Hukum sebab akibat sebenarnya teramat sederhana penjabarannya. Hanya sayangnya, kita seringkali membacanya menggunakan logika yang terbalik sesuai keinginan hati yang kadang mengesampingkan unsur fakta dan keadilan, sehingga semuanya terasa menjadi rumit.
Seperti seorang anak dari keluarga berantakan yang sekian lama dipingit tak bisa berkomunikasi dengan sang ayah. Ketika ada kesempatan yang membuat sang ayah datang menengok, di sela kebahagiaan si anak, terbersit rasa pedih yang menggunung. Secara hukum sebab akibat sederhana, wajar bila si anak terus menangis. Karena rindu ayahnya dan hanya diberi kesempatan teramat pendek untuk bisa bersama. Hanya saja logika terbalik yang digunakan sang ibu yang membuat si anak bingung. Anak harus diisolir dari sang ayah, karena bila ketemu pasti si anak hanya akan menangis sedih.
Seperti seorang anak dari keluarga berantakan yang sekian lama dipingit tak bisa berkomunikasi dengan sang ayah. Ketika ada kesempatan yang membuat sang ayah datang menengok, di sela kebahagiaan si anak, terbersit rasa pedih yang menggunung. Secara hukum sebab akibat sederhana, wajar bila si anak terus menangis. Karena rindu ayahnya dan hanya diberi kesempatan teramat pendek untuk bisa bersama. Hanya saja logika terbalik yang digunakan sang ibu yang membuat si anak bingung. Anak harus diisolir dari sang ayah, karena bila ketemu pasti si anak hanya akan menangis sedih.
Fakta lebih terjungkirbalik lagi ketika masalah itu disampaikan kepada aktifis LSM yang selalu menggembor-gemborkan tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Kekerasan psikis seorang ibu terhadap anak tak pernah membuat mereka bergerak hatinya. Lain kasusnya bila terjadi kekerasan pisik suami terhadap istri. Tanpa mau melihat kenapa itu bisa terjadi, suara mereka begitu lantang bergema di udara. Seolah mereka lupa bahwa dalam rumah tangga, seorang istri tetap butuh sebuah kekerasan milik suami. Nyatanya ketika suami letoy dan tak mau keras, mereka akhirnya bisa melegalisasi yang namanya perselingkuhan dengan alibi suami tidak mampu menafkahi istri.
Kasus lain aku lihat ada di jalanan Jokja. Ketika marka jalan berupa garis tidak terputus-putus sudah tidak mampu menertibkan pengguna jalan yang menyerobot jalur, badan yang berwenang membangun pembatas jalan dari beton. Dan keesokan harinya di layanan sms sebuah koran lokal, penuh dengan umpatan bahwa pembangunan pembatas jalan hanya membuang uang rakyat untuk membangun sumber kemacetan baru. Pengirim sms agaknya tak melihat pembangunan pembatas jalan itu sebagai akibat dari susahnya mereka ditertibkan hanya dengan garis marka. Mereka justru menganggap ketika harus antri dengan tertib di jalur yang benar hanyalah penambahan hambatan atas perjalanan mereka.
Kondisi semacam ini yang seringkali menimbulkan konflik kepentingan. Payahnya dalam memperjuangkan kepentingan itu, seringkali mereka melupakan tujuan semula mereka berjuang. Seperti demonstrasi mahasiswa yang katanya anti Amerika, tapi sambil demo mereka minum coca cola. Contoh lain adalah anggota hewan yang selalu berteriak atas nama rakyat kecil, tapi dalam gerak langkahnya mereka tetap saja mengeksploitasi apa yang menjadi hak rakyat kecil untuk kepentingan pribadi atau golongan mereka.
Dalam lingkup yang sempit tanpa konflik berarti pun hal semacam itu mudah banget terjadi. Misalnya antara aku dan istri. Ketika anak bolak balik kentut, dengan nyaman istriku bilang, "Wah, hobi kentut ayah kok diturun-turunkan ke anak.."
Padahal dalam logika sederhana, dimana anak belum makan apa-apa selain ASI, seharusnya istri melihat kenyataan suka banget makan ubi rebus. Wajar istri tak suka kentut, karena zat gizi pembawa kentut masuk ASI semua dan disedot oleh anak. Dan soal aku yang juga suka kentut, itu kan cuma bawaan bayi. Seperti ketika istri ngidam, malah aku yang mual-mual. Itung-itung partisipasi agar dunia perkentutan menjadi ramai. Itu saja...
Kira-kira begitu...
Hahaha..jadi inget, di kotaku kan ada mesjid agung, dan di depan mesjid itu ada taman kota. Nah, ada wacana nih, di sekeliling taman itu mau dibangun pagar supaya tamannya aman. Banyak yang kontra, kalau taman dipagari, orang nggak bisa keluar-masuk taman padahal itu ruang publik. Padahal, pagar itu dibikin supaya pedagang asongan nggak bisa keluar-masuk dan bikin taman kota jadi kotor..
BalasHapustapi susah ya..? emang kayak gitu tuh manusia. sukanya melihat orang lain tapi jarang mau instropeksi diri...
BalasHapus