30 November 2010

Geliat Lereng Merapi

Perubahan status dari tanggap darurat ke pasca bencana, walau Merapi sendiri masih dalam status awas, telah cukup banyak merubah keseharian masyarakat di lerengnya. Perekonomian sedikit demi sedikit berusaha menggeliat walau rodanya tak bisa bergerak cepat. Namun ini cukup menggembirakan bila dikaitkan dengan masyarakat yang sempat berubah agresif beberapa waktu lalu. Harapanku mereka tak sampai anarkis seperti ketika gempa Jogja beberapa tahun lalu dimana masyarakat mulai angkat senjata tajam menghentikan kendaraan pengangkut logistik secara paksa dan menjarah bantuan.

Pasar sudah mulai buka biarpun belum ramai pembeli. Ini bisa dimaklumi, sebulan di pengungsian membuat sebagian besar masyarakat tak bisa bekerja dan kehabisan uang. Selain itu, bantuan sembako dari relawan masih terus mengalir walau tak sebanyak dulu.

Penambang pasir juga mulai melakukan aktifitas. Mereka bisa mengambil pasir dari selokan-selokan kecil atau saluran irigasi yang bersumber ke sungai besar pembawa material vulkanik. Sungai yang mendangkal membuat air menyebar ke segala arah melalui selokan dengan membawa serta pasir dan kerikil. Namun cukup banyak penambang yang tak sabar mengais pasir sedikit demi sedikit dari selokan dan memilih langsung turun ke sungai. Ini yang cukup merepotkan relawan dan aparat karena tak jarang ketika hujan mulai turun mereka tak mau segera beranjak dari sungai dengan alasan tanggung baru dapat setengah bak truk. Urusan perut membuat mereka lebih suka main petak umpet daripada menuruti larangan dari yang berwenang.

Bidang pertanian juga masih lumpuh. Hujan abu berhari-hari telah menghancurkan tanaman di ladang-ladang penduduk. Apalagi yang namanya cabe atau palawija, kondisinya sangat mengenaskan. Hanya tanaman padi yang masih bisa bertahan asalkan belum mulai berbulir. Debu vulkanik seolah tak berpengaruh dan tanaman padi tetap saja menghijau di tengah pepohonan lain yang berubah kelabu. Tapi tetap saja ada masalah ketika mereka kesulitan untuk mendapatkan pupuk atau tak punya uang untuk membayar tenaga untuk matun (basa indonesianya matun apa sih..?).

Kondisi terakhir untuk bantuan mempercepat gerak roda perekonomian dari relawan swasta belum terlalu banyak. Mereka masih berkutat di pendataan kebutuhan anak sekolah dan penanganan trauma pasca bencana untuk anak-anak. Dari pemerintah, pendataan baru sampai ke tahap desa dan entah kapan bisa sampai ke masyarakat mengingat panjangnya birokrasi selama ini. Aku harap sih pabeye segera insyaf dan segera memotong jalur birokrasi yang rawan kebocoran ini. Kayaknya ini lebih menarik untuk rakyat daripada mengungkit-ungkit kedudukan Sultan Jogja.

Kalo memang punya otak, tolong pikirkan jeritan para petani Merapi yang ingin kembali ke ladang. Yang tanamannya tidak hancur pun tak berarti mereka tidak gagal panen. Seperti petani di sebelah posko yang mengeluh, tanaman pare nya sekebun pahit semua...

Kapan ga cuma pinter nyunat duit rakyat.
Sunat jalur birokrasi, ndol..!!!
Read More

29 November 2010

Kali Code Meluap

Kegiatan droping logistik hari ini ke daerah Srumbung dihadang hujan deras. Air dari selokan sepanjang pinggir jalan tak mampu menampung banyaknya air sampai meluap ke jalan sampai setengah roda. Kali Putih yang berhulu di lereng Merapi juga kelihatan meningkat pesat debit airnya.

Pakaian basah kuyup dan tak ada lagi pakaian ganti, memaksaku untuk segera pulang ke rumah setelah kegiatan selesai. Memang banyak pakaian pantas pakai menumpuk di gudang. Tapi aku tak biasa mengenakan baju orang lain, jadi rasanya kok males banget dan memilih kembali ke Jogja menerobos hujan lebat.

Cukup menyebalkan ketika selepas Sleman kondisinya terang benderang tak ada bekas air setetespun di jalanan sementara aku bagai tikus kecebur got. Lebih menyebalkan lagi begitu masuk kota, jembatan dekat RS Sardjito ditutup polisi karena kali Code meluap. Belok ke arah Gondolayu kondisinya sama. Hampir sejam cuma dilempar sana-sini oleh polisi yang menutup jalan sampai akhirnya diarahkan ke Malioboro. Sampai perempatan kantor pos sudah mulai macet sepanjang jl Sultan Agung. Jembatan  Sayidan memang tidak ditutup, tapi kondisinya macet parah.

Cukup ironis ketika melihat suasana Jogja yang begitu cerah, sepanjang Malioboro dari stasiun Tugu sampai Gedung Agung begitu padat dengan manusia bersukacita. Namun tak sampai 1 km di sebelah timurnya ribuan orang mengungsi di sepanjang bantaran sungai yang aman. Sepintas air terlihat sudah menenggelamkan rumah dan tampak keruh membawa material vulkanik dari lereng Merapi. Tak bisa diprediksi kali Code akan segera surut atau tambah meluap. Karena walau di Jogja sangat cerah, hujan di lereng Merapi dari siang tadi sampai aku meluncur ke Jogja masih saja deras. Kerugian harta benda pasti cukup besar, tapi aku harap tidak perlu ada korban jiwa.

Hanya itu laporan sepintas kilas dari kali Code. Laporan terakhir dari tipi selepas isya mengatakan debit air masih terus meningkat. Semoga saja segera surut. Yang pasti aku sudah kembali damai bersama keluarga di Kotagede sebelum esok pagi kembali ke lereng Merapi.
Read More

27 November 2010

Kesasar

Menjadi relawan di daerah yang asing membuatku lebih pantas disebut tim kesasar daripada tim sar. Makanya saat orientasi medan tidak dianjurkan untuk bergerak seorang diri agar tidak celingukan saat nyasar. Waktu posko masih di garis belakang rada mendingan karena masih banyak penduduk yang bisa kita tanya arah. Setelah posko ditarik ke garis depan, tak jarang kita temukan perkampungan tanpa penghuni atau tegalan luas yang dipenuhi jalan bercabang-cabang.

Dalam kondisi seperti itu biasanya perasaan yang dipergunakan. Selalu mencari jalan yang arahnya turun gunung, walau kadang jalannya kemudian muter dan naik lagi. Bila cuaca cerah dan puncak Merapi kelihatan, kita bisa memilih jalan yang berlawanan dengan arah puncak. Sayangnya kondisi cuaca lebih sering disaput mendung sehingga puncak gunung atau matahari sulit untuk dilihat.

Kalo cuma mencari arah barat atau utara kita bisa mencari masjid atau kuburan. Tapi mengingat arah menggunakan perasaan tuh tidak bisa diandalkan. Tak jarang kita merasa yakin berjalan ke arah barat, ketika sedikit demi sedikit membelok, kita masih saja merasa ke arah barat. Tak heran bila kita merasa telah berjalan jauh banget, tahu-tahu sudah kembali ke perempatan yang tadi.

Radio komunikasi cukup membantu untuk menghubungi posko dan menanyakan arah kepada yang hapal medan. Namun dengan modal antena sejengkal seringkali sulit menembus lalu lintas di frekuensi yang suka crowded atau diisengin jammer. Alternatifnya adalah hape, walau saat ini mulai banyak yang mengeluh kehabisan amunisi karena memang tidak ada donatur pulsa pantas pakai. Dengan kedua alat ini, yang sering jadi masalah adalah pencarian "ancer-ancer" lokasi. Mending kalo disitu ada sekolahan yang pasti ada papan nama. Soalnya banyak juga perkampungan kosong yang tanpa kejelasan identitas. Papan nama kepala dusun hanya tulisan Kadus 50 m, tanpa ada tambahan dusunnya apa. Ada toko pun cuma pajang tulisan toko anu tanpa tambahan alamat jalan atau rt rw.

Untuk aku sendiri, andalan ketika nyasar adalah GPS yang terpasang di hape. Deviasinya cuma 5 - 20 meter dan ini menurutku lumayan akurat untuk menentukan posisi. Apalagi aku selalu di lapangan terbuka yang pasti bisa menjangkau lebih dari 10 satelit. Peta jalan-jalannya yang menggunakan aplikasi Google Maps juga sudah lumayan komplit. Untuk daerah seputaran Merapi, jalan-jalan kecil sudah masuk peta.

Tapi bukan berarti GPS bisa mengatasi masalah tanpa masalah. Persoalannya GPSku ditracking oleh istriku di rumah. Ketika kelihatan posisiku makin mendekati puncak, dijamin teleponku mulai bertalu-talu. Apalagi kalo tipi sudah mulai mengumbar berita bohong berlebihan tentang Merapi, wah makin rewel deh hapeku.

Tapi syukurlah, sampai saat ini walau banyak relawan yang langganan kesasar, tidak ada yang sampai hilang atau terjadi hal-hal yang fatal. Walau kadang harus muter-muter sampai 3 jam yang penting bisa kembali pulang dengan selamat. Biarpun kalo lewat jalan yang benar harusnya ga sampai setengah jam sudah nyampe...

Tetap semangat kawan...
Read More

25 November 2010

Logistik Kadaluarsa

Ada satu hal yang terlewat di tengah kesibukan mengurusi logistik pengungsi. Satu bulan kegiatan berjalan, baru saat ini ketahuan ada satu dua logistik kadaluarsa atau hampir kadaluarsa. Selama ini kita kurang jeli dan tak pernah memeriksa waktu expired pada bantuan yang masuk posko. Melihat kemasan yang masih bagus yang kita catat hanya jenis dan jumlah barangnya saja.

Kemudian tanpa sengaja ada yang melihat satu produk susu bayi kalengan yang kadaluarsa. Masalah itu kemudian di konsultasikan dengan pihak yang menyumbang dan diperoleh keterangan bahwa mereka bukan tak tahu kalo produk itu hampir kadaluarsa. Justru karena hampir kadaluarsa dan stoknya banyak di gudang makanya disumbangkan untuk pengungsi. Asumsi mereka, produk itu akan langsung dikonsumsi habis dengan segera sebelum tanggal tercantum.

Padahal kenyataan di lapangan, untuk masyarakat pedesaan produk susu bayi masih dianggap barang mewah yang dihemat pemakaiannya. Bila aturan membuat satu gelas dibutuhkan susu 4 sendok makan, bagi mereka cukup satu sendok susu ditambah gula supaya manis. Dengan kondisi semacam itu, susu kaleng ukuran 800 gram yang semestinya tak sampai sebulan konsumsi habis, bisa bertahan sampai 3 bulan bahkan lebih. Apalagi produk obat-obatan pasti akan disimpan lebih lama sebagai persediaan. Apalagi saat menyerahkan bantuan kita tak pernah mengingatkan mereka akan hal itu. Relawan saja sampai lupa tentang waktu kadaluarsa, apalagi pengungsi yang pasti lebih komplikasi keadaannya.

Akhirnya mulai diadakan penyortiran logistik sebelum diserahkan kepada warga. Produk makanan dan susu dibatasi minimal 3 bulan. Apabila terpaksa harus dibagikan karena stok kurang, akan diberi peringatan kepada yang menerima agar langsung dikonsumsi dan jangan dijadikan persediaan. Yang kurang dari sebulan diputuskan khusus untuk kalangan sendiri itung-itung perbaikan gizi relawan.

Semoga saja bisa jadi perhatian buat kita semua saat menyumbang untuk bencana, agar bisa lebih hati-hati dan tidak menjadi musibah tambahan pasca bencana.

Mobile Post via XPeria
Read More

24 November 2010

Wisata Bencana

Kondisi pasca bencana ini memang lebih sulit penanganannya. Masyarakat kadang menganggap kondisi sudah kondusif sehingga kewaspadaan mulai mengendur. Ancaman bahaya yang mereka lihat tiap hari juga membuat mereka terbiasa dan tak lagi melihat itu sebagai potensi bahaya.

Lava atau lahar panas relatif lebih mudah diantisipasi karena jarak jangkaunya yang terbatas. Masyarakat pun lebih mudah diatur untuk mencegah dampak bahayanya karena diawali dengan letusan dan gemuruh di puncak gunung. Berbeda dengan lahar dingin yang diawali hujan lebat kadang kurang diwaspadai masyarakat. Lahar yang telah dingin di sepanjang hulu sungai menyisakan lumpur dan bebatuan yang tak jarang berukuran jumbo.

Hujan lebat akan membawa material itu ke hilir sungai. Ini yang membuat setiap jembatan harus diwaspadai terutama jembatan yang memiliki penyangga di tengah sungai. Tak jarang jembatan kelihatan utuh, tapi penyangganya telah rontok dihantam bebatuan yang dibawa banjir. Kadang banyak pepohonan yang hanyut dan nyangkut di jembatan. Akibatnya aliran lahar dingin ini tersumbat dan tak bisa mengalir lagi. Dalam kondisi lahar tertahan di jembatan ini, kita tinggal menungu saja kapan rangka jembatan tak lagi mampu menahan beban yang sedemikian berat. Ilustrasi lebih jelas untuk kondisi ini bisa dilihat di video pada posting terakhir kemarin.

Setelah aliran sungai mampet, kondisi hujan lebat akan membuat banjir meluap keluar sungai. Melanda pemukiman beserta material vulkanik yang dibawanya. Pemerintah sendiri sudah mengingatkan radius 1km dari sungai sebagai daerah bahaya. Tapi kayaknya cuma bisa mengingatkan saja tanpa pengawasan yang ketat dan rutin. Semantara relawan yang kebagian memantau sungai tak punya kekuatan untuk memaksa penduduk dan hanya bisa memberi anjuran saja.

Sayangnya ketika jembatan harus terus dipantau seperti saat ini, masyarakat seringkali menjadikan itu sebagai tontonan menarik. Tak cuma di tepi sungai, di tengah jembatan seringkali dipenuhi wisatawan bencana. Rasa terbiasa dalam benak mereka membuat mereka susah untuk diperingatkan. Bisa dibayangkan bila tiba-tiba jembatan runtuh dihantam banjir batu ini. Seharusnya aparat keamanan yang punya wewenang memaksa atas nama undang-undang lebih banyak dikerahkan untuk masalah ini. Bagaimanapun mereka warganegara yang harus dilindungi keselamatannya.

Semoga keadaan ini bisa cepat membaik...

Siaran langsung dari si manis jembatan Senowo di km 7 dari puncak Merapi...

Mobile Post via XPeria

Read More

23 November 2010

Kembali ke Garis Depan

Niat menjadi relawan jarak jauh kemarin, sepertinya harus diurungkan. Terlalu lamanya masa bencana mulai membuat sebagian relawan jenuh. Belum lagi mereka yang punya kepentingan seperti pekerjaan atau kuliah, mau ga mau harus segera meninggalkan posko. Ekspos media yang menyatakan Merapi sudah kondusif membuat bantuan logistik dan jumlah relawan makin berkurang. Padahal kebutuhan untuk itu justru bertambah tinggi.

Beberapa posko yang ada sudah mulai berteriak-teriak kekurangan tenaga. Bahkan ada yang harus bergabung dengan posko terdekat karena tak punya relawan lagi.

Kondisi di ring km 10 memang masih mengkawatirkan. Seperti saat ini kondisi hujan deras telah mengakibatkan banjir lahar dingin. Warga di sekitar sungai sudah mulai diungsikan kembali. Setiap jembatan harus dipantau untuk mengantisipasi kalau-kalau penyangganya runtuh dihantam batu-batu segede kerbau yang terbawa bajir. Petir yang bersahut-sahutan juga menutupi suara gemuruh dari puncak Merapi sehingga apa yang terjadi di puncak sulit untuk diprediksi. Jarak pandang juga cukup terbatas oleh derasnya hujan.

Warga di ring km 5 juga mulai dipersiapkan untuk bisa evakuasi sewaktu-waktu terutama mengantisipasi jembatan di jalur evakuasi yang mulai mengkhawatirkan. Ditakutkan pada saat harus evakuasi mereka tak bisa menyebrang karena jembatan runtuh. Apalagi sejak pagi tim dari Taman Nasional Merapi menginformasikan satwa liar seperti harimau mulai turun gunung mendekati pemukiman di km 5. Mereka juga butuh relawan untuk penyelamatan satwa liar.

Demikian informasi terkini dari lereng barat Merapi sambil menunggu hujan reda dan banjir lahar dingin surut.





NB
Mohon bantuan agar dipublikasikan kepada teman-teman yang bersedia jadi relawan agar bisa membantu posko Merapi. Bantuan logistik terutama sembako juga masih sangat dibutuhkan. Informasi lebih lanjut silakan hubungi nomerku 081 391 634 777
Terima kasih...

Mobile Post via XPeria

Read More

22 November 2010

Roso..!!!

Menyimak sepak terjang pengelola negara ini akhir-akhir ini, aku kok makin merindukan adanya sebuah revolusi yang bisa memformat ulang sistem kenegaraan. Bila perlu pakai low level format, karena instal ulang sampe mencret pun tak akan bisa lagi memperbaiki kerusakannya. Bagaimana mungkin bisa menjadi baik bila berbagai aplikasi dipasang di sistem penuh virus yang selalu membuat berbagai file corrupt.

Mau jadi polisi atau PNS saja sudah harus menyiapkan modal puluhan juta. Trus berapa lagi yang harus disiakan untuk jadi pejabat..? Bisakah menjadi pejabat yang tak jahat bila gaji bulanan tak mampu menutupi modal awalnya..?

Makanya ketika ada berita anggota hewan jalan-jalan dan tak mau peduli pada sapi perahannya yang telantar, aku sudah tak ingin mengelus dada lagi. Pengen banget kuelus-elus jidat mereka pake arit. Mungkin itu sebuah niat yang diluar perikemanusiaan. Tapi yang ingin kulihat isi otaknya itu bukan manusia kok.

Atau ketika "yang terhormat" menyalahkan mereka yang tinggal di pantai atau di gunung yang akibatnya menjadi korban, cuma satu kata yang ingin aku bilang, dagadu..!!! Boro-boro bisa meneladani apa yang jadi pendirian teguh Mbah Marijan. Ini malah dengan santainya mengatakan sang guru itu mati konyol karena kepalanya yang keras.

Andai saja mereka sempat ngobrol bersama simbah tentang kehidupan, tentu mereka tak akan bicara begitu. Pehamanan filosofi beliau tentang hidup teramat dalam. Aku pun tak pernah mau dengar bila dikatakan beliau keras kepala. Bukan keras kepala, tapi keteguhan hati seorang prajurit sejati. Beliau mengungsi hanya untuk mengantar masyarakatnya saja dan setelah itu kembali ke rumahnya seorang diri. Tugasnya sebagai penjaga gunung tak akan beliau sampai desersi apapun kondisinya. Melarikan diri dari tugas adalah sebuah kepengecutan yang hina. Dan gugur dalam tugas adalah syahid.

Ada yang bisa disimak dari satu ucapan beliau dalam sebuah iklan. Roso..! Mungkin karena berada dalam iklan minuman energi, kita suka mengartikannya sebagai rosa. Teriakan itu kita artikan sebagai keperkasaan beliau sebagai penjaga gunung Merapi. Namun bila kita mau menilik tentang filosofi hidupnya, roso itu sebenarnya beliau artikan sebagai rasa.

Ya, rasa...
Itu sebuah kunci untuk menjalani hidup dengan baik. Sebagai makhluk sosial kita memang harus bisa mendalami kata rasa dan rumangsa. Agar kita tak terjebak kedalam kata rumangsa bisa (merasa bisa), tapi tetaplah berpegang pada bisa rumangsa (bisa merasa). Dengan rasa ini paling tidak kita bisa menelaah setiap perbuatan yang akan kita lakukan. Sebelum kita mencubit orang lain, paling tidak kita coba rasakan bagaimana rasanya kita dicubit orang. Melihat orang lain dalam bencana, tak ada salahnya kita coba merasakan andai saja yang di tengah bencana itu kita.

Pejabat yang bilang mbah Marijan konyol, seharusnya mau mendalami ajaran-ajaran beliau. Sehingga terasah rasa dan perasaannya dalam menjalankan tugas negara yang adalah amanat rakyat. Rasa memiliki itu berarti bahwa amanat itu harus diemban sampai titik terakhir. Bukannya diartikan mereka bebas memiliki duit rakyat yang jadi tanggung jawabnya. Dan ketika terjadi masalah dengan mudah mereka lari ke luar negeri meninggalkan tanggungjawabnya.

Adalah aneh ketika ada relawan dengan semangat mbah Marijan mau bergerak ke km 5 pasca evakuasi untuk meyakinkan tidak ada masyarakat menjadi korban dikatakan sembrono oleh yang berwenang. Tapi aparat yang mencuri start mengungsi sementara  ribuan jiwa masih bertahan di garis depan adalah sebuah strategi penyelamatan. Mengibarkan bendera merah putih di garis terdepan bukan dianggap sebagai motivator agar masyarakat tetap semangat menghadapi bencana, melainkan dianggap tindakan konyol sok heroik. Lalu yang merasa jadi pengayom masyarakat tuh aparat atau relawan sih..?

