04 Januari 2008

Jilbab. Agama, Mode atau Budaya

Beberapa hari lalu saya jalan-jalan ke Pangandaran. Sambil melepas lelah sekaligus melepas kenangan saya duduk di taman pinggir pantai. Saat meletakan pantat di atas batu sempat kaget, ternyata dibalik semak-semak dekat saya saya duduk ada sepasang pelajar lengkap dengan atribut OSIS dan pernak-perniknya tampak asyik berdua-dua di pinggir pantai. Keduanya tampak tidak terganggu dengan kehadiran saya. Malah yang perempuan sempat tersenyum dan mengedipkan sebelah mata. Buset…

Entah sudah jenuh berduaan atau sudah lelah dengan aktivitas dan terlepaskan hajatnya, kedua anak manusia itu malah ngajak ngobrol. Saya layani saja ocehan mereka sekalian cuci mata. Soalnya yang perempuan oce juga sih. He he he…

Tak lama kemudian terdengar suara nada sms. Anak laki-lakinya membuka HP lalu beranjak pergi setelah berbisik-bisik dengan ceweknya. Eh, tau engga. Ceweknya ditinggalin disitu, “nitip sebentar mas..” katanya. Walah…

Saat berduaan itu saya bisa lebih leluasa ngobrol dengan makhluk indah itu. Ada beberapa obrolan iseng yang terus saya ingat. Kalo ga salah saya nanya gini.

“Apa ga malu mbak, pakai seragam sekolah, pakai jilbab lagi, kok pacaran di tempat umum seperti ini?”
Cewek itu malah tertawa. dan menukas, “formalitas, mas. Kan lagi mode..”
Sayang belum bertanya lebih jauh, cowoknya datang bersama beberapa orang temannya yang juga berpasang-pasangan lalu mengajak cewek itu pergi.

Setelah sendiri itu, saya jadi mikir…. Saya ingat tulisan teman saya Michael Gumelar  yang pernah mengatakan alasan pemakaian jilbab adalah sebagai berikut:

1.     Ingin seperti orang timur tengah
2.    Melakukan ritual keagamaan yang di sesuaikan dengan asal mula ajaran tersebut
3.    Karena "lebih cantik atau tampan" memakai jilbab, terutama bagi muka yang bulat dan kotak, hingga mukanya dimanipulasi tampak oval/ lonjong.
4.    Jilbab di "asumsikan" sebagai penutup aurat, apakah rambut di kepala itu aurat?
5.    Karena ikut-ikutan dan ga tahu maksudnya

Kalau saya sendiri masih menganggap jilbab itu penutup aurat bagi kaum muslimah dan sebagai bentuk ketakwaan seorang perempuan yang dikatakan seluruh tubuhnya adalah aurat kecuali telapak tangan dan wajah.

Tapi… dengan melihat kenyataan, terutama dari hasil obrolan dengan cewek yang tadi, saya jadi berpikir tentang adanya suatu pergeseran nilai dari sisi keagamaan ke sisi mode. Aurat hanya ditutup secara fisik, tapi perbaikan akhlak tidak ada sama sekali. Pelanggaran  akan hakekat pembatasan aurat bahkan dilakukan di depan umum. Malah muncul istilah jilbab gaul.

Jadi wacana keagamaan sudah mulai luntur disini, padahal menurut saya, itulah satu-satunya alasan penggunaan jilbab. Saya jadi merasa sependapat dengan dengan Mas Michael tentang manipulasi penampilan. Memang saya akui, wanita berjilbab wajahnya akan terlihat lebih sedap dipandang daripada waktu tidak mengenakan..

Adanya alasan penggunaan jilbab untuk menghindari perbuatan jahat laki-laki, saya malah bingung menanggapinya. Terus terang sebagai laki-laki saya tidak akan terangsang melihat rambut kepala yang tidak ditutupi. Tapi justru naik daun melihat wajah cantik berjilbab tapi bajunya ketat dan menonjol di sana sini.

Selain alasan mode, menurut saya ada sisi-sisi budaya yang melekat disitu. Kalau kita mau memperhatikan, jilbab bukan hanya berasal dari daerah Timur Tengah. Banyak orang di daerah gurun di Asia (gurun gobi), juga yang memakai jilbab. Budaya menggunakan pelindung muka, rambut, leher dan baju kurung sangat disukai didaerah gurun.

Mengapa? Sebab dengan busana semacam itu, orang akan lebih terlindung dari debu dan pasir serta panas matahari yang menyengat. Penggunanya pun bukan hanya perempuan saja, laki-laki pun mengenakan. Juga tidak hanya dipakai oleh orang Islam, tetapi hampir semua orang yang beragama apapun di daerah gurun pasir seperti itu. Kebiasaan berpakaian ini sudah menjadi sebuah warisan yang turun temurun, maka tak salah bila kita sebutkan itu sebagai sebuah budaya.

Coba perhatikan pula yang terjadi di negara kita. Boleh dikatakan adat sangat berpengaruh terhadap penggunaan jilbab. Kita mulai dari ujung barat, Aceh. Jilbab sudah menjadi pakaian wajib kaum wanita disana. Tapi apa jadinya, disana pelacurpun berjilbab. Semakin ke timur pemakainya makin berkurang,  bahkan kalau kita telusuri sampai ke Papua, jangankan berjilbab. Pakaian hanya sekedar untuk menutupi kemaluan saja. Tapi coba perhatikan, seringkah kita mendengar adanya kasus perkosaan di Papua?

Fenomena lain yang menarik adalah, ketika seorang peserta kontes musik berjilbab berhasil meraih juara walaupun hanya berdasarkan polling sms. Setelah itu bermunculan calon-calon artis yang mengenakan busana sama. Untuk apa? Bukan lagi alasan agama atau mode menurut saya. Tapi dalam rangka meraih simpati pemirsa dengan harapan sms dukungannya semakin banyak. Pembelokan akidah ke arah pencapaian ambisi keduniawian yang dalam hal ini adalah pupolaritas yang pada tahap berikutnya dapat dimanfaatkan untuk meraih finansial yang lebih banyak.

Jadi kalau memang kita menganggap diri sebagai manusia berperadaban tinggi, maka sudah seharusnya kita tidak lagi menggantungkan moral hanya pada tampilan luarnya saja. Tetapi pada apa yang ada di dalam benak dan fikirannya. Tidak perlulah kita membawa dalih agama kalau hanya untuk menutupi kebusukan hati.

Tutupi dan perbaiki hati, baru tutupi aurat fisik. Sepertinya itu yang penting menurut opini saya.

http://www.youtube.com/watch?v=Rt8jnJrQxso

0 comments:

Posting Komentar

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena