Balas Budi Aji

OB baru yang pernah aku ceritakan disini, namanya Aji. Anaknya lumayan lugu dan sederhana. Tugas-tugas yang aku ajarkan bisa cepat ditangkap dalam otaknya. Pelayanan ke tamuku juga cepat dan memuaskan. Bahkan kadang dia sampai lupa nanya ke aku yang datang tuh tamu apa orang kesasar nanya alamat. Asal ada orang datang langsung dia samperin, "mau minum apa, pak..?"

Di masa percobaan ini aku lihat dia cukup rajin dalam bekerja. Tak pernah tampak rasa lelah di wajahnya. Semua pekerjaan dilakukan sambil bersenandung ceria dengan headset terpasang di telinga. Awalnya sempat gondok juga. Beberapa kali aku bilang untuk ini itu, perasaan dia sudah jawab iya, tapi kok tetap saja asik dengan yang dia kerjakan.

Kebiasaan nelpon pakai headset juga pernah membuat aku kecele. Pas aku lihat dia santai sambil nonton tipi, aku ajak dia ngobrol sambil tetap berdiri di pintu. Dia jawab pertanyaanku, tapi kok ga nyambung. Aku tanya yang lain, jawabannya entah kemana. Sampai aku diam lama, dia tetap aja ngoceh. Setelah aku deketin baru aku tahu kalo dia lagi nelpon. Sampai akhirnya aku nemu cara jitu untuk menyuruhnya, via sms. Pasti langsung nyambung tanpa perlu banyak kata lagi. Aku pikir malah jadi hemat energi karena aku tak perlu beranjak dari tempatku duduk bila butuh sesuatu.

Dan sore tadi aku duduk di teras belakang sambil nunggu antrian ke kamar mandi, aku panggil dia dan aku ajak ngobrol tentang pekerjaannya. Aku tanyakan betah apa engga kerja disini dengan gaji minim. Karena UMR Jogja cuma 700 ribu, untuk masa percobaan dia aku kasih 800 perbulan tanpa ada tambahan lain-lain. Aku cuma sediakan alat dapur dan beras saja untuk dia masak bersama anak-anak produksi.

"Betah, mas. Kerja disini Aji bisa ngirim ke kampung tiap bulan buat bantu ibu.."

Aku sempat terdiam agak lama mendengar jawaban itu terpikir diriku sendiri. Ketika masih bujangan dulu, rasanya aku ga pernah punya pemikiran seperti itu. Padahal gajiku dulu jauh di atas gaji si Aji. Ngasih ke orang tua paling banter kalo pas pulang kampung yang tak rutin. Itu pun tak terpikir untuk membalas hutang budi ke orang tua. Cuma buat pantes-pantes aja ngasih yang kalo dipikir nominalnya jauh lebih sedikit dibanding anggaran pacaran.

Memang orang tua tak pernah mengharap balasan atas semua yang sudah diberikan kepada anak. Tapi apakah itu bisa dijadikan pembenaran bagi anak untuk melupakan budi baik orang tua sejak kita belum lahir. Dan masalah balas budi, aku pikir bukan nilai nominalnya yang utama. Uang yang aku berikan ke ortu mungkin nilainya jauh di atas kiriman si Aji. Tapi niatku memberi ternyata tak semulia isi hati OB ku itu.

Anak durhaka...
Maafkan aku, pak, bu...
Terima kasih, Aji...