Takut Banci

Gara-gara ngelantur dalam mumetologi Mak Erot kemarin. Lalu tadi hampir kepleset lagi ketika menyebut Olga, malah ada yang nguber lewat YM untuk menceritakan sejarah perjuangan banci versi mumet. Bukan aku ga mau menyenangkan teman, tapi karena aku lagi berusaha keras hengkang dari kubangan mumetologi makanya aku menolak. Apalagi aku sedikit ngeri jika berdekatan dengan manusia tipe yang satu itu.

Secara biologis dan humanis, aku tak pernah mempermasalahkan keberadaan mereka. Bagaimanapun juga manusia tidak ada yang sempurna. Seperti ada siang dan malam, diantara itu kan selalu ada suasana remang-remang. Makanya ketika Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan, wajar jika ada gender yang remang-remang di antara keduanya.

Yang suka bikin aku sedikit menjauh adalah tingkah polah sebagian dari kaum itu yang seringkali berlebihan. Sekali lagi aku bilang cuma sebagian karena ada juga yang baik-baik seperti tukang cukur langgananku. Awalnya sih aku sempat ngeri juga ketika harus potong rambut ke salon yang didominasi kaum banci. Namun ketika mbah Karmo menyatakan pensiun dari profesi tukang pangkas keliling, mau ga mau aku harus cari alternatif. Karena aku tak suka berambut gondrong atau minta potong rambut ke tukang kebun. Dan salon yang aku jadikan langganan sengaja aku pilih yang tukang potongnya cewek tulen dan kalo terpaksa harus banci, ya yang lebih dominan kelaki-lakiannya serta tidak genit.

Awal ketakutanku kepada manusia tipe itu aku alami ketika masih sekolah di Purwokerto dulu. Namanya juga anak kos golongan elit alias ekonomi sulit, ketika sampai terminal bus sudah kemalaman dan tidak ada angkutan kota. Aku memilih jalan kaki ke tempat kos karena untuk naik ojek di jalan becek bisa bikin kanker. Nah, di depan bioskop Rajawali tuh banyak banci mangkal di pinggir jalan, karena kalo di tengah jalan takut mengganggu lalu lintas.

Namanya juga ABG yang otaknya masih dipenuhi pikiran iseng, aku dan teman-teman godain mereka. Eh ga taunya ada yang ngambek dan nguber sambil acung acungin pisau. Setengah mati deh melarikan diri dari mereka. Dan baru saat itu aku mengetahui kebenaran mitos yang katanya tenaga banci tuh lebih kuat dari laki-laki. Dobel power kali ya..?

Bertahun-tahun ga pernah bersinggungan banyak dengan mereka, eh tahu-tahu di tipi mereka merajalela. Entah siapa provokatornya sampai bisa begitu. Mending kalo gurauannya berisi. Kebanyakan cuma celoteh kotor yang slapstik. Tapi karena lagi ngetren ya mau gimana lagi. Satu-satunya jalan ya matikan tipi karena sulit cari acara alternatif selain nonton banci norak, berita heboh tapi tak pernah jelas kelanjutannya atau sinetron yang lebih menyebalkan. Tapi biarinlah, toh mereka sedang mencari makan di jalan halal.

Nah, pas aku tiba di Jokja, ndilalah ga jauh dari kantor tuh ada pangkalan banci juga. Makanya aku suka pusing kalo harus lewat jalan itu sendirian tengah malam. Apalagi pengalaman pertama dengan banci Jokja lumayan mengesankan. Karena ga tahu disitu merupakan tempat nongkrong mereka, aku damai saja jalan kaki. Eh, tahu-tahu beberapa orang mencegat sambil menawarkan diri dalam gaya khas mereka. "Mas-mas, suwedot, mas. Lima puluh rebong enjoy deiy.."

Aku menggeleng sambil bergegas pergi, masih diuber terus. "Empat puluh deh, eke kasih diskoun. Kena gigi potong mangewu yo rapopo, cin..."

Hihihi...

Aku langsung merapal ajian kaki seribu dan ga lagi-lagi lewat situ malem-malem. Makanya maaf deh, ci. Bukan aku antipati dengan kaum kamu. Tapi tingkah polahmu itu lho yang bikin nggegirisi. Kalo butuh kerjaan, besok deh aku hubungi kalo septic tank udah penuh. Sekali lagi maaf...