21 Juli 2010

Belajar Berbudaya

Sebuah ide ringan, dikemas sederhana untuk tujuan yang tak terlalu muluk ternyata tetap saja ada yang membuatnya rumit. Seperti ketika ide mengadakan lomba menulis ngapak dalam blog aku tindak lanjuti. Keinginanku tak banyak, hanya ingin penulis ngapak yang kian berkurang bisa segera diregenerasi. Tak perlu khususon jadi ngapakers, tapi sekali-kali memproduksi tulisan edisi ngapak sudah cukup.

Aku memang belum lama berkecimpung di bidang seni budaya. Tapi sudah cukup waktu untuk mengerti bahwa budaya tradisional kita tak pernah dibudidayakan oleh pemerintah. Semua gerakan yang dilakukan hanya omong kosong yang anget-anget tai ayam semata. Bisa aku lihat bagaimana seniman kita berdarah-darah harus cari modal sendiri ketika ingin pameran ke luar negeri. Jangankan dibantu akomodasi, karya yang dibawa kesana pun seringkali kena pungutan bea cukai. Makanya aku seringkali malu bila harus ngumpul bersama seniman luar negeri yang begitu besar perhatian pemerintahnya ke bidang seni.

Pejabat kita masih menganggap bahwa tugasnya mengurus budaya hanya sekedar tugas kantor yang tak ada tendensi pribadi untuk melestarikannya. Seperti ketika ada seniman yang gaptek bingung mengurus paspor dan visa, jawaban dari petugas dinas kebudayaan cukup singkat, "tidak ada anggaran..."

Mereka baru giat bila mengurus kegiatan yang gebyar penuh tempelan logo sponsor. Mereka lebih suka mengurus kontes ratu-ratuan yang kebanyakan jual tampang dengan label duta budaya. Mungkin benar pemenangnya harus menguasai budaya tradisional. Tapi apakah itu yang menjadi tolok ukur utama penilaiannya..? Tetap urusan casing kan yang utama..???

Melihat kenyataan bahwa seniman harus berjalan sendiri ketika mempertahankan warisan leluhur agar tidak musnah, aku pun tak berharap kepada siapa-siapa ketika bahasa ngapak juga dikatakan diambang kepunahan. Aku cuma membagikan ide ke teman-teman dekat yang kira-kira seide sampai bola bergulir seperti sekarang ini.

Aku tak menyangka bila tanggapan dari kalangan netter begitu antusias, baik pro maupun kontranya. Yang sedikit membuatku sedih adalah beberapa tanggapan melalui komentar dan imel tentang hadiah. Beberapa orang mengatakan hadiahnya tidak menarik. Bahkan ada yang ketus mengatakan bikin acara kok ga niat, hadiahnya ga mutu...

Aku berusaha memahami bahwa untuk sebagian orang, tujuan dari sebuah tindakannya adalah sesuatu yang bersifat materi. Novel karya Ahmad Tohari yang begitu aku kagumi hanya dipandang sebagai buku yang harganya cuma 100ribu sebiji dan tidak dianggap sebagai khasanah budaya yang adiluhung. Padahal dari awal aku tak pernah memikirkan lomba atau hadiahnya, Tapi hanya ingin merangsang orang untuk sekali-kali menulis dalam bahasa daerahnya. Hadiah bukan tujuan akhirnya.

Banyak juga yang menganggap kegiatan ini tidak merakyat karena hanya dibatasi untuk blogger. Bahkan ada yang bilang ini proyek ambisius yang tidak mengena ke wong cilik. Mau tak mau aku sempat diam agak lama memikirkan ini. Keharusan tulisan diposting di blog terbuka yang bisa dibaca siapa saja tanpa harus mendaftar atau menjadi teman penulis malah dianggap mengkotak-kotakkan calon peserta. Suer, bukan aku melarang pesbuker ikut partisipasi. Tapi aku cuma ingin tulisan itu terbuka bagi siapa saja agar tidak terkesan ekslusif untuk kelompok tertentu saja.

Ada juga yang mengatakan kegiatan ini malah membuat orang takut untuk belajar menulis. Alasannya mereka yang baru belajar harus diadu dengan blogger yang memang kerjaannya nulis. Tapi untuk yang ini aku masih bisa mengerti dan berusaha untuk memberi mereka pengertian, bahwa yang penting mau menulisnya bukan lomba atau juaranya. Bermutu atau tidak itu bukan masalah. Soalnya aku sendiri belum tahu batasan tulisan itu bermutu apa engga itu bagaimana. Buatku, asal mau menulis dan berbagi dengan orang lain itu sudah menunjukan orang itu bermutu tinggi.

Tidak semuanya menyedihkan kok. Banyak juga yang menggelikan dengan menanyakan di kolom komentar, lombanya bagaimana, hadiahnya apa, lokasinya gimana dll dll. Padahal semua ketentuan itu sudah tercantum diatasnya. Mungkin budaya basa basi memang masih merebak di sebagian teman kita. Sehingga merasa perlu setor muka, mereka asal komen saja tanpa membaca dulu.

Malah ada yang nulis maaf tidak bisa ikut, karena sekarang jauh dan harus naik pesawat segala untuk berpartisipasi. Aku cuma mesem dikit waktu jawab yang itu. "Perasaan lokasi kegiatan aku tulis di manapun saat ini berada asal masih di dunia. Emang masnya sekarang dimana..?"

Ok deh...
Belajar berbudaya ternyata susah juga...
Semoga tidak hanya gegap gempita di awal trus buntutnya sepi seperti kasus century...

6 comments:

  1. wah kalo lomba mah ga penting hadiahnya
    tp mencoba untuk berkarya ^____^
    ak jg suka ikut lomba tp yg ak bisa, apapun hadiahnya :D

    BalasHapus
  2. btw itu gambar komiknya lucu bgt sie =)) ada ga ya orang kaya gtu

    BalasHapus
  3. nulis ngapak,,
    kayak gimana tu

    BalasHapus
  4. ria...
    itu kan pas penilaian putri indonesia. hehehe...

    BalasHapus
  5. maap umy kalo roaming...
    nulis pake basa daerah banyumasan...

    BalasHapus
  6. Aja cilik aten, Um..
    Sing penting niate apik, carane apik. Masalah pro kontra wis biasa..

    BalasHapus

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena