Ketika hidup sudah begitu tergantung kepada listrik, pemadaman yang begitu sering terasa sekali mengganggu. Apalagi untuk yang hidup di kota. Listrik mati berarti tidak mandi dan tidak bisa tidur tanpa pengatur udara.
Tapi bila aku melihat ke apa yang aku rasakan sekitar tahun 95an, dimana aku bergabung menjadi petugas lapangan dinas gangguan PLN di Majenang, aku tak mampu berceloteh banyak.
Gaji minim tanpa perlindungan asuransi sementara wilayah yang ditangani terlalu luas. Apalagi ketika musim hujan tiba, jumlah gangguan meningkat beberapa kali lipat. Walau ada pembagian shift, tapi dalam kondisi semacam itu aku hanya bisa pulang untuk ganti baju lalu kembali ke lapangan.
Tengah malam ketika hujan turun deras, petir bersahut-sahutan, ketika kebanyakan dari kita terlelap dalam pelukan mimpi, aku masih saja harus bergelayutan di atas ketinggian. Bukan ucapan terima kasih yang aku dapatkan ketika bekerja melampaui batas lelah. Paling banyak adalah caci maki sebagai kata penyambut.
Padahal kalo aku bicara tentang data, lebih dari 80% gangguan berasal dari kesalahan masyarakat juga. Instalasi dalam rumah yang acak adul tanpa standar keselamatan yang paling banyak. Sebagian masyarakat kita sok tahu dan lebih suka memasang sambungan sendiri, namun ketika terjadi kerusakan, aku yang dibikin pusing.
Pepohonan apalagi tanaman buah atau hias, mereka akan mencak-mencak ketika dahan-dahan yang mendekati kabel listrik kupotong. Tapi dengan ketika ada dahan menyenggol kabel dan listrik padam, aku juga yang dihujat.
Yang lebih parah adalah kasus pencurian listrik. Bagaimana aku tidak bingung ketika melihat data, kapasitas trafo itu masih dibawah batas maksimal. Tapi ternyata meledak kelebihan beban. Dan yang lebih menyedihkan, pelaku pencurian itu kebanyakan rumah tangga kelas menengah ke atas dan industri. Mereka mampu bayar, tapi kenapa harus mengorbankan fasilitas umum dan masyarakat kecil yang takut untuk mencuri atau menunggak pembayaran.
Demi kepuasan pelanggan, aku ikut tim PDKB (Pekerjaan dalam keadaan bertegangan). Aku menangani gangguan tanpa memadamkan listrik. Tidak terpikirkankah oleh masyarakat, bagaimana rasanya bekerja hanya berjarak kurang dari setengah meter dengan kabel bertegangan 20 ribu volt. Sampai-sampai seorang temanku harus aku turunkan dari atas tiang dalam keadaan tubuh gosong tak bernyawa di daerah Lumbir dulu. Dan berita acara dari kantor tertulis "human error..." Tak terpikirkankah oleh pimpinanku, kelelahan selama sebulan penuh bekerja hampir 24 jam bisa mengurangi konsentrasi kerja..?
Aku tak ingin terlalu jauh melihat ke sisi manajemen yang diluar jangkauanku. Aku cuma ingin bercerita tentang suka duka menjadi petugas lapangan di garis depan.
Dan menurutku, sampai kapanpun PLN akan tetap bermasalah selama pola pikir sebagian dari kita belum juga berubah. Demo mahasiswa atau penggalangan masa pesbuk untuk pemadaman tidak akan menyelesaikan masalah. Karena sebagian besar masalah ada dalam diri kita masing-masing.
Tapi bila aku melihat ke apa yang aku rasakan sekitar tahun 95an, dimana aku bergabung menjadi petugas lapangan dinas gangguan PLN di Majenang, aku tak mampu berceloteh banyak.
Gaji minim tanpa perlindungan asuransi sementara wilayah yang ditangani terlalu luas. Apalagi ketika musim hujan tiba, jumlah gangguan meningkat beberapa kali lipat. Walau ada pembagian shift, tapi dalam kondisi semacam itu aku hanya bisa pulang untuk ganti baju lalu kembali ke lapangan.
Tengah malam ketika hujan turun deras, petir bersahut-sahutan, ketika kebanyakan dari kita terlelap dalam pelukan mimpi, aku masih saja harus bergelayutan di atas ketinggian. Bukan ucapan terima kasih yang aku dapatkan ketika bekerja melampaui batas lelah. Paling banyak adalah caci maki sebagai kata penyambut.
Padahal kalo aku bicara tentang data, lebih dari 80% gangguan berasal dari kesalahan masyarakat juga. Instalasi dalam rumah yang acak adul tanpa standar keselamatan yang paling banyak. Sebagian masyarakat kita sok tahu dan lebih suka memasang sambungan sendiri, namun ketika terjadi kerusakan, aku yang dibikin pusing.
Pepohonan apalagi tanaman buah atau hias, mereka akan mencak-mencak ketika dahan-dahan yang mendekati kabel listrik kupotong. Tapi dengan ketika ada dahan menyenggol kabel dan listrik padam, aku juga yang dihujat.
Yang lebih parah adalah kasus pencurian listrik. Bagaimana aku tidak bingung ketika melihat data, kapasitas trafo itu masih dibawah batas maksimal. Tapi ternyata meledak kelebihan beban. Dan yang lebih menyedihkan, pelaku pencurian itu kebanyakan rumah tangga kelas menengah ke atas dan industri. Mereka mampu bayar, tapi kenapa harus mengorbankan fasilitas umum dan masyarakat kecil yang takut untuk mencuri atau menunggak pembayaran.
Demi kepuasan pelanggan, aku ikut tim PDKB (Pekerjaan dalam keadaan bertegangan). Aku menangani gangguan tanpa memadamkan listrik. Tidak terpikirkankah oleh masyarakat, bagaimana rasanya bekerja hanya berjarak kurang dari setengah meter dengan kabel bertegangan 20 ribu volt. Sampai-sampai seorang temanku harus aku turunkan dari atas tiang dalam keadaan tubuh gosong tak bernyawa di daerah Lumbir dulu. Dan berita acara dari kantor tertulis "human error..." Tak terpikirkankah oleh pimpinanku, kelelahan selama sebulan penuh bekerja hampir 24 jam bisa mengurangi konsentrasi kerja..?
Aku tak ingin terlalu jauh melihat ke sisi manajemen yang diluar jangkauanku. Aku cuma ingin bercerita tentang suka duka menjadi petugas lapangan di garis depan.
Dan menurutku, sampai kapanpun PLN akan tetap bermasalah selama pola pikir sebagian dari kita belum juga berubah. Demo mahasiswa atau penggalangan masa pesbuk untuk pemadaman tidak akan menyelesaikan masalah. Karena sebagian besar masalah ada dalam diri kita masing-masing.
betul sekali pak, sebetulnya bukan konsumen tidak mau tahu, tetapi kita sudah terlalu banyak dikecewakan. ingat PLN adalah perusahaan monopoli yang jelas berhak untuk menaikkan tarif, menentukan biaya dsb tanpa persetujuan dari konsumen. banyak gardu PLN yang menggunakan genset yang pasti menggunakan bbm sebagai sumber energi utama dan akhirnya pemerintah harus memberikan subsidi bbm untuk PLN, buntutnya masyarakat yang kena lagi, dengan anggapan subsidi bbm membebani negara, padahal jelas PLN yang paling banyak. masalah operasional dilapangan sudah seharusnya PLN melakukan pengawasan yang ketat, mulai pengecekkan instalasi rumah tangga dan terutama BUMN dan industri. sebagai konsumen kami lebih suka PLN diswastakan, apalagi kalau dipegang lebih dari satu perusahaan, pasti lebih berkualitas. contoh saja dengan swastanisasi operator seluler, kita bisa menikmati perlombaan murah-murahan tarif, coba seandainya dimonopoli oleh Telkom, pasti tidak jauh beda dengan PLN sekarang.
BalasHapuspln kan perusahaan lilin negara
BalasHapus