Ketika Polisi sedang jadi bahan gunjingan di mana-mana, aku sempatkan ngobrol dengan temanku, seorang brigadir polisi.
Memulai karir dari titik terendah. Menjadi bemper kesatuan di lapangan. Meninggalkan anak istri sampai ke Ambon. Di Aceh mendapat oleh-oleh pelor GAM di leher belakangnya sampai dia susah menengok sekarang. Kembali ke Jokja mendapatkan anak sulungnya tiada menjadi korban gempa beberapa tahun lalu.
Dan semua pengabdiannya itu tak pernah dihargai selain ucapan terima kasih dan selembar piagam ketika apel penerimaan pasukan. Tidak ada bonus atau jasa produksi apalagi kenaikan pangkat. Yang ada malah pertanyaan mau bayar berapa biar bisa lolos masuk pendidikan bintara.
Penempatan di kesatuan pun semua berbau uang. Mau lahan basah, harus berani sebutkan nilai kontraknya dengan pimpinan. Karena ternyata untuk sekedar menjadi Kapolsek pun harus dibeli dengan uang. Ketika ketidak adilan ini dipertanyakan, temanku malah dikucilkan. Sampai akhirnya terjadi adu jotos di Polsek karena pimpinannya hanya ngerti uang dan uang saja.
Menurut temanku, lebih baik mengurusi kasus pembunuhan di depan rumahnya daripada laporan kehilangan sepeda tapi pelakunya kabur keluar kota. Untuk mengejar pelaku kejahatan, dana yang ada hanya angkanya saja yang diterima dan wajib ditandatangani. Operasional di lapangan, dana harus cari sendiri. Itupun masih dipotong setoran ke pimpinan.
Makanya tak usah berharap pelacuran, perjudian dan perdagangan minuman keras bisa dilenyapkan dari negeri tercinta. Karena iuran dari mereka lah yang mendanai operasional polisi. Jangan tanya pula kenapa sandiwara selalu ada. Karena kejaksaan dan pengadilan pun berbuat sama. Untuk apa beridealis buang tenaga waktu dan dana tanpa mengkomersialkan kasus, bila kerja keras menangkap penjahat cuma memperkaya jaksa, hakim atau pengacara.
Masyarakat menuntut polisi bersih, hanya kalo mereka sedang tidak bermasalah. Ketika kena kasus segala cara dilakukan agar polisi mau berdamai. Gaji pas-pasan, tuntutan setoran pimpinan, mental fisik kelelahan terlalu banyak kasus, sangat manusiawi bila kemudian mencari jalan pintas. Kasus selesai, bisa segera istirahat, dapat tambahan penghasilan sekaligus memberangus rongrongan pimpinan.
"Aku juga manusia biasa, mas..."
Begitu pembenaran akhirnya.
Kalo semua merasa benar, lalu siapa yang salah..?
Memulai karir dari titik terendah. Menjadi bemper kesatuan di lapangan. Meninggalkan anak istri sampai ke Ambon. Di Aceh mendapat oleh-oleh pelor GAM di leher belakangnya sampai dia susah menengok sekarang. Kembali ke Jokja mendapatkan anak sulungnya tiada menjadi korban gempa beberapa tahun lalu.
Dan semua pengabdiannya itu tak pernah dihargai selain ucapan terima kasih dan selembar piagam ketika apel penerimaan pasukan. Tidak ada bonus atau jasa produksi apalagi kenaikan pangkat. Yang ada malah pertanyaan mau bayar berapa biar bisa lolos masuk pendidikan bintara.
Penempatan di kesatuan pun semua berbau uang. Mau lahan basah, harus berani sebutkan nilai kontraknya dengan pimpinan. Karena ternyata untuk sekedar menjadi Kapolsek pun harus dibeli dengan uang. Ketika ketidak adilan ini dipertanyakan, temanku malah dikucilkan. Sampai akhirnya terjadi adu jotos di Polsek karena pimpinannya hanya ngerti uang dan uang saja.
Menurut temanku, lebih baik mengurusi kasus pembunuhan di depan rumahnya daripada laporan kehilangan sepeda tapi pelakunya kabur keluar kota. Untuk mengejar pelaku kejahatan, dana yang ada hanya angkanya saja yang diterima dan wajib ditandatangani. Operasional di lapangan, dana harus cari sendiri. Itupun masih dipotong setoran ke pimpinan.
Makanya tak usah berharap pelacuran, perjudian dan perdagangan minuman keras bisa dilenyapkan dari negeri tercinta. Karena iuran dari mereka lah yang mendanai operasional polisi. Jangan tanya pula kenapa sandiwara selalu ada. Karena kejaksaan dan pengadilan pun berbuat sama. Untuk apa beridealis buang tenaga waktu dan dana tanpa mengkomersialkan kasus, bila kerja keras menangkap penjahat cuma memperkaya jaksa, hakim atau pengacara.
Masyarakat menuntut polisi bersih, hanya kalo mereka sedang tidak bermasalah. Ketika kena kasus segala cara dilakukan agar polisi mau berdamai. Gaji pas-pasan, tuntutan setoran pimpinan, mental fisik kelelahan terlalu banyak kasus, sangat manusiawi bila kemudian mencari jalan pintas. Kasus selesai, bisa segera istirahat, dapat tambahan penghasilan sekaligus memberangus rongrongan pimpinan.
"Aku juga manusia biasa, mas..."
Begitu pembenaran akhirnya.
Kalo semua merasa benar, lalu siapa yang salah..?
Ilustrasi Timbangan Dosa
Karya Bambang Darto
Tujuh Bintang Art Space
0 comments:
Posting Komentar
Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih