Perubahan status dari tanggap darurat ke pasca bencana, walau Merapi sendiri masih dalam status awas, telah cukup banyak merubah keseharian masyarakat di lerengnya. Perekonomian sedikit demi sedikit berusaha menggeliat walau rodanya tak bisa bergerak cepat. Namun ini cukup menggembirakan bila dikaitkan dengan masyarakat yang sempat berubah agresif beberapa waktu lalu. Harapanku mereka tak sampai anarkis seperti ketika gempa Jogja beberapa tahun lalu dimana masyarakat mulai angkat senjata tajam menghentikan kendaraan pengangkut logistik secara paksa dan menjarah bantuan.
Pasar sudah mulai buka biarpun belum ramai pembeli. Ini bisa dimaklumi, sebulan di pengungsian membuat sebagian besar masyarakat tak bisa bekerja dan kehabisan uang. Selain itu, bantuan sembako dari relawan masih terus mengalir walau tak sebanyak dulu.
Penambang pasir juga mulai melakukan aktifitas. Mereka bisa mengambil pasir dari selokan-selokan kecil atau saluran irigasi yang bersumber ke sungai besar pembawa material vulkanik. Sungai yang mendangkal membuat air menyebar ke segala arah melalui selokan dengan membawa serta pasir dan kerikil. Namun cukup banyak penambang yang tak sabar mengais pasir sedikit demi sedikit dari selokan dan memilih langsung turun ke sungai. Ini yang cukup merepotkan relawan dan aparat karena tak jarang ketika hujan mulai turun mereka tak mau segera beranjak dari sungai dengan alasan tanggung baru dapat setengah bak truk. Urusan perut membuat mereka lebih suka main petak umpet daripada menuruti larangan dari yang berwenang.
Bidang pertanian juga masih lumpuh. Hujan abu berhari-hari telah menghancurkan tanaman di ladang-ladang penduduk. Apalagi yang namanya cabe atau palawija, kondisinya sangat mengenaskan. Hanya tanaman padi yang masih bisa bertahan asalkan belum mulai berbulir. Debu vulkanik seolah tak berpengaruh dan tanaman padi tetap saja menghijau di tengah pepohonan lain yang berubah kelabu. Tapi tetap saja ada masalah ketika mereka kesulitan untuk mendapatkan pupuk atau tak punya uang untuk membayar tenaga untuk matun (basa indonesianya matun apa sih..?).
Kondisi terakhir untuk bantuan mempercepat gerak roda perekonomian dari relawan swasta belum terlalu banyak. Mereka masih berkutat di pendataan kebutuhan anak sekolah dan penanganan trauma pasca bencana untuk anak-anak. Dari pemerintah, pendataan baru sampai ke tahap desa dan entah kapan bisa sampai ke masyarakat mengingat panjangnya birokrasi selama ini. Aku harap sih pabeye segera insyaf dan segera memotong jalur birokrasi yang rawan kebocoran ini. Kayaknya ini lebih menarik untuk rakyat daripada mengungkit-ungkit kedudukan Sultan Jogja.
Kalo memang punya otak, tolong pikirkan jeritan para petani Merapi yang ingin kembali ke ladang. Yang tanamannya tidak hancur pun tak berarti mereka tidak gagal panen. Seperti petani di sebelah posko yang mengeluh, tanaman pare nya sekebun pahit semua...
Kapan ga cuma pinter nyunat duit rakyat.
Sunat jalur birokrasi, ndol..!!!
Pasar sudah mulai buka biarpun belum ramai pembeli. Ini bisa dimaklumi, sebulan di pengungsian membuat sebagian besar masyarakat tak bisa bekerja dan kehabisan uang. Selain itu, bantuan sembako dari relawan masih terus mengalir walau tak sebanyak dulu.
Penambang pasir juga mulai melakukan aktifitas. Mereka bisa mengambil pasir dari selokan-selokan kecil atau saluran irigasi yang bersumber ke sungai besar pembawa material vulkanik. Sungai yang mendangkal membuat air menyebar ke segala arah melalui selokan dengan membawa serta pasir dan kerikil. Namun cukup banyak penambang yang tak sabar mengais pasir sedikit demi sedikit dari selokan dan memilih langsung turun ke sungai. Ini yang cukup merepotkan relawan dan aparat karena tak jarang ketika hujan mulai turun mereka tak mau segera beranjak dari sungai dengan alasan tanggung baru dapat setengah bak truk. Urusan perut membuat mereka lebih suka main petak umpet daripada menuruti larangan dari yang berwenang.
Bidang pertanian juga masih lumpuh. Hujan abu berhari-hari telah menghancurkan tanaman di ladang-ladang penduduk. Apalagi yang namanya cabe atau palawija, kondisinya sangat mengenaskan. Hanya tanaman padi yang masih bisa bertahan asalkan belum mulai berbulir. Debu vulkanik seolah tak berpengaruh dan tanaman padi tetap saja menghijau di tengah pepohonan lain yang berubah kelabu. Tapi tetap saja ada masalah ketika mereka kesulitan untuk mendapatkan pupuk atau tak punya uang untuk membayar tenaga untuk matun (basa indonesianya matun apa sih..?).
Kondisi terakhir untuk bantuan mempercepat gerak roda perekonomian dari relawan swasta belum terlalu banyak. Mereka masih berkutat di pendataan kebutuhan anak sekolah dan penanganan trauma pasca bencana untuk anak-anak. Dari pemerintah, pendataan baru sampai ke tahap desa dan entah kapan bisa sampai ke masyarakat mengingat panjangnya birokrasi selama ini. Aku harap sih pabeye segera insyaf dan segera memotong jalur birokrasi yang rawan kebocoran ini. Kayaknya ini lebih menarik untuk rakyat daripada mengungkit-ungkit kedudukan Sultan Jogja.
Kalo memang punya otak, tolong pikirkan jeritan para petani Merapi yang ingin kembali ke ladang. Yang tanamannya tidak hancur pun tak berarti mereka tidak gagal panen. Seperti petani di sebelah posko yang mengeluh, tanaman pare nya sekebun pahit semua...
Kapan ga cuma pinter nyunat duit rakyat.
Sunat jalur birokrasi, ndol..!!!