan agresif itu terbentuk karena keadaannya yang telat menikah ataukah justru sebaliknya, adanya kecenderungan agresif yang melekat sejak awal yang menyebabkan wanita itu menjadi sulit menemukan pasangan.

    Tampaknya kemungkinan kedua justru lebih masuk akal, bahwa kecenderungan agresif pada wanita yang terlambat menikah bukanlah akibat dari keadaan terlambat menikah, melainkah justru merupakan penyebab kesulitannya menemukan pasangan. Mengapa?

    Menemukan penjelasan bahwa telat menikah menyebabkan perilaku agresi, tidaklah mudah. Salah satu kemungkinannya adalah teori frustrasi-agresi, dengan asumsi bahwa terlambat menikah merupakan situasi frustrasi, sehingga menyebabkan perilaku agresi.Namun, dalam situasi sekarang kecil kemungkinan seseorang menjadi frustrasi akibat terlambat menikah karena banyaknya alternatif yang dapat dilakukan, dan keluarga maupun masyarakat tidak sekeras dulu pandangannya tentang ”perawan tua”. Selain itu, telah diketahui pula bahwa frustrasi tidak selalu menyebabkan agresi.

    Beberapa peneliti menyatakan agresivitas pada seseorang cenderung stabil (relatif tidak berubah). Mereka yang dikenal agresif pada masa kanak-kanak cenderung agresif pula pada masa remaja dan dewasa, kecuali bila terdapat intervensi yang meredakan agresivitas tersebut.

    Ini merupakan teori yang sesuai untuk menjelaskan bahwa kecenderungan agresi yang melekat sejak awal akan tetap melekat hingga dewasa, dan akibatnya pada wanita menjadi sulit menemukan pasangan. Jadi bukan karena terlambat menikah lalu agresif.

    Jadi logikanya dibalik gitu lho. Makanya saya heran. Nissa yang begitu lemah lembut kok sampai sekarang belum juga menikah..? Apakah punya prinsip pribadi, "kutunggu dudamu..?"
    He he he.. just kidding girl...

    BalasHapus
  14. He he he.. dasar kk masih saja belum berubah. Buat nissa sih sebenarnya siap siap saja jadi istri kk. Tapi kayaknya belum siap deh jadi seorang ibu dari anak secerdas adi. Bebannya berat, kk.. Takut ga keurus. Anak orang soalnya.. Lagian ibu tiri lebih kejam lho...

    Dah ah, ngeledek terus. Nisa pulang dulu ya. Dah malem nih. Kapan-kapan dilanjutkan lagi, k. Seneng deh bisa ngobrol lagi dengan kk. Tuh temen-temen udah muncul.

    Salam buat semuanya ya... dadaaah...
    Mmmmuach buat adi...

    BalasHapus
  15. heehehe..... tetep saja yang kadarnya sedikit dbilang matre, yang banyak kadarnya juga matre....
    cowok juga sama....
    intinya manusia begitu... silau dengan urusan dunia...(tidak laki2 ataupun perempuan)...

    padahal ada kenikmatan yang tidak bisa terukur dengan banyaknya materi pada sikap "sabar dan sukur"
    padahal ada kepuasan yang tak terhinggan pada sikap "ridho dan ikhlas atas ketentuan-Nya"...

    jadi buat yang pada belum nikah (baik cowok maupun cewek)...intinya..... perbaiki tauhid dulu.

    BalasHapus
  16. Lanjuuut lah...

    Bagian ini lho, kang yang paling nggegirisi...
    Ironis memang bila melihat pelaku kekerasan terhadap anak justru dilakukan oleh orang-orang terdekat anak. Hasil konsultasi anak di 18 provinsi dan nasional baru-baru ini mengungkapkan bahwa penganiayaan dan kekerasan terhadap anak dan perempuan justru dilakukan oleh orang-orang terdekat anak, baik di sekolah, rumah, institusi masyarakat dan negara. Keluarga sebagai sumber kasih sayang, tempat perlindungan, pendidikan dini, tak berfungsi sebagaimana mestinya.

    Upaya untuk mengentaskan nasib anak-anak memang sudah lama dibuat. Di tingkat dunia, telah digelar Konvensi Hak Anak Dewan Umum PBB pada 20 November 1989. Aktor di belakang konvensi ini tentu saja para pengemban sekularisme-liberal yang mengklaim sebagai pejuang hak anak. Sejalan dengan itu, pada 1990, perwakilan Indonesia turut menandatangani ratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) berisi pengaturan perlindungan anak. Dengan demikian, Indonesia mau tidak mau, berkewajiban melaksanakan kesepakatan-kesepakatan tindak lanjut dan memenuhi hak-hak anak sesuai butir-butir konvensi. Sebagai implementasinya, pemerintah kemudian mensahkan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU PA).

    Padahal, subtansi KHA versi PBB itu belum tentu cocok dengan situasi dan nilai-nilai masyarakat di Indonesia. Karena itu, kendati sekilas maksud dikeluarkannya UU PA ini tampak baik, kita perlu mengkritisi beberapa pasal yang justru berpeluang membahayakan bagi eksistensi anak.
    Dan bener apa yang ditulis kang rawins, KPAI seperti tidak ada gerakan sama sekali. Cuman mulut doang... Sing penting olih proyek.. dapet duit. Urusan anak, ada ortunya ikih...

    Mengutip dari Yayang Nissa
    Keinginan anak menjadi cerdas kadang melewati batasnya, k.. Memang Siapa sih orangtua yang tak ingin anaknya pandai. berbagai macam cara pun dilakukan.
    Ini juga sebenarnya termasuk dalam kategori kekerasan terhadap anak. Bagaimanapun anak punya tahapan-tahapan masa perkembangan otak. Pemaksaan terhadap kemampuan anak termasuk kekejaman yang seringkali tidak disadari oleh orang tua. Rumangsane bener bae men anake pinteeeer.. Kaya rika kuweh kang.. Anak dijejeli komputer bae...

    Yang paling menyakitkan hati dari ungkapaan Nissa adalah bagian ini, kang...
    Buat nissa sih sebenarnya siap siap saja jadi istri kk.. Duh jaaaaan...
    Rawin elek koh payu temen.. Tapi sayang nek temenan malah mlayu.. Kecing temen sih rika aring wong wadon, kang...?

    BalasHapus
  17. Sembarangan lah nek ngomong..
    Kembali ke laptop...

    Memang ada yang perlu dicermati dan diwaspadai, beg. Dalam pasal 1 UU PA disebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun. Standar apa yang digunakan hingga muncul angka 18 ini? Apakah penelitian ilmiah, nilai-nilai budaya, agama atau apa? Ini tidak dijelaskan dalam UU PA. Namun bila dirunut asal muasal munculnya UU PA yang merupakan hasil rativikasi KAH PBB, maka definisi ini bersumber pada nilai-nilai budaya sekularisme yang menafikkan agama sebagai pengatur kehidupan. Karena itu, definisi ini jelas absurd, bahkan sarat kepentingan.

    Hal ini bisa kita buktikan dengan mengkaitkan definisi tersebut dengan pasal-pasal lain dalam UU PA. Misalnya dengan Pasal 26 ayat 1c UU PA yang berbunyi “orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.” Artinya, orang tua berhak melarang anak yang belum berusia 18 tahun untuk menikah. Jadi, penetapan anak sebagai mereka yang berumur sebelum 18 tahun sangat terkait dengan larangan pernikahan usia dini. Dengan jargon menjaga kesehatan reproduksi remaja, mereka membuat pernyataan bahwa nikah dini membahayakan fisik dan kejiwaan anak-anak. Sebuah asumsi yang masih layak diperdebatkan.

    Padahal, pelarangan menikah pada usia anak seperti didefinisikan mereka, sejatinya justru mengebiri hak anak itu sendiri. Sebab, itu berarti tertutup peluang bagi mereka yang berusia kurang dari 18 tahun untuk menikah, walau dia sudah matang dan siap secara ekonomi, biologis dan pola pikir. Di sini telah terjadi pelanggaran atas hak seksual anak tersebut. Di sinilah letak kesalahan pendefinisian “anak” versi UU PA.

    Apalagi, seiring semaraknya produk-produk pornografi dan pornoaksi, kematangan biologis anak saat ini terpacu sangat cepat. Usia puber anak-anak saat ini jauh lebih maju dibanding zaman dahulu. Ketika darah mudanya bergejolak karena rangsangan luar tersebut, ia membutuhkan pemenuhan dan penyaluran. Lantas jika pernikahan dini dilarang, ke mana mereka akan menyalurkannya?

    Di situlah muncul persoalan. Anak-anak dan remaja akhirnya digiring menuju pintu seks bebas, karena pintu pernikahan tertutup bagi mereka. Tak ayal, seks di luar nikah, pencabulan dan pemerkosaan di kalangan orang di bawah usia 18 tahunpun merajalela dewasa ini. Ditambah lagi, sengaja atau tidak sinetron-sinetron di layar kaca yang bertema nikah muda selalu mencitrakan gambaran negatif. Seakan-akan menikah muda itu sangat buruk.

    Memang suatu kenyataan, kematangan biologi anak-anak masa sekarang kebanyakan tak diimbangi kematangan berpikir dan keberanian menentukan sikap hidup. Tetapi memberikan solusi pelarangan menikah di bawah usia 18 tahun, bukanlah solusi tepat. Alangkah lebih baik jika merancang program-program agar anak-anak dan remaja memiliki kematangan dalam berbagai hal secara benar dan bertanggung jawab. Anak-anak harus dipahamkan hak dan kewajibannya sejak dini sehingga segera memahami perannya kelak, baik sebagai seorang individu, ayah, ibu, anggota masyarakat dan negara. Di sinilah perlunya pondasi agama diperlukan.

    Termasuk dalam mendefinisikan “anak”, sangat jelas jika mengacu pada ajaran Islam. Mengapa Islam? Adalah kewajaran belaka jika nilai-nilai agama mayoritas penduduk Indonesia yang dijadikan sumber hukum. Dalam agama Islam definisi anak sangat jelas batasannya. Yakni manusia yang belum mencapai akil baligh (dewasa). Laki-laki disebut dewasa ditandai dengan mimpi basah, sedangkan perempuan dengan menstruasi. Jika tanda-tanda puber tersebut sudah tampak, berapapun usianya maka ia tidak bisa lagi dikategorikan “anak-anak” yang bebas dari pembebanan kewajiban. Justru sejak itulah anak-anak memulai kehidupannya sebagai pribadi yang memilkul tanggung jawab. Termasuk ketika ia telah matang dan memilih untuk menyalurkan kebutuhan bilogisnya dengan pernikahan, maka tidak boleh dilarang.

    Walaupun untuk kondisi saat ini, perempuan umur 15 tahun sudah mendapatkan menstruasi yang bisa dikatakan dewasa secara biologis. Tapi kenyataan lingkungan terutama di daerah perkotaan, kedewasaan biologis itu tidak diimbangi dengan pembinaan psikis oleh lingkungan yang bisa membuat anak itu dewasa yang sebenarnya. Jadinya kan rancu, beg. Pola pikir mental masih seperti anak-anak tapi perbuatan penginnya seperti orang dewasa. Hubungan suami istri di luar nikah mulai merebak di kalangan anak SMP bahkan. Apalagi dipicu budaya hidup konsumerisme yang kian meningkat dan kebobrokan mental kalangan borjuis kecil yang menganggap kenikmatan duniawi gampang diperoleh dengan segepok uang. DIvegah juga susah. Soalnya sudah seperti simbiosis mutualisma dimana perempuan kecil membutuhkan uang untuk memenuhi hasrat konsumerismenya sedangkan laki-laki bejat butuh pelampiasan hasrat di luar rumah. Lebih parah lagi seolah ada kebanggan bila mereka bisa mencicipi remaja usia sekolah sebanyak mungkin.

    Penyakit masyarakat yang kronis. Prostitusi terselubung semacam ini malah menurut saya lebih berbahaya, beg. Karena sulit untuk dideteksi apalagi dibina. Dan di sisi lain, generasi muda yang konon menjadi harapan bangsa tercoreng citranya. Sebuah program penghancuran budaya secara perlahan namun pasti oleh kaum kapitalis tadi ebeg sebut sebagai sebagai pengemban sekularisme liberal.

    Kacau ya, beg.. Kayaknya makin susah nih buat kita cari perempuan yang benar-benar belum terjamah...
    Hmmm...

    BalasHapus
  18. Walah... perempuan belum terjamah...
    Indah sekali kata-katamu kk....
    Ha ha ha...

    BalasHapus
  19. Laaah... bagaimanapun juga sebagai laki-laki normat pasti ada hasrat walau hanya sebersit thok. Mungkin sementara ini masih bisa mengerem dengan dasar moral atau anak. Biarpun rem tangan dan ganjel roda terpasang, tetap tidak akan mampu mengerem sapai 100%.Kebutuhan naluri harus tetap dipenuhi. Iya mbok, beg..? Jujur lah.. mumpung ora ana wong...

    BalasHapus
  20. Soal itu sih pasti, kang.. Sudah alhamdulillah kita dijadikan manusia normal. Masa harus merubah menjadi abnormal hanya karena keadaan yang sebenarnya bisa dihindari. Keinginan memiliki keluarga yang utuh dengan segala pernak pernik kehidupan keluarga tetap aku rindukan. Cuma beban anak apakah mampu menerima hasil resufle kabinet itu nantinya kadang jadi pikiran. Dan yang tak kalah pentingnya adalah trauma masa lalu yang sering membuat kita berpikir skeptis tentang jenis makhluk indah yang satu itu. Sementara ya.. biarlah begini.. Jalani saja seperti air mengalir walaupun terasa pedih, jendraaal...

    BalasHapus
  21. weh..telat maning...mau bengi lunga tapi lali nutup omah. Soal KPAI memang belum ada gregetnya menurutku. UU perlindungan anak subtansinya masih jauh banget dari KHA. Sampai sekarang upaya untuk merubah atau mengamandemen UUPA tersebut agar lebih maksimal didalam memberikan perlindungan anak, ga juga disuarakan. sebetulnya balik ke mandat negara dalam KHA ada pasal begini nih.. "Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang tepat untuk menjamin bahwa anak dilindungi dari semua bentuk diskriminasi atau hukuman atas dasar status, aktivitas, pendapat yang diutarakan atau kepercayaan orang tua anak, wali hukum anak atau anggota keluarga anak.". Masalahnya kemudian KPAI dianggap negara. Terlalu ambisius. Orang yang masuk di KPAI sangat kental nuanso politiknya. Sementara di negara kita politik dagang sapi itu sudah seperti mendarah daging. Lihat komnas HAM sebelum dan sesudah dipilih oleh DPR. Jauh banget bedanya. Sekarangnyaris ga bersuara. Sekedar formalitas saja keberadaannya.Nah emang negara memiliki kewajiban menjadi menjadi pelaksana pemenuhan hak-hak juga sebagai pengontrol pemenuhan hak-hak anak oleh keluarga dan masyarakat. Bagaimana jika negara yang lemah ? Jika negara lemah maka keluarga atau masyarakatlah yang mengingatkan penguasa negara. berbagai langkah advokasi yang dilakukan oleh berbagai elemen organisasi kemasyarakat, LSM, institusi pendidikan dan pihak lain yang peduli sebetulnya tengah bergerak kearah sana.

    Menurutku sembari ngoyak oyak negara, kita sebagai bagian dari masyarakat dalam peran apapun, memiliki tanggungjawab untuk melindungi anak anak. Jangan sampai kita membuat paradoks semangat Konvensi Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengidealkan "…anak hidup dalam lingkungan yang harmonis…".Sebagai orang tua kita ga berhak mencerabut masa bermain anak dengan mengharuskan ikut kegiatan sana sini yang membuat anak lelah atas nama masa depan. Sebagai orangtua dalam konteks diskusinya rawins diatas, mencabut hak anak untuk tetap memiliki hubungan baik dengan kedua orangtua tanpa kecuali. Ingat bekas suami atau istri ada tetapi bekas anak atau bekas orangtua tidak akan pernah terjadi. Sementara jika terjadi kekerasan pada anak, sebagai tetangga, teman keluarga atau siapaun yang menyaksikan itu wajib melaporkan. UUPKDRT mengatur itu kewajiban itu. Tetapi memang terbatas dalam lokus keluarga. Kita juga memiliki kewajiban menyebarluaskan informasi tentang hak anak ini kepada banyak orang karena diluar sana masih ada banyak orang yang memang terbatas akses informasi tentang hal hal ini.

    tetapi tetap harus diingat apa pun yang terjadi dengan masyarakat, tidak mengurangi kewajiban negara untuk mengupayakan pemenuhan prinsip-prinsip dasar hak anak, yaitu nondiskriminasi, yang terbaik untuk anak (the best interest of the child), kelangsungan hidup dan perkembangan anak, serta penghargaan terhadap pendapat anak

    BalasHapus
  22. Tapi gini lho, yu..
    Kadang saya bingung. Satu sisi KPAI gregetnya kurang, tapi di lain sisi kewenangan KPAI kadang menurut saya sedikit melewati batas. Memang Tim KPAI ini bertugas mengindentifikasi hal-hal yang dianggap sebagai bentuk tindakan diskriminasi, cakupan hak anak dan kekerasan terhadap anak. Hasil temuan KPAI juga sangat mempengaruhi keputusan pengadilan tentang pengalihan hak pengasuhan anak, terutama dalam kasus-kasus perceraian dan kasus yang dianggap diskriminasi anak. KPAI mempunyai berhak melakukan suatu tindakan yang dianggap tepat untuk melidungi psikologi jiwa dan fisik anak bahkan tanpa seizin orangtuanya. Seolah-olah indepedensi dan kinerja KPAI sebagai pengawal dan pengawas UU No: 23 tahun 2002 melampaui kewenangan dan hak orangtua terhadap anak mereka.

    Seperti kasus Rasya (anak mantan pacar saya - Tamara Blezinski). KPAI pada awalnya melakukan tindakan-tindakan yang akhirnya menentukan keputusan dan kesepakatan hak asuh anak kedua orangtuanya. Tapi pada kasus Rasya, KPAI telah melakukan terapi psikologis pada Rasya tanpa izin Tamara. Sedangkan pada saat itu sesuai kesepakatan ’jadwal’ Rasya bersama Tamara. Bukan maksud membela Tamara, sadar atau tidak, dengan kewenangannya, Komnas KPAI telah turut campur dalam urusan pribadi keluarga Tamara dan menelikung hak asuh Tamara sebagai seorang ibu. Padahal apa sih susahnya ngomong dulu ke Tamara, padahal yang ikut menentukan jadwal Rasya ikut siapa pun KPAI turut berperan.

    Apakah kalo sudah punya kewenangan atas nama undang-undang, KPAI berhak melanggar sebuah keputusan yang boleh dikatakan keputusan KPAI juga. Kecuali kalau kasus itu sudah menyangkut hal yang dianggap darurat bagi fisik atau psikis anak, boleh saja KPAI bergerak sendiri tanpa melibatkan orang tua.
    Nah, saya rasa ada beberapa pasal-pasal juga perlu dikritisi dan dicermati secara seksama sehingga jelas dan tak bias.

    BalasHapus
  23. Assalam Mualaikum Wr Wb,
    Permisi bapak2 /Ibu, cuma mau menambahkan sebuah cerita tentang kenyataan

    Alkisah di zaman yg edan ini sudah banyak terjadi banyak pria2

    baik2 atau biasa saja yg berpenghasilan biasa2 yg gagal mendapatkan hak asuh anak nya karena kalah dalam sistim hukum yg sekarang yg sedang berpihak kpd si istri dan mertuanya berlenggang lenggok dengan santainya tersenyum karena kasus nya menang katanya, dimenangkan oleh palu hukum yg kurang melihat sampai ke akar2 permasalahannya .....jika tidak percaya !!!...buktinya mana ada survey yg jelas
    dari pihak2 terkait mengenai masalah yg sebenarnya terjadi di masyarakat
    kearah ini padahal dalam kenyataan nya ternyata,...ck ck ck banyak terjadi sang istri
    yg mendapat hak asuh melalaikan kewajibannya mungkin ada yg frustrasi pasca
    perceraian yg di paksa atau entah karena masalah ekonomi keluarganya atau
    karena desakan orang tuanya yg matre dsb nya bla bla bla... yg menginginkan
    nya bercerai dan menikah lagi dengan pria lain lagi yg lebih baik dan mapan
    tentunya dalam tolak ukur kaca mata matre si ibu atau banyak juga si istri
    yg bekerja sebagai pramuria (salah satu contoh) pasca perceraian nya akhirnya ... setiap malam si ibu tidak pernah ada menemani tidurnya si anak, berdandan seronok, di mata
    si bocah, malah kadang kala pulang dalam keadaan mabuk berat dan yg lebih
    parahnya lagi sering bergonta ganti papah ironisnya si bocah aman katanya
    karena sudah ada neneknya yg menjaganya yg notabene sebenarnya adalah
    sekongkolannya.....yg mengetahui dengan sangat sepak terjang si ibu dalam
    mencari nafkah yg ironisnya lagi terpaksa katanya......demi susu si anak,
    Jadi apapun istilahnya tetap saja anak akhirnya yg menjadi korbannya juga atas ulah keputusan hukum yg demikian.....sehingga si bocah mndapatkan hak asuh yg demikian Ya Allah...Ampunilah kami semua!!!

    BalasHapus
  24. Itu memang sebuah kenyataan. Dan yang agak parah adalah ketika seorang ibu memaksakan diri "menyandera" anak agar punya alasan untuk meminta kepada bapak si anak. Kalo masih dalam batas kewajaran sih memang sudah keharusan. Tapi banyak kasus permintaan itu terlalu berlebihan untuk sekedar mencukupi kebutuhan anak.

    Apakah ini bukan merupakan eksploitasi anak untuk kepentingan salah satu pihak..?

    BalasHapus
  25. panjang panjang banget...males bacanya ah..beurat teuing ngelawaninnya.

    BalasHapus

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena