28 November 2009

Gambaran Hukum Indonesia

Di Gumelar, mencuri 3 biji kakao untuk bibit dihukum percobaan satu setengah bulan. Buat makan saja susah harus bolak-balik ke Purwokerto menghabiskan banyak biaya.

Di Kediri, mencuri satu semangka karena kehausan diancam hukuman 5 tahun penjara. Bonuse dua gigi patah dan babak belur bahkan diancam dengan senjata api padahal mereka tidak melawan.

Eh, di Jokja Polisi Polsek Umbulharjo ngambilin duren di rumah kosong sebelah galeriku tak laporin Reserse Poltabes, malah ngomel begini, "duren jik nom kok dipek. Sesuk wae nek wis tuwo..."

Di Madura, ada yang tertangkap basah berzina dengan istri orang ketika suaminya sedang kerja lembur. Tapi diintip dari jam satu malem, kok nggerebeknya nunggu jam enam pagi. Apa harus dibikin videonya dulu agar buktinya kuat..?

Di Sidareja lebih aneh lagi. Istri selingkuh kok yang dipanggil Polisi malah suaminya. Katanya karena mengancam selingkuhan istrinya...

Tanya kenapa...?

Ilustrasi Indonesian Corruption What..?
Karya Irawan Banuaji
Tujuh Bintang Art Space
Read More

Among-Among

Karena tidak pernah mengistimewakan yang namanya ulang tahun, aku tak punya rencana apa-apa hari ini. Bukan salah bunda mengandung, karena memang dari kecil cuma kenal among-among dan setelah itu tanggal kelahiran selalu lewat begitu saja.

Among-among sebenarnya bukan peringatan ulang tahun, karena dilakukan setiap selapan dina atau weton menurut hari pasaran, bukan kalender masehi. Acaranya cukup meriah walau cuma urab, krupuk, kedelai goreng dan telur rebus dibelah delapan yang ditaruh di atas tampah. Setelah berdoa bersama lalu makan bareng berebutan. Dan di bawah tampah biasanya ada rantang berisi air dan daun dadap. Mereka yang tengah berebut lalu diciprat-cipratin dengan air itu.

Setelah menginjak masa remaja, barulah acara ulang tahun akrab denganku. Cuma acaranya bukan lagi makan-makan urab, melainkan diguyur air. Terutama kalo pas kegiatan Pramuka atau PMR. Biasanya dikerjain dulu dengan berbagai masalah dan tahu-tahu byur....

Selepas sekolah, acara berganti lagi. Ulang tahun dirayakan dengan mendaki gunung bareng teman atau pacar. Tidak ada makan-makan, selain perenungan tentang perjalanan hidup setahun lewat dan harapan masa depan. Plus sun sayang dari sang pacar tentunya.

Setelah menikah, aku juga tidak membiasakan diri bikin acara rame-rame. Cukup berdua istri makan seadanya tapi sedikit istimewa. Tak perlulah buang-buang uang cuma untuk makan. Yang penting kan acara sesudah makan...

Begitu masuk dunia kerja, barulah aku akrab dengan acara makan makan setiap ada yang ulang tahun. Cuma kadang teman-teman tuh nyebelin juga. Siapa yang ulang tahun, siapa yang punya ide, kok tahu-tahu ada tagihan catering di mejaku. Hihihihi... gapapalah setahun sekali nyenengin karyawan.

Dan pagi ini yang sebenarnya aku mau diam-diam saja. Eh, tahu-tahu karyawan baris bawa kue. Seneng dan terharu juga sih mereka masih mau inget. Cuman, tagihannya kok sampai ke mejaku juga sih...?
Read More

Catatan Tahun Ini

Belum terlalu lama sebenarnya aku berjalan, tapi rasanya sudah panjang banget perjalanan ini. Dari jalanan mulus sampai tanjakan berbatu penuh debu sudah aku lewati.

Dari sekedar jadi karyawan sampai pengusaha sudah aku rasakan keindahannya. Kehancuran usaha sampai terusir dari rumah pun aku masih bisa menikmati. Hanya kesabaran dan rasa syukur serta harapan jagoanku yang membuatku mampu bertahan.

Namun ketika secara lahir aku mulai beranjak, justru di saat itu rasa syukurku kian menipis. Semakin lama semakin sulit untuk meyakinkan diri bahwa Tuhan masih berpihak kepadaku.

Ketika usahaku dihancurkan, aku masih ikhlas menjalani hidup sebagai menjadi gelandangan. Bahkan aku bersyukur dengan jalan itu aku bisa menemukan jalan hidup yang lebih baik. Ketika keluargaku dibuat berantakan, akupun tak mengeluh karena itu menjadi jalan aku mendapat pendamping hidup yang lebih baik.

Tapi ketika aku melihat jagoanku hidup terkekang dalam tekanan fisik dan mental oleh orang sakit jiwa di kejauhan sana, aku tak lagi mampu untuk menerima. Tak pernah bisa kulupakan rengekan dan keinginan atas kebebasannya ketika mencuri-curi nelpon atau sms

Bagaimana aku bisa menikmati makan malam yang lezat, ketika aku ingat jagoanku makan hati setiap waktu. Bagaimana aku bisa nyenyak tidur bila ingat jagoanku sakit hanya karena dibilang ayahnya sudah mati. Jagoanku bukanlah komoditi yang dipertahankan hanya untuk dijadikan alat dan sasaran kebenciannya kepadaku.

Mungkin tidak semestinya aku berpikir seperti ini di hari ini. Tapi inilah yang aku dapatkan ketika merenung melewati pergantian malam tadi.

Sudah tak ada lagi nasehat yang bisa merubah hatiku yang membatu hanya untuk berteriak kepada Yang katanya Maha Adil. Kenapa KeadilanNya tak pernah mampu menyentuh jeritan seorang anak kecil teraniaya.

Dan di akhir melek malam itu, aku cuma bisa berharap setahun kedepan aku bisa dapatkan kembali rasa syukurku atau persetan dengan surga dan nerakaNya...

Read More

26 November 2009

Ngempeng


"Jadi, mereka memang akan merasakan suatu kepuasan kalau ada rangsangan di mulutnya. Rangsangan ini akan terasa apabila ia mengisap-isap atau menggigit-gigit. Nah, inilah yang akan didapat bila ia mengempeng." Jadi, kepuasan yang dicari bayi memang merupakan fase oral dari tahapan perkembangan anak menurut teori terkenal yang disampaikan Sigmund Freud, tokoh psikoanalisa.

Itu salah satu kutipan yang aku temukan dalam acara googling hari ini dengan tema empeng mengempeng. Dua jam mencari, aku belum menemukan tinjauan medis tentang itu. Jadi kemungkinannya masalah ngempeng semata-mata memang faktor psikologis semata.

Ketika belum bisa banyak merasakan nikmatnya dunia, apa yang dirasakan di mulut ketika menyusu ibu mampu membuat bayi merasa tenang dan nyaman. Makanya banyak ibu-ibu yang menyapih anaknya dengan mengalihkan perhatian ke dot atau empeng puting karet. Dan parahnya, banyak anak yang sampai berusia beberapa tahun belum juga bisa melepaskan ketergantungan terhadap empengnya itu.

Tapi kalo aku melihat keponakanku, dia tak butuh dot atau empeng karet. Boneka kain dapet beli dari Bringharjo jadi andalan. Tanpa itu dia tidak bakal mau tidur. Untung saja bonekanya kecil, sehingga tidak merepotkan ketika diajak bepergian. Soalnya ada temanku yang anaknya baru bisa tidur kalo ngelonin boneka beruang yang gedenya sama dengan ibunya.

Ada yang rada aneh. Pernah boneka kucel dan bau itu dicuci bersih oleh neneknya. Eh, malah ngamuk dan rewel sepanjang hari. Pokoknya tidak bau kecut, no way!

Trus kalo ingat pengalaman pribadi, kayaknya aku waktu kecil tuh senengnya mainin rambut ibu. Kalo belum nguwel-uwel rambut, jangan harap bobo tenang. Dan kayaknya itu kebawa sampai aku gede. Soalnya jaman pacaran dulu pernah ada yang komplen. "Mas, kok nyiumin rambut melulu sih..?"

Ga pede rambutnya banyak kutu apa pengen dicium yang lain aku ga sempat nanya tuh. Untung waktu kecil ga suka ngempeng yang bau kecut...

Read More

25 November 2009

Media Menyuburkan Peramal


Berita media yang acak adut makin simpang siur dengan makin banyaknya ramalan-ramalan orang yang katanya bisa melihat masa depan. Menurutku ramalan itu hanyalah pengulangan-pengulangan berita yang dicomot sana-sini lalu dibumbui oleh media.

Media massa lah yang harus bertanggungjawab dengan makin suburnya acara tebak-tebakan ini. Apalagi ketika sudah sudah memakai embel-embel reg spasi, media makin gencar mempromosikannya.

Seperti ketika Adam Air jatuh di Sulawesi dulu. Media sibuk mengaitkan dengan ramalan seseorang dengan inisial ML yang mengatakan tahun ini akan ada pesawat jatuh. Lalu media disibukan dengan ramalan akan ada artis yang cerai atau mati. Tapi media meributkannya setelah ada kejadian tertentu lalu disambungkan kalo ML di awal tahun pernah bilang begini. Kalo yang meleset, media tak pernah mau menyentuhnya. Atau memang merasa kurang sensasinya memberitakan ramalan yang meleset.

Seperti ketika diramalkan sebelum februari 2007 diramalkan banyak orang panik karena bencana besar di Jl Thamrin Jakarta. Dan nyatanya ga ada apa-apa kan..? Kalo sudah begini, media dengan mudah mengatakan, peramal juga manusia. Takdir adanya di tangan Tuhan...

Kayaknya aku ga perlu ML kalo cuma untuk berkata begitu. Setahun itu ada 365 hari. Dan selama itu ada ribuan jadwal penerbangan. Wajar bila ada salah satu pesawat yang jatuh atau sekedar terpeleset. Artis juga ketahuan banyak yang hidupnya ga beres, aku bisa gampang memperkirakan dalam setahun akan ada yang cerai.

Kecuali berani bilang pada tanggal sekian jam sekian pesawat dari maskapai anu jatuh di anu, baru itu peramal jempolan. Karena sudah berani melanggar kode etik peramal yang tidak boleh memberi penjelasan detil.

Jadi aku pikir, aku sama saja dengan para peramal itu. Cuma bedanya aku masih malu untuk membual di media massa dengan tebak-tebakan ga mutu semacam itu. Daripada meramal di tipi, mendingan aku melamar anak tetangga.

Maaf buat yang percaya terhadap peramal...
Read More

24 November 2009

Hindari Kata Kiamat


Hiruk pikuk film 2012 ternyata belum habis juga. Cuma aku kadang bingung dengan pendapat-pendapat yang mengemuka. Sebelum ngomong, sebenarnya mereka itu sudah mencari banyak bahan bacaan atau cuma dengar sekilas trus ikut meramaikan suasana saja.

Kalo saja kita mau baca filmografi dari sutradara 2012 - Roland Emerich -, kita akan bisa melihat bahwa Emerich memang hobi menjual kehancuran dunia lewat film-filmnya. Lihat saja film sebelumnya seperti Independence Day atau Day After Tomorrow. Keduanya juga bertema sama dengan 2012, yang menceritakan upaya manusia mempertahankan spesiesnya dari kehancuran.

Bila yang dipermasalahkan adalah numpang angetnya Emerich pada isu kalender Maya, kenapa film lain semacam 2012 Doomsday dan 2012 Supernova tidak ikut dikecam? Dan menurutku itu bukan masalah mendasar. Wajar orang mencari moment tertentu untuk meningkatkan strategi pemasaran produknya. Seperti halnya sinetron-sinetron di tipi kita yang berubah jadi sok agamis ketika bulan puasa tiba, walau temanya tetap sama menyebalkan. Kenapa tidak turut dikecam..?

Bila dianggap menyinggung umat muslim, aku melihat Emerich cukup jeli hanya dengan menayangkan kaum muslim berdoa bersama di Kabah. Pada tayangan penghancuran, simbol-simbol Islam tidak tersentuh. Padahal simbol agama lain dengan ringan Emerich menggambarkan penghancuran Vatikan dll.

Sebagai muslim aku selalu dijejali dengan tanda-tanda kiamat yang dimulai dengan kedatangan Imam Mahdi, Dajjal dan turunnya Isa Al Masih. Dan definisi kiamat yang aku tahu adalah kehancuran alam semesta dan seisinya secara total. Untuk agama lain mungkin diawali dengan munculnya Antichrist dan Jesus. Itu tidak disentuh sama sekali dalam filmnya.

Coba lihat ending film tersebut, apakah semacam itu yang disebut dengan kiamat..? Menurutku bukan. Film itu hanya menggambarkan bencana global yang menghancurkan kehidupan manusia tanpa menghancurkan bumi dan alam raya. Bahkan masih memberi kesempatan kepada manusia untuk bertahan hidup dengan mengadopsi teknologi Noah Ark (bahtera Nuh).

Kehancuran yang digambarkan dalam film tersebut tak memerlukan pandangan secara teologi yang semitis. Karena kejadian itu sangat rasional bila melihat bibit-bibit penghancuran dunia yang sudah mulai kita tanam sekarang. Pemanasan global, pergeseran lempeng tektonik, tsunami, konspirasi perang dan sebagainya.

Jadi ada baiknya kita pisahkan film ini dari kata kiamat. Karena kiamat merupakan hak milik suatu umat yang tidak bisa diusik. Lebih baik digunakan kata bencana global, sampai kita bisa berpikir lebih rasional bahwa film tak lebih dari sekedar hiburan semata.
Read More

23 November 2009

Redaksi Kompas Dipanggil Polisi


Mengutip dari VIVAnews

Markas Besar Polri telah memanggil redaksi harian Kompas. Pemanggilan ini terkait pemberitaan Kompas soal pemutaran rekaman percakapan pengusaha Anggodo Widjojo dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK).

Ini sepertinya konspirasi baru lagi. Karena menurutku yang dipermasalahkan Polri sebenarnya adalah berita lama tentang teknologi 2G yang sudah udzur dan diganti 3G. Seperti kita ketahui, 2G terlalu lemot dan ketinggalan jaman.

Tidak terima dengan pembritaan itu, Polisi lalu memulai kebiasaan lama mencari-cari cara untuk menjerat sasaran. Dan pemberitaan kasus Anggodolah yang dijadikan alat.

Kenapa Pimpinan Polri tidak terima..?
Bagaimana bisa terima Duaji (2G) diganti TigaJi (3G), kalo dinonaktifkan sementara saja sudah mencak-mencak sambil menangis.

Hihihi, mbuhlah...

Read More

Masalah di Nokia E90


Salah satu yang aku suka dari Communicator adalah fasilitas phonebook yang tidak terbatas dan enak buat kirim sms massal. Misalkan aku ingin sms ke kolektor saja, tinggal ketik kolektor lalu tekan Ctrl-A, kirim. Misalkan mau ke seluruh nomor yang ada ya tinggal select all, lalu kirim. Ditunggu sambil duduk manis sms terkirim semua.

Itulah kenapa aku begitu setia dengan Nokia jadul 9300i. Ketika hape itu mulai error akibat keseringan dipake masang paku di tembok, si bos menyarankan aku ganti Nokia E90 yang katanya lebih canggih.

Lebih asik memang, sudah 3G dan lebih mudah mengelola email kalo pas lagi mobile. Baru ketahuan belangnya pas mau event kemarin. Mau kirim sms undangan, kok tidak bisa langsung select all. Harus diklik satu persatu kontaknya.

Tak coba instal PC suite. Bisa diblok semua kontaknya lalu kirim smsnya. Baru terkirim beberapa sms, kok trus muncul pesan failed. Habis itu ga ada yang terkirim, failed semua. Trus hapenya nge-hang dan musti direstart.

Setelah restart, semua sms yang failed numpuk di outbox. Dan itu tidak bisa dikirim atau dihapus semua sekaligus. Harus dikirim satu persatu. Akhirnya ya kerja bakti sambil ngomel tuh. Sekitar 2000an sms harus klak klik satu persatu.

Ada yang punya pengalaman ga dengan sms masal Nokia E90..? Atau ada remondasi communicator lain, Sony Ericsson Xperia misalnya..?

Read More

22 November 2009

Mabok Kentut


Event kali ini acaranya cukup padat. Selain pameran lukisan, ada acara fashion show batik khas wonosobo dan musik anak jalanan segala. Persiapan event yang benar-benar memeras keringat sampai ambune breng-brengan.

Menjelang event, bos yang sejak pagi mengeluh mumet mendadak dilarikan ke UGD Bethesda. Sebenarnya aku siap mengambil alih posisi karena materi semua sudah tak kuasai. Cuma aku lupa ga bawa baju ganti. Untuk pulang dulu waktu sudah ga mengijinkan.

Cukup bermodal semprotan pengharum ruangan, pede aja aku membuka acara dengan pak Syakieb, juragan Indosat. Aku masih bisa jaga jarak aman agar beliau tidak pingsan.

Tapi ketika acara ramah tamah ngopi bareng di teras belakang, masalah baru muncul. Aku yang anti pedas lumayan kalangkabut ketika makan lumpia kok didalamnya ada cabe rawitnya. Perut mules pengen kentut aku tahan sampai setengah jam lebih. Kondisi tak memungkinkan aku meninggalkan beliau-beliau ke toilet. Mau kentut sembunyi-sembunyi sepertinya ga etis didepan rekan bisnis. Apalagi disitu ada Sekda dan ketua DPR Wonosobo segala.

Begitu ada kesempatan aku ngacir ke WC dan kentut sepuas-puasnya. Lega rasanya. Cuman habis itu kok aku langsung gleyengan ga karuan. Moso mambu entute dhewe bisa mabok yah..?

Read More

21 November 2009

Ayang Mulai Nakal


Carilah nama yang indah dan memiliki makna yang bagus. Mungkin itu petuah untuk orang tua yang akan memberi nama anaknya. Tapi tak selamanya nama yang indah tidak menyulitkan orang lain di kemudian hari.

Seperti seorang temanku yang punya nama Ayang. Tak usah tanya report body nya seperti apa, karena ini hanya membahasa nama. Mungkin dulu orang tuanya berharap agar anaknya disayang oleh siapapun. Ketika temanku itu nelpon, aku ga pernah berpikir yang tidak-tidak.

Begitu selesai nelpon, malah bosku yang komentar. "Kamu dah mulai nakal yo, Ko..?"

Agak lama tak pikir baru aku ingat. Walau bosku tahu aku suka bersayang-sayang dengan istri di telpon, tapi kan gaya bahasanya ga sok Jokja walaupun aku selalu "basa" ke istri. Ini ngomong "bandhek" plus bolak-balik nyebut "yang..."

"Kok mulai nakal sih, emang namanya Ayang kok, bos..." begitu doang aku berkilah.

Semoga sih bosku tidak tahu kalo aku nakalnya sudah lama...

Ilustrasi Aiswarya Rai Bukan Caddy Golf
Karya Anton Hadiono
Tujuh Bintang Art Space
Read More

Polwan Mlumah


Ketika institusi polisi sedang jadi sorotan publik, razia kendaraan di jalanan mendadak menghilang. Biasanya hampir tiap hari aku menemui kemacetan buatan dengan dalih operasi rutin.

Sebagai gantinya, polisi menggelar operasi simpatik yang hanya menegur pengendara yang melanggar. Wajah-wajah yang biasanya sangar, berubah penuh senyuman manis ibu-ibu polwan. "Untuk keselamatan di jalan, lampu motornya dinyalakan, pak..."

Haduh, mendadak betah deket sama polisi neh. Cuma pertanyaannya, senyum ini tulus apa tidak, itu saja.

Mencari simpati masyarakat, oke oke saja. Tapi kalo cuma kamuflase dan tidak ada tindak lanjut, ya buat apa. Polisi dibentuk kan untuk menertibkan kehidupan rakyat. Kalo masyarakat tertib, tanpa diminta mereka akan simpati dengan sendirinya. Kalo polisinya sendiri sudah tidak tertib, apa ya bisa menertibkan masyarakat.

Aku malah kepikiran, polisi yang suka arogan itu tarik saja ke pasukan untuk dikirim ke daerah konflik. Yang melayani masyarakat, polwan-polwan bersenyum manis itu saja. Tapi apa malah hasilnya ga bakal kebalik ya, kita jadi senang melanggar biar bisa berlama-lama dengan mereka..?

Huuuh...
Pagi-pagi sudah mengkhayal yang mustahil. Cuma kayaknya asik tenan kalo bisa begitu. Kalo jalanan dipenuhi polwan, istilah polisi tidur kayaknya akan hilang dari ingatan kita. Diganti polwan mlumah kali...

Read More

20 November 2009

Hukum Indonesia Seharga 3 Biji Kakao


Membaca kompas cetak hari ini, tentang Minah yang harus dihukum percobaan satu bulan setengah hanya karena mencuri 3 buah kakao, mau tidak mau aku trenyuh juga.

Kasus ini menyeruak begitu saja di tengah gonjang-ganjing peradilan kita yang kelihatan sekali memihak kepada mereka yang punya duit. Bukan rahasia lagi, hukum kita bisa berhenti sejenak cuma dengan alasan tersangka sakit atau stres. Tapi kenapa untuk Minah tidak, padahal untuk ke kejaksaan atau pengadilan yang sekali jalan butuh biaya 50 ribu dia tidak punya uang.

Sebandingkah harga 3 biji kakao dengan ongkos Minah bolak-balik Gumelar di pucuk gunung ke Purwokerto tempat dia diadili..?

Bukan aku menghalalkan perbuatan Minah. Tapi apakah keadilan kita tak bisa melihat penyebab dari semua itu. Apakah kemiskinan Minah juga bukan kesalahan negara. Bila memang bersikukuh hukum harus ditegakkan, kenapa harus selalu rakyat kecil yang kasusnya cepat dituntaskan tanpa pandang bulu.

Apakah keadilan hukum kita memang cuma seharga 3 biji kakao..?

Gambar dari Kompas
Read More

19 November 2009

Rebutan Duren

Di sebelah galeri ada rumah kosong yang sebenarnya rumah dinas SMTI. Di halaman rumah itu mepet pagar ada pohon duren yang cukup besar yang sebagian dahannya masuk ke halaman galeri. Jadinya setiap musim duren begini, sebagian buah yang jatuh ke halaman galeri. Akibatnya setiap sore anak-anak tuh pindahan ke teras depan menunggu durian runtuh.

Sudah beberapa hari ini, di rumah kosong itu ada yang ikut nongkrong juga. Mungkin tukang kebun SMTI. Jadilah setiap ada yang jatuh orang itu ikut rebutan dengan karyawanku. Mungkin karena merasa lebih berhak, duren yang jatuh ke halaman galeri pun dia klaim.

Anak-anak ga kekurangan akal. Setiap sore mereka melemparkan batu besar ke halaman rumah kosong. Mendengar ada yang jatuh, pengklaim duren itu langsung celingukan. Kalo dia masuk rumah, dilemparin lagi batu ke halaman sampai bosen. Dan akhirnya pas duren jatuh, dia ga keluar. Dikiranya dikerjain anak-anak kali.

Sekali dua kali sukses menipu orang, akhirnya bocor juga. Dan kemarin durennya diikat pakai rafia agar tidak jatuh ketika ada angin gede. Merasa dicurangi, anak-anak komplen sampai hampir berantem.

Akhirnya aku damaikan begini. Duren yang jatuh ke halaman siapa, dia yang berhak ambil. Kalo memang yang jatuh ke halaman galeri tidak boleh diambil, tukang kebun itu harus menyapu daun-daun duren yang jatuh ke halamanku seumur hidup. AKhirnya beres deh masalah.

Eh, tadi malem. Rombongan polisi yang biasa nongkrong di galeri datang trus nanya, "jare mau do ribut, ono opo, pak..?"

Trus aku jelasin permasalahannya dan sudah selesai. Tapi itu malah jadi masalah baru. Mendengar duren udah mulai pada jatuh, kok malah nyuruh satpamku. "Dar, golekno gantar..."

Walah mubah...
Untung aku ga doyan duren...

Read More

Fatwa MUI Film 2012 Berlebihan


Hiruk pikuk MUI yang mengharamkan film 2012, menurutku terlalu berlebihan. Di jaman serba terbuka semacam ini, sudah bukan masanya menghalangi hak asasi warganegara merdeka sampai ke detil itu.

Jangankan cuma dengan fatwa yang gampang dilanggar. Ketika akses ke bioskop teramat susah dengan antrian yang panjang, aku masih bisa mendonlotnya dari internet, sehari setelah film dirilis.

Apa MUI tidak ada kerjaan lain, sampai film saja diurusin. Masalah umat saja masih carut marut dan banyak sisi yang belum tersentuh. Apalagi kalo melihat RUU tentang penodaan agama yang banyak kontroversi sampai membatasi penafsiran agama segala.

Tak perlulah kita lihat bahwa film itu cuma propaganda Holywood yang senada dengan film-film lainnya. Sudah masanya kita melihat film hanyalah sekedar hiburan dan tak lebih. Tema film Holywood teramat klise bukanlah rahasia lagi. Ketika sudah tidak ada lagi musuh yang dianggap berat di dunia untuk dikalahkan Amerika, mereka sudah membuat film dimana musuh dari luar bumi pun takluk. Kini mereka mencoba mempertontonkan kedahsyatan teknologi khayalan mereka melawan bencana alam global.

Terlalu berlebihan bila sebuah film dianggap dapat membelokkan akidah umat, bila nyatanya di lingkungan keagamaan pun sebenarnya sudah membawa kita mendekati kemusyrikan.

Sebagai contoh dilingkungan pesantren tradisional, seorang kyai sering dianggap segalanya oleh para santrinya melebihi batasan guru dan murid. Apapun yang disampaikan kyai, secara total dikatakan itu yang benar. Sampai-sampai ketika ada penafsiran yang sedikit berbeda, mereka akan memvonis salah. Padahal kitab suci tidak pernah dibuat detail dan perlu penafsiran. Dan yang namanya tafsir pasti bisa berbeda hasilnya tergantung latar belakangnya.

Kyai dianggap wakil Tuhan yang segala ucapannya benar. Padahal kyai juga manusia yang punya salah. Apalagi setelah kyai sekarang mau terjun ke dunia politik. Kebenaran agama seringkali ikut dipolitisir. Bila kepatuhan umat kepada ulama sudah seperti kepada Tuhan, tidakkah itu bisa dikatakan mendekati musyrik..?

Kembali ke soal MUI.
Tidakkah MUI pernah mensurvai, berapa persen kah efektifitas dari fatwa-fatwanya itu. Walau pemahaman agama tidak bisa 100% menggunakan logika. Tapi ketika manusia sekarang lebih menonjolkan logika, pendekatan keagamaan sudah masanya direformasi. Tidak mungkin pengajaran agama secara tradisional tetap efektif untuk anak muda masa kini.

Kalo memang MUI tidak menghendaki anak-anak sekarang menonton film itu, sepertinya fatwa haram merupakan langkah yang keliru. Mereka yang awalnya tidak tahu pun jadi penasaran dengan film ini setelah mendengar fatwa haram itu. Aku pikir kalo MUI mengadakan tabligh akbar dengan acara nonton bareng, kayaknya malah anak-anak muda tidak berminat nonton. Paling banter mereka akan berpikir, "paling kayak pilemnya Rhoma Irama, Nada dan Dakwah..."

Aku saja masih tetap muslim walau sudah beberapa kali nonton di komputer. Mau nonton di bioskop ga punya duit soalnya. Hehehehe...
Read More

18 November 2009

Belajar Dari Bawah

Hampir sebulan hidup di atas roda, ada satu pertanyaan dari salah seorang karyawanku, "kenapa sih harus ke lapangan sendiri, padahal karyawan lain ada..?"

Secara pribadi, saat ini aku ingin cape badan. Hampir setahun ini boleh dibilang aku hanya penat otak tanpa keringat. Akibatnya makan tak enak tidurpun tak nyenyak. Dari 68 kg badanku di awal tahun, saat ini tersisa 53 kg. Ini lumayan efektif membuatku bisa nyenyak tidur, walau dikomplen istri keseringan ditinggal keluar kota.

Secara efektifitas perusahaan, kondisi krisis akhir-akhir ini menuntut penghematan anggaran. Mendelegasikan ke karyawan paling tidak aku harus menugaskan sopir dan staf. Akomodasi harus aku siapkan untuk dua orang. Dan susahnya, walau sudah diberi wewenang untuk ambil keputusan, tetap saja yang berangkat menelpon aku lagi untuk meminta pendapat. Dengan berangkat sendiri, minimal tugas sopir dan negosiator bisa aku rangkap.

Bicara soal delegasi tugas, terasa banget begitu sulitnya mencari orang yang mampu berpikir cepat untuk mengambil keputusan dengan melihat batasan wewenangnya. Melatih orang untuk berani bertindak sekaligus bertanggungjawab ternyata bukan soal gampang.

Ada juga sih karyawan yang berani memutuskan sesuatu ketika menemukan masalah. Cuma kalo keputusan itu berubah menjadi "awu anget", gampang banget dia bilang, "ooo... ke pak eko aja deh..." Malah tambah rumit.

Aku sendiri mencoba belajar dari Pak Sapto, direkturku di Jakarta. Beliau selalu bilang, "aku bos kalo lagi meeting. Begitu kerja, aku sama dengan kalian.."

Ketika bos komplen aku ke Jakarta nyupir sendiri kemarin, aku cuma bisa jawab, "dengan merasakan cape, aku bisa lebih mencintai pekerjaanku daripada ketika aku duduk di belakang meja."

Minimal aku belajar menjadi bos dimulai dari posisiku saat ini. Bosku saja mau kok tak bonceng motor kalo mobil keluar semua. Lha, cuma kelasnya penerima telepon tak suruh ke Taman Budaya malah jawabnya, "masa naik pick up. Tar ya, mas. Nunggu inovane balik..."

Semoga aku mampu belajar memahami bahwa pemimpin yang baik bukan yang bisa duduk di atas, tapi yang mau merayap di bawah juga. Sekali-kali main di bawah asik juga loh...

Ilustrasi Mencoba Bertahan
Karya Katirin
Tujuh Bintang Art Space
Read More

Carut Marut PLN


Ketika hidup sudah begitu tergantung kepada listrik, pemadaman yang begitu sering terasa sekali mengganggu. Apalagi untuk yang hidup di kota. Listrik mati berarti tidak mandi dan tidak bisa tidur tanpa pengatur udara.

Tapi bila aku melihat ke apa yang aku rasakan sekitar tahun 95an, dimana aku bergabung menjadi petugas lapangan dinas gangguan PLN di Majenang, aku tak mampu berceloteh banyak.

Gaji minim tanpa perlindungan asuransi sementara wilayah yang ditangani terlalu luas. Apalagi ketika musim hujan tiba, jumlah gangguan meningkat beberapa kali lipat. Walau ada pembagian shift, tapi dalam kondisi semacam itu aku hanya bisa pulang untuk ganti baju lalu kembali ke lapangan.

Tengah malam ketika hujan turun deras, petir bersahut-sahutan, ketika kebanyakan dari kita terlelap dalam pelukan mimpi, aku masih saja harus bergelayutan di atas ketinggian. Bukan ucapan terima kasih yang aku dapatkan ketika bekerja melampaui batas lelah. Paling banyak adalah caci maki sebagai kata penyambut.

Padahal kalo aku bicara tentang data, lebih dari 80% gangguan berasal dari kesalahan masyarakat juga. Instalasi dalam rumah yang acak adul tanpa standar keselamatan yang paling banyak. Sebagian masyarakat kita sok tahu dan lebih suka memasang sambungan sendiri, namun ketika terjadi kerusakan, aku yang dibikin pusing.

Pepohonan apalagi tanaman buah atau hias, mereka akan mencak-mencak ketika dahan-dahan yang mendekati kabel listrik kupotong. Tapi dengan ketika ada dahan menyenggol kabel dan listrik padam, aku juga yang dihujat.

Yang lebih parah adalah kasus pencurian listrik. Bagaimana aku tidak bingung ketika melihat data, kapasitas trafo itu masih dibawah batas maksimal. Tapi ternyata meledak kelebihan beban. Dan yang lebih menyedihkan, pelaku pencurian itu kebanyakan rumah tangga kelas menengah ke atas dan industri. Mereka mampu bayar, tapi kenapa harus mengorbankan fasilitas umum dan masyarakat kecil yang takut untuk mencuri atau menunggak pembayaran.

Demi kepuasan pelanggan, aku ikut tim PDKB (Pekerjaan dalam keadaan bertegangan). Aku menangani gangguan tanpa memadamkan listrik. Tidak terpikirkankah oleh masyarakat, bagaimana rasanya bekerja hanya berjarak kurang dari setengah meter dengan kabel bertegangan 20 ribu volt. Sampai-sampai seorang temanku harus aku turunkan dari atas tiang dalam keadaan tubuh gosong tak bernyawa di daerah Lumbir dulu. Dan berita acara dari kantor tertulis "human error..." Tak terpikirkankah oleh pimpinanku, kelelahan selama sebulan penuh bekerja hampir 24 jam bisa mengurangi konsentrasi kerja..?

Aku tak ingin terlalu jauh melihat ke sisi manajemen yang diluar jangkauanku. Aku cuma ingin bercerita tentang suka duka menjadi petugas lapangan di garis depan.

Dan menurutku, sampai kapanpun PLN akan tetap bermasalah selama pola pikir sebagian dari kita belum juga berubah. Demo mahasiswa atau penggalangan masa pesbuk untuk pemadaman tidak akan menyelesaikan masalah. Karena sebagian besar masalah ada dalam diri kita masing-masing.
 
Read More

12 November 2009

Koruptor Kebanyakan Laki-laki

"Kenapa koruptor kebanyakan laki-laki, mas..? Perempuan kayaknya ga ada deh."

Itu sarapan pagi di kantor dari si bawel di depanku. Masih sibuk ngurus email masuk aku jawab sekenanya, "karena praktek keadilan di negara kita hanya menjangkau aktornya saja. Sutradara dan penyumbang ide tidak terjangkau.

Lho, kok malah pertanyaannya jadi panjang. "Maksutloh..???"

Sudah kenyataan di negeri ini, apabila terjadi kasus misalkan polisi menembak mahasiswa yang demo, pengusutan cuma dibatasi di level siapa pelakunya. Tapi siapa yang memerintah tidak tersentuh. Padahal sepengetahuanku sebagai masyarakat awam, sistem komando di militer tidak mengenal tindakan tanpa perintah.

"Kok jadi militer sih..? Soal koruptor laki-laki, mas..."

Kayaknya sama deh. Kayaknya hanya sedikit laki-laki yang bercita-cita sebagai koruptor. Kebanyakan berniat bersih cari nafkah untuk keluarga. Tapi ketika tuntutan dari istri mulai bertambah sedangkan gaji masih tetap segitu-gitunya, mulailah peluang dicari-cari. Dan yang kelihatan di masyarakat tetap aktornya, bukan penyebab kenapa memainkan lakon itu.

"Tapi kan tidak semua istri perongrong, mas.."

Banyak koruptor yang istrinya baik-baik saja. Tapi karena rongrongan istri lain yang mungkin tidak dipublikasikan, cari-cari tambahan penghasilan jadi dilakukan. Gaji resmi buat istri resmi, yang remang-remang buat yang ga jelas.

"Berarti bukan istri penyebabnya dong. Kalo yang belum punya istri..?"

Pertanyaannya saja mempertanyakan koruptor laki-laki dan perempuan. Bukan koruptor suami atau istri. Yang belum beristri, siapa yang menjamin penyumbang ide korupsinya itu bukan cewek..? Baik langsung maupun tidak langsung. Pengen dapat cewek yang casingnya oke kan butuh modal besar. Dalam hal apa sih dalam hidup laki-laki yang bisa lepas dari sentuhan perempuan..?

"Kalo ga punya istri, ke cewek juga ga suka kok masih korupsi, gimana mas..?"

Waaaah itu berarti kelainan jiwa. Sama dengan tentara menembak tanpa perintah. Terinspirasi untuk korupsi karena PD kali. Alias Penggemar Dubur..

Mbuh ah....
Tak kerjo sek, nduk...
Tar malah dicap penjahat gender neh...

Ilustrasi Cecak Nguntal Cagak
Karya Katirin
Tujuh Bintang Art Space
Read More

11 November 2009

Pembalap Malam

Entah beberapa kali, setiap aku pulang kantor, dari mulai ringroad utara Gejayan sampai Maguwo, ada motor mio putih yang menyalip kencang. Kalo saja pengendaranya bertampang preman, mungkin aku ga begitu tertarik. Dari posturnya yang mungil, aku bisa menerka ini cewek neh.

Menerobos lalu lintas padat dengan kecepatan di atas 100 kilometer per jam butuh kelincahan tersendiri. Aku saja kerepotan mengejar ketika rasa penasaran mulai menghantui pikiran. Motorku yang kegedean sulit untuk selip kanan kiri seperti motor mungil itu. Dan sampai saat ini, kemana menghilangnya tetap belum terlacak.

Dasar mulut ember, soal seperti itu pun aku ceritakan ke istri. Eh, malah tanggapannya negatif. "Hayooo, mulai nguber-nguber cewek di jalanan ya. Pantesan pulangnya jam 9 malem terus..."

Maksudku bukan begitu, say... Cuma penasaran aja, kok lincah banget tuh cewek. Lagian sering banget ngepasin aku pulang kantor. Ga ada maksud lain kok...

Komentar istriku selanjutnya begini, "awalnya penasaran ada temen balap. Lama-lama minta kenalan dan nomer hape..."

Huuu...
Malah jadi panjang neh...

Tapi semoga istriku ga tahu kalo cewek itu malah sudah minta hape...
Ga cuma nomornya doang...
Read More

Temanku Seniman Hongaria

Namanya Eszter Tari. Seniman Hongaria yang hampir satu tahun ini belajar di ISI Yogyakarta. Orangnya cukup ramah dan cepat akrab, apalagi ketika bicara tentang seni lukis.

Sebulan lalu dia datang ke galeri dan berpamitan mau pulang ke negaranya. Aku sempat heran, karena sebelumnya pernah dengar kalo beasiswanya itu dua tahun. Dan ternyata dia tak sudah cape dengan rongrongan aparat imigrasi Indonesia yang tiada habisnya.

Dan terakhir itu dia diminta untuk bayar sebanyak 20 juta rupiah, karena "katanya" dia mengadakan penelitian di Indonesia. Surat keterangan dari kedutaan Hongaria, atase kebudayaan dan rektor ISI tak ada gunanya. Padahal semua menyatakan kalo Eszter itu di Jogja murni untuk belajar seni lukis. Tidak ada urusan bisnis atau komersial apapun.

Masih mangkel dengan kejadian itu, seminggu yang lalu Eszter nongol lagi di galeri. Walau gembira, tetap saja aku tambah dongkol dengan aparat kita. Dulu ngotot minta 20 juta atau deportasi. Tapi begitu sudah mau pulang ke negaranya, kok malah ditawari, "5 juta saja gapapa deh Miss..."

Kapan seni kita maju kalo masih saja kejadiannya seperti itu. Warganegara asing saja mau peduli dengan seni kita, kenapa malah dikomersialkan. Apakah kepedulian pemerintah ke bidang seni hanya sebatas batik saja..?
Ini negara apa sih..?
Read More

10 November 2009

Temanku Brigadir Polisi

Ketika Polisi sedang jadi bahan gunjingan di mana-mana, aku sempatkan ngobrol dengan temanku, seorang brigadir polisi.

Memulai karir dari titik terendah. Menjadi bemper kesatuan di lapangan. Meninggalkan anak istri sampai ke Ambon. Di Aceh mendapat oleh-oleh pelor GAM di leher belakangnya sampai dia susah menengok sekarang. Kembali ke Jokja mendapatkan anak sulungnya tiada menjadi korban gempa beberapa tahun lalu.

Dan semua pengabdiannya itu tak pernah dihargai selain ucapan terima kasih dan selembar piagam ketika apel penerimaan pasukan. Tidak ada bonus atau jasa produksi apalagi kenaikan pangkat. Yang ada malah pertanyaan mau bayar berapa biar bisa lolos masuk pendidikan bintara.

Penempatan di kesatuan pun semua berbau uang. Mau lahan basah, harus berani sebutkan nilai kontraknya dengan pimpinan. Karena ternyata untuk sekedar menjadi Kapolsek pun harus dibeli dengan uang. Ketika ketidak adilan ini dipertanyakan, temanku malah dikucilkan. Sampai akhirnya terjadi adu jotos di Polsek karena pimpinannya hanya ngerti uang dan uang saja.

Menurut temanku, lebih baik mengurusi kasus pembunuhan di depan rumahnya daripada laporan kehilangan sepeda tapi pelakunya kabur keluar kota. Untuk mengejar pelaku kejahatan, dana yang ada hanya angkanya saja yang diterima dan wajib ditandatangani. Operasional di lapangan, dana harus cari sendiri. Itupun masih dipotong setoran ke pimpinan.

Makanya tak usah berharap pelacuran, perjudian dan perdagangan minuman keras bisa dilenyapkan dari negeri tercinta. Karena iuran dari mereka lah yang mendanai operasional polisi. Jangan tanya pula kenapa sandiwara selalu ada. Karena kejaksaan dan pengadilan pun berbuat sama. Untuk apa beridealis buang tenaga waktu dan dana tanpa mengkomersialkan kasus, bila kerja keras menangkap penjahat cuma memperkaya jaksa, hakim atau pengacara.

Masyarakat menuntut polisi bersih, hanya kalo mereka sedang tidak bermasalah. Ketika kena kasus segala cara dilakukan agar polisi mau berdamai. Gaji pas-pasan, tuntutan setoran pimpinan, mental fisik kelelahan terlalu banyak kasus, sangat manusiawi bila kemudian mencari jalan pintas. Kasus selesai, bisa segera istirahat, dapat tambahan penghasilan sekaligus memberangus rongrongan pimpinan.

"Aku juga manusia biasa, mas..."
Begitu pembenaran akhirnya.
Kalo semua merasa benar, lalu siapa yang salah..?


Ilustrasi Timbangan Dosa
Karya Bambang Darto
Tujuh Bintang Art Space
Read More

09 November 2009

Bangsa Yang Ramah

Cap sebagai bangsa yang ramah tamah kadang tak begitu terasa karena kita memang sudah ada di dalamnya. Apalagi ketika budaya autis merebak seperti sekarang ini. Manusia-manusia di sekitar kita sudah jarang bertutursapa karena lebih asyik ngurus komen status pesbuk di hapenya.

Tapi ketika kita jalan bareng dengan tamu dari luar negeri, cap itu kembali terasa. Beberapa kali aku menjadi guide merangkap sopir mendapat komentar tentang ramahnya bangsa ini yang jarang ada di negara mereka. Masuk pom bensin, petugasnya masih mau menyapa berbasa-basi nanya darimana mau kemana. Masuk warteg, pelayannya ga cuma nanya menu. Tapi masih sempat nanya kabar segala.

Diam-diam aku bersyukur juga menyadari kalo keramahan itu masih ada. Selama ini saling sapa semacam itu memang tak pernah aku pikir sebagai aset budaya bangsa kita. Kadang kita harus melihat dari sudut yang lain baru kita bisa merasakan.

Walau kadang aku gondok juga dengan ramah tamah semacam itu. Seperti sore kemarin pas beli buah bareng istri, pelayannya ramah banget menyapa, "Ceweknya dah ganti lagi ya, mas...?"

!@$##%^$^&&%^#@&*^&*&(*.....

Ilustrasi Senyum Ramah Van Java
Karya Nurkholis
Tujuh Bintang Art Space
Read More

Cogito Ergo Sum

Mengamati lukisan Bambang Darto berjudul "Bambang Socrates" dalam Pameran Jejak-Jejak Mitos di Tujuh Bintang Art Space Yogyakarta, aku jadi ingat kata-kata Descartes -filsuf Prancis- : Cogito Ergo Sum. Yang artinya kira-kira "aku berpikir maka aku ada".

Jika Descartes ingin mencari kebenaran, tindakan pertamanya adalah meragukan semua hal. Ia meragukan keberadaan benda-benda di sekelilingnya. Ia bahkan meragukan keberadaan dirinya sendiri. Dia berpikir bahwa dengan cara meragukan semua hal termasuk dirinya sendiri tersebut, dia telah membersihkan dirinya dari segala prasangka yang mungkin menuntunnya ke jalan yang salah. Ia takut ada kekuatan tertentu yang lebih besar dari dirinya yang mengontrol pikirannya dan selalu mengarahkan pikirannya ke jalan yang salah.

Kembali ke soal lukisan.
Lukisan karya Jacques-Louis David (1787) yang berjudul The Death of Socrates menceritakan tegarnya Socrates ketika menjalani hukuman minum racun cemara pada usia 70 tahun. Caranya berfilsafat inilah yang memunculkan rasa sakit hati terhadap Socrates karena kritik-kritiknya yang menelanjangi pihak-pihak yang terkait di Athena. Pengadilan memvonisnya dengan tuduhan resmi merusak pikiran generasi muda, hasil voting 280 mendukung hukuman mati dan 220 menolaknya.

Di tangan Bambang Darto, lukisan "kematian" itu dipertanyakan secara kritis. Racun di tangan Socrates diganti dengan secawan minuman ringan yang begitu menguasai dunia : Coca Cola.

Bambang Darto mengajak kita berpikir secara kritis menyikapi gurita kekuasaan yang seringkali mendapat intervensi multinasional yang begitu menguasai. Yang dalam banyak hal sudah menjadi semacam racun bagi negeri ini tanpa kita sadari.

Bagi pejuang demokrasi semacam Socrates, pilihan hidup tetaplah ada. Terus menerus menapaki jalanan panas sampai peluru aparat memisahkan nyawa dari raga. Atau menjadi jinak mendukung kekuasaan bobrok melupakan kalau dulu pernah beradu kepal di jalanan, dengan jalan menjadi anggota DPR, Komisi III terutama.

Mprettt lah...


Read More

05 November 2009

Polisi Memang Brengsek

Bicara soal bobroknya polisi, aku ingat beberapa waktu lalu. Menggunakan mobil rental dari Jokja aku meluncur ke arah Bandung. Di daerah Lumbir masuk wilayah Kabupaten Banyumas ada razia polisi.

Adalah kesalahanku setiap menggunakan mobil rental hanya mengecek kondisi fisik. Dan ternyata mobil yang aku gunakan pajaknya telat, tapi STNK masih berlaku. Karena membawa penumpang dan lokasi razia di tengah hutan yang tidak memungkinkan aku mencari kendaraan pengganti, aku menyerah ketika polisi minta uang 450 ribu atau kendaraan disita.

Karena aku pikir itu kesalahan pihak rental, makanya aku minta tanda terima untuk aku klaim ke pemilik mobil. Permintaanku ditolak mentah-mentah dengan jawaban seperti ini : "Polisi tidak berhak mengeluarkan kuitansi untuk pembayaran tilang di tempat."

Aku bilang tidak usah kuitansi, cukup oret-oretan di kertas bahwa aku membayar 450 ribu dan tidak untuk maksud lain selain klaim uang pengganti ke rental. Jawabannya malah semakin keras setengah membentak. "Dengar tidak, pak. Sesuai undang-undang, Polisi tidak bisa mengeluarkan tanda bukti apapun. Kalo butuh kuitansi silakan bayar di pengadilan dan cepat keluar dari mobil."

Aku sudah sadar dengan kesalahanku dan siap membayar denda. Tapi kenapa Polisi tidak mau jawab peraturan mana yang melarang polisi mengeluarkan tanda bukti penerimaan uang di lapangan. Malah aku disuruh cepat pergi karena antrian yang mau ditilang sudah panjang.

Ada yang bisa kasih penjelasan tentang aturan ini...???


Ya sudahlah, semoga uangnya bermanfaat buat gerombolan keparat negara itu.
Hajindull...

Ilustrasi Chaos ID
Karya Darus Machiano
Tujuh Bintang Art Space
Read More

01 November 2009

Melupakan Selera Asal

Seorang teman yang selalu mengeluh sebagai penganut jombloisme kemarin kirim pesan, nonton take him out tar sore di tipi yah... Ternyata dia ikutan dan hasilnya entah. Ga sempat nonton, males liat tipi juga.

Melihat perjalanan hidup teman yang satu itu, aku sedikit heran juga. Walau banyak manusia diciptakan keras kepala, tapi terlalu "keukeuh" dengan selera asal yo ga enak juga. Apa ya ada manusia yang tercipta sempurna sesuai keinginan kita.

Aku dulu juga punya keinginan yang muluk-muluk untuk urusan jodoh. Tapi kenyataannya urusan casing seringkali berbeda dengan kandungan pulsanya. Sampai akhirnya aku menyerah dan berubah pikiran. Yang penting pulsa full bisa telpon dan sms tanpa hambatan, casing terserah yang ngasih. Sudah demikian pasrah pun masih saja ada halangan dari faktor luar. Susah memang, kalo dibikin susah.

Dulu aku selalu menginginkan cewek yang cerdas, postur tinggi dan gagah. Mungkin karena aku terlalu lama hidup di lingkungan polisi dan suka kegiatan outdoor. Jadinya ada rasa suka kalo melihat ibu-ibu polwan sedang upacara atau baris berbaris. Sampai-sampai mengidolakan cewek yang bercasing model tapi tomboi seperti ibu-ibu militer.

Satu, dua, tiga bisa dapat yang semacam itu. Tapi ternyata di lain sisi, malah terjadi banyak benturan. Casing aduhai membutuhkan banyak biaya pemeliharaan ekstra, sedangkan aku cuma pemuda kere. Perempuan-perempuan perkasa itu ternyata keras kepala, padahal aku juga begitu. Pacaran bukannya bermesraan malah banyak debat adu pendapat hanya untuk menentukan besok jalan kemana.

Makanya sekarang aku bersyukur bisa dapat istri yang berbeda dengan selera masa lalu. Ga tinggi dan mungil, membuat aku bisa kuat gendong-gendongan. Lembut dan tidak tomboi, malah membuat aku bisa belajar mengalah.

Tidak seindah model, ternyata membuatku hatiku damai kalo istri sms mau jalan-jalan sendiri ke mall. Aku justru cemas kalo istriku bilang mau ke pasar naik becak sendirian. Apa gajiku kurang ya, sampai sayangku narik becak.

Coba kalo aku bersikukuh sebagai pria punya selera. Tak pikir malah banyak mudharat daripada manfaatnya. Ga bakalan bisa nabung. Bulu idung bengkok dikit aja dah tak larikan ke salon. Kurang tinggi dikit langsung tak minumin obat tinggi. Kurang gagah dikit langsung tak gagahin. Wah ga enak ternyata impianku dulu...

Ilustrasi Terikat
Karya Iqro
Tujuh Bintang Art Space
Read More

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena