Mengenang masa kecil di kampung yang terletak di pinggiran sungai Citanduy, aku selalu saja teringat akan pembauran dua budaya dalam lingkunganku. Walau sungai itu yang menjadi batas propinsi, tapi batas budaya tidak terus mengikuti pembatasan geografis tersebut. Banyak daerah yang masuk Jawa Tengah tapi masyarakatnya berbahasa sunda. Kebalikannya yang masuk wilayah Jawa Barat, justru bahasa sehari-harinya Jawa.
Di RT tempat tinggalku dulu, ada sebuah jalan kecil di tengah-tengah. Sebelah barat jalan dihuni oleh orang sunda keturunan Tasik yang dulu mengembara saat menjadi tukang kredit. Dan di sebelah timur jalan dihuni oleh penduduk asli yang berbahasa Jawa. Jadinya bila ada orang luar datang ke daerahku, mereka suka bengong dengan percakapan penduduk lintas jalan itu. Yang satu bicara bahasa Sunda, yang satunya Jawa, tapi obrolannya nyambung.
Konflik antar suku tak pernah ternjadi. Yang ada paling cuma kesalahpahaman kecil karena soal pemahaman bahasa. Aku sendiri juga ga begitu paham, kenapa orang Jawa di daerahku lebih cepat menyerap bahasa Sunda termasuk dialeknya sampai tak bisa dibedakan dengan orang Sunda aslinya dibandingkan sebaliknya. Orang Sunda yang sudah mahir berbahasa Jawa, logat Sundanya masih saja kentara.
Tapi soal dialek yang tak mau hilang itu pun tak hanya milik orang Sunda saja. Orang Jawa Jogja atau Solo juga banyak yang menetap di kampungku. Berpuluh tahun hidup dalam masyarakat ngapak tetap tak mampu membuang logat Jawa wetanan. Tetap saja bahasa mereka bandek, kata orang daerahku. Kebalikannya, orang ngapak begitu mudah menyerap dialek bahasa bandek itu. Walau memang ga semuanya sih. Beberapa orang masih saja kental ngapaknya walau bicara dalam bahasa lain.
Akibat dari sifat adaptif orang Banyumas itu, makanya sering terjadi inkonsistensi bahasa. Terutama kalo pas ada beberapa orang dari berbagai bahasa ngumpul bareng. Habis bilang "kumaha" ke salah satu teman, trus bilang "piye", lalu "kepriwe..?" Itu sebuah kenyataan yang aneh dalam diriku. Dan kayaknya cuma kepada orang Tegal saja yang aku tak pernah mau menggunakan dialek mereka. Tetap saja aku bertahan dalam bahasa ngapak ketika bicara dengan mereka.
Kembali ke masalah kesalahpahaman kecil-kecilan, mungkin bisa dilihat dari percakapan sekilas kemarin di warung. Ada seorang cewek sunda yang duh cakepnya bikin hati ingin memuji. Tercetuslah pujian pendek dari mulutku, "neng, sunda bageur.."
Eh, malah ditanggapi miring. "Dasar Jawa koek. Isuk-isuk menta cium. Bilangin si bapa baru nyaho lho.."
Perasaan bageur tuh artinya baik, kok malah di koek-koekin, sebuah istilah ejekan umum buat orang Jawa. Aku pun jawab gini, "biar koek yang penting baik hati, neng. Ga pelit seperti orang Sunda..."
"Pelit apanya..?"
"Tuh bilang bapak aja bapa, becak jadi beca. Ngomong aja udah pake korupsi..."
"Eh si akang lebay. Biar pelit yang penting cakep kan..? Mojang priangan tea. Ga kayak orang Jawa, karuleuheu.."
"Biarin kucel, neng. Soalnya orang Jawa tuh suka apa adanya. Orang Sunda tuh yang suka mengada-ada.."
"Hayyah, pitenah..!!"
"Tuh kan, gabisa apa adanya. Fitnah, neng. Bukan pitnah..."
"Gandeng, ah. Uih heula nya, kang. Rek masak yeuh..."
Tuh kan, indah..?
Perbedaan budaya tidak menjadi sumber konflik yang berarti. Malah bisa dijadikan hiburan di pagi hari. Dan nyatanya habis ribut berkicau, si neng geulis masih mita digandeng...
Sayang istriku ada di sebelah...
Di RT tempat tinggalku dulu, ada sebuah jalan kecil di tengah-tengah. Sebelah barat jalan dihuni oleh orang sunda keturunan Tasik yang dulu mengembara saat menjadi tukang kredit. Dan di sebelah timur jalan dihuni oleh penduduk asli yang berbahasa Jawa. Jadinya bila ada orang luar datang ke daerahku, mereka suka bengong dengan percakapan penduduk lintas jalan itu. Yang satu bicara bahasa Sunda, yang satunya Jawa, tapi obrolannya nyambung.
Konflik antar suku tak pernah ternjadi. Yang ada paling cuma kesalahpahaman kecil karena soal pemahaman bahasa. Aku sendiri juga ga begitu paham, kenapa orang Jawa di daerahku lebih cepat menyerap bahasa Sunda termasuk dialeknya sampai tak bisa dibedakan dengan orang Sunda aslinya dibandingkan sebaliknya. Orang Sunda yang sudah mahir berbahasa Jawa, logat Sundanya masih saja kentara.
Tapi soal dialek yang tak mau hilang itu pun tak hanya milik orang Sunda saja. Orang Jawa Jogja atau Solo juga banyak yang menetap di kampungku. Berpuluh tahun hidup dalam masyarakat ngapak tetap tak mampu membuang logat Jawa wetanan. Tetap saja bahasa mereka bandek, kata orang daerahku. Kebalikannya, orang ngapak begitu mudah menyerap dialek bahasa bandek itu. Walau memang ga semuanya sih. Beberapa orang masih saja kental ngapaknya walau bicara dalam bahasa lain.
Akibat dari sifat adaptif orang Banyumas itu, makanya sering terjadi inkonsistensi bahasa. Terutama kalo pas ada beberapa orang dari berbagai bahasa ngumpul bareng. Habis bilang "kumaha" ke salah satu teman, trus bilang "piye", lalu "kepriwe..?" Itu sebuah kenyataan yang aneh dalam diriku. Dan kayaknya cuma kepada orang Tegal saja yang aku tak pernah mau menggunakan dialek mereka. Tetap saja aku bertahan dalam bahasa ngapak ketika bicara dengan mereka.
Kembali ke masalah kesalahpahaman kecil-kecilan, mungkin bisa dilihat dari percakapan sekilas kemarin di warung. Ada seorang cewek sunda yang duh cakepnya bikin hati ingin memuji. Tercetuslah pujian pendek dari mulutku, "neng, sunda bageur.."
Eh, malah ditanggapi miring. "Dasar Jawa koek. Isuk-isuk menta cium. Bilangin si bapa baru nyaho lho.."
Perasaan bageur tuh artinya baik, kok malah di koek-koekin, sebuah istilah ejekan umum buat orang Jawa. Aku pun jawab gini, "biar koek yang penting baik hati, neng. Ga pelit seperti orang Sunda..."
"Pelit apanya..?"
"Tuh bilang bapak aja bapa, becak jadi beca. Ngomong aja udah pake korupsi..."
"Eh si akang lebay. Biar pelit yang penting cakep kan..? Mojang priangan tea. Ga kayak orang Jawa, karuleuheu.."
"Biarin kucel, neng. Soalnya orang Jawa tuh suka apa adanya. Orang Sunda tuh yang suka mengada-ada.."
"Hayyah, pitenah..!!"
"Tuh kan, gabisa apa adanya. Fitnah, neng. Bukan pitnah..."
"Gandeng, ah. Uih heula nya, kang. Rek masak yeuh..."
Tuh kan, indah..?
Perbedaan budaya tidak menjadi sumber konflik yang berarti. Malah bisa dijadikan hiburan di pagi hari. Dan nyatanya habis ribut berkicau, si neng geulis masih mita digandeng...
Sayang istriku ada di sebelah...
Tulisan yang menarik....!!
BalasHapusDi tempat saya juga ada orang jawa ... cukup lama tinggal di sunda tapi walaupun dia bisa bahasa sunda tetep si logat Jawa-y masih kental....heheeeee...
wah,, Sayang... coba kalo mas Rawins datangnya sndiri (he..he..)
BalasHapusgmanapun jg, perbedaan itu ad rahmat. tgantung gimana kita mnyikapinya...
walaupun berbeda bahasa, tapi tetap satu dalam Indonesia...nuhun...
BalasHapusHahahaha! Enak juga tinggal di perbatasan, bisa belajar dua bahasa. Kalo saya sih cuman ada bahasa jawa ngapak (tapi beda lho dengan ngapak cilacap).
BalasHapusTapi kalo diperhatiin, orang jawa (ngapak) di tempat saya emang lebih gampang niru logat bahasa lain. Mungkin karena kebiasaan dari kecil, bahasa sehari-hari ngapak, tapi pas pelajaran Bahasa Jawa pake logat wetanan. Udah biasa ganti-ganti logat kali ya...
suka "lancang" nyebutnya kl orang Jawa tuh / grusak grusuk, sementara orang Sunda lebih banyak ngalah n kyk Kabayan... ngabodor weh... kos si Sule...
BalasHapusOrang Jawa tipikalnya "meyakinkan" dan "sok tau" kl ngomong.. wooo ya sudah pasti benerr.. mungkin memang jiwa pemimpinnya disitu orang Jawa...
Tapi kadang2 suka seenaknya, ya itu lancang tadi... dulu perbatasan dengan Sunda di sekitar Dieng, lalu ke sungai Ciserayu ( sekarang di Jawain jadi Serayu aja ), terus ke Cilacap, eehh geser lagi di Banjar.. entah sampai kapan tipikal orang Indonesia ini ( sebenernya indon itu refer ke orang Jawa ) korupsi, dari tempat tinggal, urbanisasi ke daerah2 Sunda, sok sok Nyunda biar dapetin mojang geulis, dll...
liat aja banyak yg buka soto Lamongan, Babat, Madura di tatar Sunda...
Kehed lah