28 Juli 2010

Pergeseran Budaya

Masih tentang pergeseran budaya...

Budaya tradisional yang seharusnya diuri-uri ternyata juga mengalami pergeseran internal oleh pelaku kebudayaan itu sendiri. Aku khususkan di bidang yang aku kerjakan sekarang yaitu seni lukis. Boleh dikatakan seniman sekarang lebih suka membuat judul karya dalam bahasa asing walau karya itu mengangkat tema tradisional. Contoh-contohnya silakan dilihat disini.

Kira-kira dengan cara seperti ini, kesenian kita jadi lebih mudah dikenal di dunia internasional atau justru malah akan mengglobal sehingga sulit dinilai bahwa itu milik kita secara budaya..?

Aku malah jadi ingat obrolanku dengan Eszter Tari dan Attila Marshal, seniman Hongaria yang begitu fasih dengan budaya kita. Bahkan dia sempat menulis buku tentang wayang yang dilaunching di KBRI Budapest Hongaria. Mereka begitu mengagumi budaya kita sementara kita sendiri mulai melupakan. Bila memang kepemilikan budaya selalu berputar tempat, kenapa hanya kita yang kehilangan jati diri ketika mengadopsi budaya orang. Sementara budaya lain yang kita pungut, di negeri asalnya masih tetap berjaya.

Padahal bila kita mau memperlajari tentang mitologi spiritual Jawa, kita seharusnya bisa berbangga hati karena ada pandangan-pandangan yang mengarah kepada budaya Jawa termasuk yang tertua di muka bumi ini. Di kalangan mitos lokal mungkin bisa dilihat tentang larangan perempuan Jawa menikah dengan laki-laki Sunda. Alasannya suku Jawa adalah kakak dari suku Sunda. Lebih jelasnya mungkin bisa dibaca disini.

Membahas filosofi Jawa memang teramat rumit. Makanya aku pikir, konsep spiritual Jawa dikatakan paling tua di muka bumi memang ada benarnya. Apalagi bila dikaitkan dengan mitos kebudayaan maju di masa lampau, Atlantis dan Lemuria. Aku kurang setuju dengan pendapat Profesor Santos yang mengatakan Atlantis adanya di Indonesia. Aku lebih cenderung menganggap Lemuria lah yang lebih pantas. Karena kemajuan Lemuria mengarah ke bidang spiritual, sedangkan Atlantis ke teknologi. Ini sesuai dengan konsep kebudayaan Jawa yang lebih menonjol dibidang spiritual.

Contoh lainnya adalah tentang kepercayaan lain di dunia yang memiliki banyak kemiripan dan dibumbui adanya mitos-mitos, misalnya :  kaum Brahmi dari lembah Indus datang ke pulau Jawa untuk berdagang dan mempelajari ilmu kejawen yang kemudian dibawa kembali ke Tanah Hindustan dan berkembang menjadi agama Hindu.

Padmasambhava atau yang lebih dikenal dengan nama "Guru Rinpoche" menyempatkan diri belajar di Jawa, kemudian baru ke Tibet untuk mengajarkan Budha Tantrayana. Lalu Athisa (Tsongkhapa) juga belajar di Jawa sebelum ke Tibet mengembangkan aliran Gelugpa, alirannya Dalai Lama. Kemudian didalam keyakinan kaum yahudi yang merupakan salah satu aliran agama yg tertua, dalam buku Kaballa tertulis bahwa ada kepercayaan yang lebih tua dari Kaballa,  yaitu Kedjawen.

Yang paling kental adalah konsep sedulur papat, kalimo pancer. Biarpun di kepercayaan-kepercayaan lain mengaku mempunyai konsepnya, tapi penjabarannya tidak selengkap seperti konsep di ajaran Agama Jawa Purba. Silakan direnungkan, apakah kita masih bisa mengambil kesimpulan bahwa budaya Jawa itu terpengaruh dan terbentuk dari budaya-budaya pendatang ?

Seperti kita tahu, bahasa Sansekerta memiliki banyak kemiripan dengan kosa kata bahasa Jawa purba yang bisa diidentikan dengan bahasa ngapak. Bahasa ngapak dan sansekerta memiliki fungsi yang sama sebagai bahasa resmi negara dan bahasa persatuan. Aku pun berani bilang bila bahasa ngapak yang ngoko merupakan bahasa asli Jawa yang menjadi cikal bakal semua cabang bahasa Jawa. Ini terbukti hampir seluruh cabang bahasa Jawa memiliki dan memahami bahasa ngoko. Bahasa wetanan yang merubah lafal A menjadi O baru muncul di era Mataram Islam. Ini bisa dilihat dari beberapa literatur yang mengatakan Sultan Pajang masih melafalkan namanya sebagai Sutawijaya, bukannya Sutowijoyo seperti orang Jogja sekarang menyebutnya.

Pergeseran bahasa itu mudah terjadi karena memang budaya bangsa kita yang mudah menyerap budaya luar. Ini bisa dilihat dari agama Hindu, Buddha, Islam dan Kristen dulu bisa masuk dengan damai tanpa peperangan seperti di benua lain. Faktor lainnya adalah budaya kita yang kurang well documented. Kurang menyukai bahasa tulisan dan lebih suka menyampaikannya secara lisan. Makanya ketika bahasa sehari-hari sudah terpengaruh unsur luar, budaya lama yang harus disampaikan ke anak cucu pun turut berubah.

Catatan-catatan budaya mulai banyak dilakukan pada masa Mataram Islam dimana pengaruh feodal sudah mulai kental. Sehingga wajar bila banyak orang yang menganggap orang Jawa Jogja Solo lebih berbudaya daripada masyarakat pinggiran penutur ngapak yang sejatinya lebih tua usia budayanya.

Hanya sayangnya dokumentasi kita sejak dulu memang kurang bagus. Sehingga banyak catatan budaya kita yang ngungsi keluar negeri baik dlam bentuk hadiah atau rampasan perang. Wajar temanku yang mau membuat tesis S3 tentang budaya Jawa justru menyambangi museum Leiden hanya untuk mencari bahan penelitian.

Sedih memang melihat kenyataan itu. Tapi menurutku itu lebih baik daripada catatan budaya itu tersimpan di negeri sendiri. Mental busuk manusia Indonesia Raya masih saja mementingkan urusan perut daripada warisan leluhur. Lihat saja yang terjadi di museum Radya Pustaka Solo. Bisa-bisanya pengelola museum malah mencuri koleksi museum dan menjualnya ke kolektor barang antik. Bejat...

Makanya aku mulai berpikir, suatu saat kita bakalan tak punya apa-apa lagi untuk dibanggakan sebagai bangsa berkebudayaan tinggi. Untuk belajar wayang di masa depan, sepertinya kita harus ke Hongaria.

Jangan anggap pemikiranku ini terlalu mendramatisir keadaan. Mental sebagian masyarakat kita memang begitu. Malu mengakui milik sendiri. Yang paling sederhana adalah produk Cibaduyut yang dijual murah ke Singapore lalu dikasih label produk sana dan dikembalikan ke Indonesia dengan harga mahal. Herannya kita begitu bodoh membanggakan barang yang kita beli di Singapore itu tanpa mau tahu itu buatan mana. Soal lukisan pun tak jauh berbeda. Lukisan ditawarkan di Jogja seharga 20 juta cuma dilirik saja. Tapi ketika dimasukan ke balai lelang Singapore dan ditawarkan dengan harga 30 juta begitu cepat disambar orang. Padahal pembelinya orang Jakarta...

Kapan kita akan memulai melestarikan budaya kita sendiri minimal dari diri sendiri..? Atau kita harus bersiap-siap kehilangan jati diri bangsa di masa depan..?



11 comments:

  1. Sungguh memprihatinkan mas.
    saya setuju sekali dengan pandangan seperti itu kadang kita lebih mencintai produk lokal yang telah di ex keluar dengan harga yang mahal dengan merek yg sudah diganti,padahal produk itu berasal dari dalam negeri sendiri.....!!!

    Ini yang dari dulu belum ada pemecahan masalahnya.kenapa bangsa sendiri malu memakai produk sendiri.....!!!

    BalasHapus
  2. Ngomong ngomong si bOZ seniman Lukis ya...wah baru tahu ni... !!! Sukses terus dng karyanya.

    BalasHapus
  3. hiks jadi sedih, ternyata kita lagi dijajah budayanya ya

    BalasHapus
  4. pemerintah kita jarang mau mikir budaya kok. cuma omong doang. eh, jangan salah, aku emang suka melukis. memeluk dan mengkiss...

    BalasHapus
  5. Yang terjadi di kampung saya cuma contoh secuil dari tidak mengakui milik sendiri. Dulu semangat para pendahulu mendirilan sekolah dasar di kampung saya. Anak muda juga bahu membahu bahkan ikut 'nyithak boto'. Tapi begitu Anak anak muda itu beranjak punya anak, anaknya pada disekolahkan di sekolah luar kampung. Padahal dari segi kualitas masih imbang. Aneh donya ki ncene.

    BalasHapus
  6. *berusaha memahami tulisan Pak Rawins pelan-pelan*

    Aku perempuan Jawa, memang sering dibisiki supaya jangan menikahi pria Sunda. Soalnya, katanya pria Sunda itu genit dan tidak setia, senang lirak-lirik perempuan yang lebih muda daripada istrinya..

    BalasHapus
  7. koq sampeyan dadi koyok cah wedok yo di sini? ..mesem piye sih?

    BalasHapus
  8. hahaha begitulah pak..
    sekolah aja pengennya keluar. gabisa keluar negeri ya keluar kampung cukup...

    BalasHapus
  9. wah bu dokter bikin malu wae...
    itu kan cuma mitos doang...

    BalasHapus
  10. Postingan yang mantap sob , dan marilah kita jaga dan kita lestarikan budaya kita.

    disangkanya itu buatan luar negri padahal labelnya doang ya, ngga taunya buatan negri kita juga ya.

    info yang membangun.
    Terima kasih sob telah berkunjung ke tempatku.

    BalasHapus

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena