Sebuah email bernada sedikit protes mengatakan bahwa aku terlalu gegabah mengatakan bahwa bahasa ngapak diambang kepunahan. Dengan alasan penutur bahasa masih banyak, pengunaan kata diambang kepunahan dianggap terlalu bombastis. Padahal aku menulis itu hanya menanggapi sebuah tulisan di harian Kompas.
Mungkin benar jumlah penuturnya saat ini masih banyak. Tapi karena tidak pernah diadakan sensus secara ilmiah, siapa yang menjamin bila penggunanya makin berkurang. Apalagi bila melihat kenyataan sekarang, orang tua lebih cuka mengajarkan bahasa Indonesia kepada anak-anak balitanya daripada bahasa daerah. Dan bukan rahasia lagi bila anak SD sekarang kebanyakan bagus nilainya untuk pelajaran bahasa Indonesia, arab, inggris dan mandarin, tapi jeblok di bahasa daerah.
Mungkin benar jumlah penuturnya saat ini masih banyak. Tapi karena tidak pernah diadakan sensus secara ilmiah, siapa yang menjamin bila penggunanya makin berkurang. Apalagi bila melihat kenyataan sekarang, orang tua lebih cuka mengajarkan bahasa Indonesia kepada anak-anak balitanya daripada bahasa daerah. Dan bukan rahasia lagi bila anak SD sekarang kebanyakan bagus nilainya untuk pelajaran bahasa Indonesia, arab, inggris dan mandarin, tapi jeblok di bahasa daerah.
Di kalangan orang dewasa pun aku beberapa kali dikomplen orang yang aku tahu berasal dari suku Jawa yang sama denganku hanya karena aku memanggil dia "lik" di blognya. Kenapa harus tersinggung bila aku menggunakan panggilan itu yang bila ditelusuri artinya merupakan sebuah penghargaan. Lik itu kan sama dengan paman atau adik orang tua. Kenapa orang kita anggap adik ortu malah tersinggung dan tidak menganggap itu sebagai sebuah penghormatan. Apalagi di kalangan blogger ngapak, penggunaan panggilan itu sudah teramat umum dan mungkin bisa disamakan dengan penggunaan kata "gan" di kalangan kaskuser.
Kenapa pula harus risih ketika bahasa ibu dikatakan hampir punah. Bila kenyataannya bahasa adalah sebuah produk budaya. Kita semua menyadari bahwa budaya akan selalu berkembang mengikuti perkembangan jaman. Manusia yang punya sifat dasar ingin mengikuti tren cenderung akan meninggalkan produk budaya yang dianggap ketinggalan jaman. Sampai akhirnya bahasa hanya akan menjadi barang antik yang dianggap masuk ke kategori seni.
Tak perlulah kita salahkan leluhur kita dulu membangun menara babel, sehingga dianggap sombong dan dicerai-beraikan dalam berbagai bahasa agar tak mengulangi kesombongan yang sama. Bagaimanapun bahasa merupakan produk budaya yang paling mudah berubah. Apalagi bila sudah dikaitkan dengan sifat manusia yang sok gengsi dianggap kampungan walau kadang membuat aku tertawa ngakak. Seperti ketika makan di warteg beberapa tahun lalu di Jakarta, ada orang yang berlogat Jawa minta tambah kuah dengan ucapan begini, "bu, gua minta tambah duduhnya..."
Aku yang heran segera menyahut, "eh, elo Jakartanya gonggoman mana sih..?"
Weees, sama katroknya dah...
Apakah fenomena pembauran bahasa semacam itu bisa dihindari..? Aku rasa tidak. Bahasa akan terus berkembang tanpa ada yang bisa mencegah. Pembakuan bahasa seperti apa yang dilakukan Van Ophuysen, Suwandi maupun EYD tak menjamin bahasa gaul akan berhenti berkembang. Yang akan selalu ada hanyalah EYD (Ejaan Yang Diplesetkan...)
Apalagi semenjak orde baru runtuh, penggunaan bahasa asing begitu merebak di kalangan kita. Anak sekarang kayaknya lebih lihai ngomong cas cis cus daripada menggunakan kosa kata dalam bahasa pribumi. Kosa katanya tak masuk, aturan DM atau MD nya dikacaukan, seperti misalnya istilah Toko Rawin Motor, atau Rawin Seluler. Apalagi setelah bahasa Inggris menguasai, lalu bahasa arab di kalangan tertentu, sekarang bahasa mandarin mulai masuk ke kurikulum SD. Walau belum sampai tahap memunahkan, tapi minimal mulai mengaburkan khasanah budaya yang ada.
Di kalangan blogger pun sama saja. Penulis dalam bahasa daerah makin sedikit. Dengan alasan pembacanya global, mungkin okelah kita menulis dalam bahasa nasional atau internasional. Tetapi sulitkan bila kita jadwalkan sebulan sekali menulis dalam bahasa daerah..? Ingin bergaya sok internasional, modal google translit pun sudah membuat kita bangga. Sampai grammar acak adut pun tak kita sadari.
Kalo sudah begini, berat rasanya kita mengatakan suatu bahasa tak akan punah. Yang bisa kita lakukan hanyalah memperlambat proses itu agar bahasa kita tak segera menjadi seni dalam sejarah perjuangan bangsa.
Sudah masuk antrian keberapa bahasa daerah anda menuju kepunahan..?
mungkin kalau suku ngapak sudah bisa membuat alat canggih yang belum pernah ada di muka bumi, yang menguasai hajat hidup orang banyak, terus manual book-nya atau tutorialnya alias read me-nya pakai bahasa ngapak, pasti orang sedunia (termasuk generasi baru ngapak)dengan sendirinya belajar bahasa ngapak. Nah, kapan saat itu terjadi?
BalasHapusItu yang patut di khawatirkan ,,,ketika orang melupakan budayanya sendiri dan menganggap budaya hanya milik leluhurnya saja...!!!
BalasHapusBudaya modern yang dipamerkan hanya karena trend walaupun bertentangan dengan sopan santun.
Nice posting.
:( kaykanya dunia udah mau kiamat yah gan :(
BalasHapusjadis sedih.....
Postingannya mencerahkan bro :) Jati diri bangsa semakin rapuh, tatkala tdk ada lagi atensi terhadap muatan lokal.
BalasHapusSalam sobat :)
ibu saya terLahir di daerah ngapak, saat kami puLang kampung waLaupun saya terLahir di Jakarta tapi enggak maLu kaLau disana banyak orang memanggiL saya Lik, justru sebaLiknya merasa senang karena merasa diakui keberadaan saya sebagai keturunan ngapak.
BalasHapusterima kasih atas sharenya, saya dukung sob.
saya ijin menjadi foLLower di bLog ini, saLam ngapak.
saya kebetulan dari sunda,...tentu saja saya juga bisa berbahasa daerah ibu saya.
BalasHapusngapak itu mksdnya bahasa apa ya sob ??
Aku suka banget kalo lihat orang pake bahasa Ngapak
BalasHapuslucu kayanya
Lha monggo dipun milai saking pribadi kito piyambak piyambak supados ngenthengaken wekdal kangge 'mosting' kanthi ngginakaken boso ngapak menowo boso jawi menopo boso daerah sanesipun. Ing pangajap sagedo nherek anguri nguri kabudayan kito sami. Ndherek 'follow' mugi panjenengan kerso 'follow balik'... ndherek nepaengaken kulo ingkeng kajibah jogo malem wonten in gardoedjaga, asli mbatul ngayogyokarto..
BalasHapuslah ini emang harus diperhatikan, tapi ada banyak blogger indonesia yang memang menggunakan bahasa daerah secara keseluruhan hebat mereka.
BalasHapusSukses Slalu!
Bentar ya sob, gua kepuyuh nih, he he
BalasHapusMeniko leres kangmas, kawruh basa sakmenika sampun dipun arani langka utawi aneh, priyantun inkang guneman ngagem basa jawa malah dipun wastani "katrok" utawi "udik", nguri-uri kawruh basa menika sae kangmas, ananging ngginakaken basa Indonesia menika ugi boten kalah sae, amargi menika kagem ngraketaken sedulur-sedulur ingkang benten-benten basa daerahipun.
Mekaten kang mas saking kula, matur nuwun.
Aku punya temen orang blora, tapi koq kalo ngomong pake 'loe-gue' ke aku, aneh deh..padahal ya sehari-hari njowoisme, jadinya malah bahasa betawi dengan logat njowo, lucu juga sih. Aku yang orang jakarta aja sangat jarang pake 'loe-gue' kecuali sama teman sekolah..
BalasHapuskalo aku untuk bahasa di blog lebih milih bahasa indonesia sih, karena ya yang baca emang orang banyak
BalasHapusnah kalo soal bahasa daerah aku setuju banget kalo untuk lebih dilestarikan lagi supaya gak punah, sama halnya seperti tari2an atau lagu2 daerah yang sekarang makin langka
[bahkan ibu2 di kantor kaget saat tau aku hapal lagu2 daerah, katanya aneh ada anak muda kok hapal lagu daerah? emang apa salahnya ya hapal lagu daerah? yang aneh malah yang gak tau lagu2 itu. dan sebenernya kepengen banget bisa nari tari2 daerah itu terutama tari jawa klasik, cuma sayang sih di sini gak ada tempat lesnya, dulu waktu kecil sih pernah les tari jawa klasik, hehe...]
nah cuma kalo untuk bahasa pergaulan dengan teman2 yang emang gak sedaerah itu aku pilih bahasa indonesia juga,
merasa tersisihkan banget waktu awal2 aku kuliah [kampusku padahal di tangerang tapi mayoritas orang jawa] temen2ku itu semuanyaaaa roaming, pake bahasa daerah masing2 yang ya kebanyakan jawa, dan mereka ketawa2 ngobrol2 ya dengan bahasa jawa itu padahal aku juga ada di situ dan aku gak ngerti mereka ngomongin apa, berasa aneh sendirian. hiks.
tapi karena itu lah jadi kepaksa belajar bahasa jawa, karena ya daripada khan gak ngerti2 gitu yang lain ngomongin apa, hehe..
dan ternyata mudah juga sih [untuk yang bahasa pergaulannya], tapi sayang untuk bahasa sunda aku malah lupa blas padahal 9tahun belajar bahasa sunda.
bahasa2 lainnya cuma tau sedikit banget malah kebanyakan gak tau.. --"
eh ya, aku emang lahir di klaten, tapi aku besar di bekasi, dan ibu juga orang betawi asli.
BalasHapusjadi ya bahasa ibu untukku ya bahasa indonesia sih emang, [lebih tepatnya bahasa bekasi atau betawi], heu..
Wah, jgn sampe punah donk sob,bahasa itu merupakan sbuah identitas tersendiri.
BalasHapusNah, perbedaan bahasa jg merupakan sebuah kekayaan bagi sebuah negara.
mampir smbil naik mobil terbang.
BalasHapuswuuuuuussssss....
Hehe, jadi inget cerita temenku tentang temennya yang sok 'jakarta'.. Katanya kalo ga salah 'tadi ujan sekarang penther'..
BalasHapus