Kenapa tetap harus ada rasa..? 
Idealisme saja tak cukup. Memang sejarah mencatat suksesi kekuasaan kita seringkali diawali oleh para pemuda di jalanan. Tapi idealisma tanpa rasa membuat mereka lupa panasnya jalanan setelah mereka duduk di lingkaran kekuasaan. Coba saja cari, siapa veteran pejuang jalanan yang masih keras teriakannya ketika kursi mereka sudah terasa empuk. Tetap kembali ke filosofi hanacaraka dimana mereka akan selalu berbunyi dalam segala kondisi dan baru mati setelah dipangku.

Besar harapanku, pemahaman mbah Marijan bisa berinkarnasi dan meracuni otak-otak muda agar bisa segera melakukan format ulang sebelum reinstal sistem kenegaraan ini. Tanpa revolusi negara ini tak akan ada perubahan. Tak apalah bila harus jatuh korban. Karena tanpa perubahan segera, justru akan lebih banyak masyarakat yang dikorbankan oleh para pemilik modal dan kekuasaan.

Untuk perubahan ini, aku siap jadi relawan.
Minimal relawan bagian misuh-misuh di blog...
Hehehe payah...
Read More

21 November 2010

Bencanarsisme

Narsis memang sudah menjadi bagian dari sifat manusia yang sulit untuk dihilangkan di tengah bencana sekalipun. Apalagi di jaman orang gemar berbagi cerita secara online seperti sekarang. Ketika berada di tengah bencana sedang menjadi trend, rasanya tak afdol kalo orang lain tak tahu bahwa kita peduli dengan hal itu.

Banyak sekali relawan datang dan pergi silih berganti dengan berbagai motivasi. Sayangnya yang berasas narsisme cukup banyak. Bawa logistik tak seberapa tapi yang ngantar sampai 2 mobil. Mereka ga mau menyerahkan bantuan ke posko, tapi minta diantar kesana kemari untuk menyerahkan langsung ke pengungsi. Maunya ke tempat pengungsian yang ribuan orang biar pas foto-foto latar belakangnya ga hanya satu dua obyek pelengkap penderitanya. Biar kelihatan keren buat diaplut pesbuk, katanya. Ribet, tapi mau menolak jadi penunjuk jalan kok kesannya kejam amat. Orang mau beramal kok ga dibantu.

Yang agak mencolok kayaknya mereka yang bergerak dibidang medis. Biasanya mahasiswa dari beberapa universitas terkemuka di negara ini. Mereka sepertinya terlalu bernafsu ingin menjangkau semua pengungsi yang ada, sehingga tak pernah mau stay di satu lokasi yang membutuhkan. Lebih suka keliling-keliling lalu sorenya pulang ke hotel di Jogja. Padahal sebagian pengungsi itu suka pulang ke rumahnya kalo siang hari dan baru kembali ke pengungsian menjelang malam. Bagaimana bisa mencapai sasaran bila mereka tak mau tinggal bersama pengungsi siang malam.

Sudah jelas lokasi pengungsian yang di tengah kota dan mudah terjangkau selalu ada yang ngurus, mereka suka menolak kalo diajak ke daerah terpencil. Salah satu alasan yang paling menyebalkan bila diajak ke pelosok adalah, "mobil saya bisa masuk kesana engga..? Aman engga..?"

Kalo mau aman, bobo saja di rumah. Takut mobilnya lecet, kenapa ga disimpen saja di akuarium. Heran juga dengan pemikiran mereka yang katanya terpelajar itu. Sudah tahu mau ke daerah bencana, kok bawa sedan. Saat mereka bilang ga sanggup nyetir melihat kondisi jalan, kenapa menolak ketika aku menawarkan diri jadi sopir tembak. Lebih payah lagi, alternatif mobil mereka ditinggal lalu ikut naik pick up ku juga ditolak dan lebih suka balik kanan untuk cari lokasi pengungsian lain yang mudah dijangkau.

Tapi itu tak begitu jadi masalah walau suka bikin jengkel. Bagaimanapun mereka relawan yang tak digaji. Yang paling menyebalkan adalah narsisnya para pejabat yang lebih suka aku sebut mereka berwisata bencana. Kalo benar ingin menghayati apa yang dirasakan rakyatnya, kenapa tidak bekpekeran saja sih. Kenapa pula tanah becek berlumpur harus diurug dulu agar sepatu yang terhormat tidak belepotan. Datang dikawal patwal dengan sirene meraung-raung menyuruh orang lain menyingkir dari jalanan. Di pengungsian cuma mau action mencicipi nasi bungkus jatah pengungsi didepan kamera tipi. Setelah itu kembali ke tempat tidurnya yang empuk melupakan semua basa basi tadi. Berapa anggaran dana negara untuk jalan-jalan mereka. Belum lagi sejumlah pejabat bawahannya yang jadi buntut kesana kemari yang tentunya juga dibiayai dengan uang rakyat. Kayaknya lebih afdol kalo anggaran jalan-jalan itu dikasihin langsung ke pengungsi, bos...

Paling parah adalah bila ada kunjungan pejabat pemerintah yang merangkap pejabat partai. Sudah jelas-jelas disebutkan bantuan yang dibawa itu atas nama kementrian anu, tapi kenapa di sekitar lokasi kunjungan banyak bendera partai berkibar. Ini sama menyebalkannya dengan ketika awal bencana banyak satgas partai berebut tempat pengungsian yang akan dikelolanya. Bukan aku tak suka partai berbuat baik. Tapi kalo memang niatnya ikhlas membantu sesama, kenapa mereka pilih-pilih pengungsian yang di pinggir jalan dan lokasinya strategis. Bukan strategis untuk mobilitas logistik saja, tapi untuk menempatkan logo dan bendera partai agar mudah dilihat dari segala penjuru.

Di luar lokasi bencana pun, budaya pamer semacam itu cukup kentara. Yang menyolok mungkin budaya memberikan sumbangan melalui stasiun tipi. Entah benar mereka percaya kepada lembaga itu atau hanya karena waktu penyerahan disiarkan secara langsung aku ga begitu mengerti. Cuma sempat heran ketika liat di tipi, banyak kelompok masyarakat yang sebenarnya lebih dekat jarak tempuhnya ke Merapi memilih merapat ke stasiun tipi. Malah ada club motoris dari daerah Ciamis selatan yang sengaja konvoi naik sepeda motor ke Jakarta untuk menyerahkan amal baiknya.

Salahkah semua itu..?
Tentu saja tidak karena itu memang budaya sebagian dari kita kita. Toh antara "rila" dan "riya" cuma beda satu huruf saja. Kalo narsis itu dilarang, aku ga bisa cerita tentang pengungsi Merapi dong. Wong aku banyak nulis begini juga karena narsis. Karena aku juga ingin bilang, "apa yang aku berikan dengan tangan kanan, tangan kiriku ga boleh tahu. Tapi kalo wartawan tipi tahu, itu lebih bagus..."

Read More

20 November 2010

Semakin Berat

Langit di sekitar Merapi semakin tampak cerah dari lapangan Pasturan Muntilan. Batas wilayah bahaya sudah mulai diturunkan tak lagi 20 km. Beberapa lokasi pengungsian pun mulai kosong ditinggalkan penghuninya kembali ke desanya masing-masing.

Sepintas ini merupakan berita gembira untuk banyak orang, terutama bagi relawan yang mulai mengalami kelelahan fisk dan mental setelah hampir sebulan hidup di daerah bencana. Namun kenyataan tak seindah itu. Ribuan pengungsi di ring 5 - 10 km masih membutuhkan dukungan penuh. Padahal sumbangan logistik dari para donatur sudah semakin berkurang jumlahnya. Mungkin ekspos media yang mulai sepi dan tak lagi menganggap Merapi sebagai good news turut berperan dalam hal ini. Bila beberapa waktu lalu, setiap hari selalu ada truk atau donatur yang mampir ke posko untuk menawarkan logistik, sekarang sudah harus mulai dicari-cari.

Selain kerawanan dari penduduk setempat atau dari pengungsi gadungan seperti yang aku tulis di jurnal sebelumnya, kerawanan baru juga muncul dari pengungsi yang kembali atau bersiap-siap kembali ke desanya. Ketika awal-awal mengungsi, mereka cukup selektif dengan bantuan yang kita tawarkan. Misalkan stok beras mereka masih cukup, mereka akan menolak saat kita kirim beras lagi dan minta yang lain seperti pakaian atau laukpauk. Menjelang pulang kampung, rupanya mereka tak lagi mikir kebutuhan makan dan berteduh saja seperti awalnya. Mereka mulai berpikir bahwa mereka tidak punya uang untuk beres-beres rumah atau memulai usaha. Sehingga mereka mulai serakah dengan bantuan logistik dan tak lagi pilih-pilih, apa saja diterima.

Aku sendiri menemukan penjelasannya tak sengaja ketika melihat ada pengungsi yang kemarin sore aku drop bantuan, pagi ini lagi jualan masker di perempatan. Aku sempatkan ngobrol dan dari situ aku tahu bahwa mereka sedang getol-getolnya menimbun logistik untuk dijual. Hasilnya katanya akan dibagi rata kepada semua pengungsi di TPS tersebut sebagai persiapan saat kembali ke kampungnya.

Pantas saja dalam dua hari terakhir ini, permintaan bantuan ke posko semakin banyak saja. Tak cuma dari pengungsi yang masih di TPS, pengungsi yang sudah kembali ke kampungnya dan masyarakat setempat yang tak mengungsi pun mulai ribut kadang setengah maksa minta logistik.

Sebuah dilema kemanusiaan memang. Tapi mau gimana lagi, pengungsi yang berada di wilayah bahaya masih ribuan sementara sumbangan logistik makin susah didapat. Apalagi kita belum ada koordinasi tentang penanganan pasca bencana dan masih tetap pada komitmen awal untuk menangani pengungsi. Jadi, walau tak jarang harus menerima sumpah serapah masyarakat, kita tetap berjalan hanya untuk pengungsi.

Penciutan wilayah bahaya nyatanya tidak memperingan tugas relawan yang masih mau bertahan. Semoga saja masih ada satu dua donatur tersisa yang masih belum merasa bosen membantu kita di lapangan menyediakan kebutuhan pengungsi. Lelah dan mulai jenuh memang. Tapi ini panggilan kemanusiaan.

Andai saja pejabat di pemerintah kita adalah manusia, harusnya mereka tahu itu dan sigap ambil tindakan untuk melanjutkan tugas kita. Bila memang kepedihan pengungsi tak mampu menyentuh sisi kemanusiaan mereka, seharusnya kelelahan relawan bisa sedikit menggugah hati nurani. Masa jayus saja dikasih cuti dan liburan ke Bali, relawan kebelet pipis saja harus ngempet sekian lama.

Kapan ya, Depkeu buka lowongan relawan untuk posisi jayus..?
Read More

17 November 2010

Masalah Merapi Mulai Bergeser

Memasuki satu bulan masa bencana, satu persatu permasalahan mulai bergeser dari kondisi awal. Seperti misalnya di bidang kesehatan. Bila semula ketiadaan air bersih jadi masalah, kini MCK dan instalasi air bersih sudah mulai teratasi oleh relawan atau LSM yang bergerak dibidang itu. Relawan kesehatan pun semakin banyak baik yang stay maupun mobile. Namun ketiadaan relawan yang bergerak dibidang pengelolaan sampah membuat diare masih tetap menjadi keluhan di kalangan pengungsi. Mereka yang sejak awal merasa tak bermasalah membuang sampah di sekitar rumah atau barak baru saat ini terasa efeknya. Terutama ketika sampah organik mulai membusuk dan dipenuhi lalat. Masih mending yang tempat pengungsiannya di sekitar kota, sekali waktu masih ada petugas DKP keliling mengambil sampah yang menggunung.

Keluhan sesak nafas akibat debu vulkanik juga makin banyak disampaikan masyarakat. Pada awal-awal masa bencana ketika hujan abu masih begitu tebal, mereka memang lebih suka diam diri di rumah dan mengenakan masker setiap waktu. Setelah hujan abu reda, masker cenderung dianggap pengganggu. Padahal tumpukan debu di sekitar rumah apalagi di jalanan masih saja beterbangan ditiup angin atau ada kendaraan lewat. Apalagi di kalangan anak-anak, mereka yang menggunakan masker makin jarang terlihat.

Yang agak menyolok mungkin di bidang sosial ekonomi. Penduduk setempat yang semula menolong pengungsi kini mulai kehabisan bahan pangan karena roda perekonomian memang belum jalan. Ini berlawanan dengan pengungsi yang mulai kecukupan logistiknya dari berbagai bantuan yang masuk. Ketiadaan alokasi bantuan untuk warga setempat mulai memicu kecemburuan sosial. Ini membuat mereka yang merasa dirinya "yang punya kawasan" mulai agresif dan berani mencegat-cegat mobil relawan yang akan mengirim logistik ke tempat pengungsian. Sampai-sampai sejak dua hari lalu terbit instruksi dari Kompak Merapi, dropping logistik keluar kota dilarang dilakukan malam hari dan sangat dianjurkan untuk meminta pengawalan polisi atau TNI.

Kasus lain dalam satu minggu terakhir ini adalah mulai munculnya pengungsi gadungan yang meminta-minta bantuan. Sehari kemarin saja dari sekitar 15 permintaan bantuan, sepertiga diantaranya data palsu. Sepintas data yang masuk sepertinya komplit sekian ratus pengungsi dengan rincian anak-anak sekian, balita sekian, difabel sekian dan kebutuhan mendesak ini itu dst dst. Tapi ketika disurvai ke lokasi, ternyata di alamat tercantum tidak ada tempat pngungsian sama sekali. Lebih payah lagi ternyata dari beberapa permintaan untuk lokasi yang berbeda, bentuk tulisan tangannya hampir mirip. Makanya sejak kemarin, permintaan bantuan dengan cara mengambil sendiri ke posko hanya dilayani untuk paket rumah tangga saja. Paket bantuan besar untuk tempat pengungsian tidak boleh diambil dan akan diantar sampai ke tempat. Dan semua data yang masuk tetap akan disurvai agar kasus bantuan salah sasaran bisa diminimalisir.

Banyaknya pergeseran masalah itu tak cuma terjadi di kalangan pengungsi saja. Relawan pun tak jauh berbeda. Terutama di kalangan bapak-bapak yang hampir sebulan ini meninggalkan anak istri. Bila semula mereka begitu fokus dengan penanganan korban erupsi Merapi. Kini otaknya mulai eksplosif akibat gejala korban ereksi...
Read More

16 November 2010

Setor she late...

Puskesmas Sawangan II Magelang 15 Nopember 2010, tiba-tiba menjadi ramai dan banyak petugas medis siap siaga. Aku pikir ada mobilisasi umum tenaga medis pemerintah yang selama ini mblegedreg menangani pengungsi. Ternyata salah besar...

Hari-hari sebelumnya, petugas medis disitu tak pernah stand by 24 jam. Bahkan menurut pengakuan relawan yang disitu, tak jarang mereka cuma nongol 2 atau 3 jam saja dalam sehari. Sampai-sampai relawan sering kelabakan ketika ada pengungsi gawat darurat yang butuh bantuan medis. Untung saja petugas medis TNI sering bolak-balik, jadi tak perlu terlalu banyak misuh-misuh ketika ada yang sakit.

Yang agak parah adalah ketika ada sumbangan atau donasi kemanusiaan masuk. Barang-barang itu seolah haram bila langsung diterima pengungsi dan harus masuk gudang dulu. Padahal sampai saat ini judulnya belum pernah berubah, yang pegang kunci gudang tak selalu ada di tempat.

Dan mendadak siap siaganya para petugas medis kemarin itu, ternyata bukan karena mereka telah sadar akan tugasnya atau minimal telah tergugah rasa kemanusiaannya. Tapi cuma mau setor silit berkaitan adanya kunjungan dari MerC Singapore yang cukup besar donasinya dalam penanganan bencana Merapi ini.

Padahal mereka bertugas di ring 2 wilayah bahaya. Bagaimana dengan mereka yang jauh di Jakarta sana.. Sampai kapan budaya narsis semacam ini akan tetap bertahan dalam diri petugas negara kita..? Ga merasa bersalah apa ya, bikin aku misuh-misuh setiap waktu..?

Mobile Post via XPeria

Read More

15 November 2010

Yue Liang Dai Biao Wo De Xin

Pertama kali aku kenal lagu ini dari seorang penyanyi cafe di ruang karaoke tanpa aku tahu artinya. Yang aku tahu saat itu cuma penyanyinya cakep, itu saja...

Kali kedua aku dengar lagu itu di cafe yang sama di ruangan dan pelantun yang berbeda. Kali itu istriku yang membawakannya. Sehingga aku tak lagi berpikir tentang penyanyinya, tapi lirik dan lagunya. Apalagi melihat ekspresi dan penghayatan atas lagu itu. Pokoknya ehm deh...

Ketika istri mulai hamil tua, tak pernah ada lagi kesempatan keluyuran ke cafe, sehingga lagu itu pun sempat lenyap dari ingatan. Namun entah kenapa, di saat-saat banyak berpisah dengan keluarga aku kembali teringat akan lagu itu. Apalagi ketika duduk menyendiri di teras posko di lantai 2. Memandang lingkungan sekitar yang hancur erupsi Merapi dan melihat matahari bagaikan bulan tertutup debu vulkanik.

Namun selama ini aku merasakan rindu melalui lagu itu, baru saat ini aku cari lirik dan artinya.



ni wen wo ai ni you duo shen
Wo ai ni you ji fen

Wo de qing ye zhen
Wo de ai ye zhen
Yue liang dai biao wo de xin

Wo de qing bu yi
Wo de ai bu bian
Yue liang dai biao wo de xin

qing qing de yi ge wen
Yi jin da dong wo de xin
Shen shen de yi duan qing
Jiao wo si nian dao ru jin

ni qu xiang yi xiang
Ni qu kan yi kan
Yue liang dai biao wo de xin


You ask me how deep my love for you is.
I love you how much.
My affection is real.
My love is real.
Moon represents my heart.
You ask me how deep my love for you is.
I love you how much.
My affection is real.
My love is deep.
Moon represents my heart.
One soft kiss
already move my heart.
A period of time when our affection was deep,
make me miss you until now.
You ask me how deep my love for you is.
I love you a bit.
My affection does not change.
My love is not different.
Moon represents my heart.

I misyupul, sayang...

Read More

14 November 2010

Mbah Marijan & Synchronization Beam Cycle

Merapi mboten nopo-nopo, anteng mawon, nek mbangun lan reresik niku biasa. Nek pas Merapi mbangun, aja nyebut nek Merapi njebluk. Nek aku ora ngono anggonku nyebut, ning aku nyebut kanthi, assalamu'alaikum, duh gusti kula nyuwun wilujeng...

Merapi tidak apa-apa, tenang saja, kalo mbangun atau bersih-bersih itu biasa. Kalo pas Merapi mbangun, jangan mengatakan meletus. Kalo aku tidak begitu menyebutnya, tapi aku nyebut, assalamu'alaikum, duh Gusti saya mohon keselamatan...

Kata-kata legendaris dari mbah Marijan yang telah gugur dalam tugasnya menjaga Merapi. Banyak memang yang mengatakan ucapan dan perilaku simbah sebagai sebuah kekeraskepalaan atau kebodohan. Tapi buat aku tidak. Itu merupakan sebuah ucapan adilihung seorang guru.

Kenapa kita begitu ketakutan dengan bencana, karena kita selalu melihatnya dari sisi negatif, sebagai musibah. Bila kita bisa melihatnya secara positif, sebagaimana mbah Marijan mengatakannya sedang membangun atau bersih-bersih, tentu ketakutan semacam itu tak perlu terjadi. Seperti ketika posko kekurangan kendaraan untuk mengangkut logistik, aku sempat muter-muter cari pinjaman kendaraan. Aku sudah pilih-pilih teman yang punya pick up dan jelas jarang dipakai atau saat itu sedang tidak dipakai. Permintaanku ditolak dengan alasan takut rusak dibawa ke daerah bencana.

Makanya aku terharu dengan teman-teman yang bersedia bergabung di posko. Apalah artinya harta benda, mereka siap mempertaruhkan nyawa masuk sampai ke ring 5 km dari puncak hanya untuk menyelamatkan jiwa saudara-saudara kita. Bodohkan mereka sebagaimana mbah Marijan di mata sebagian orang..? Penerus prinsip mbah Marijan iya, namun bodoh 100% tidak. Justru mereka berbuat itu karena memang telah melihat semua ini bukan sebagai musibah, tapi cara alam membersihkan kotoran yang dibuat oleh manusia. Bila ada yang tetap ngotot menganggap masuk daerah bencana apapun alasannya sebagai kebodohan, mereka pasti melewatkan kata-kata simbah bagian akhir, duh Gusti kula nyuwun wilujeng...
Sebuah kepasrahan umat kepada Tuhannya secara utuh dan bukan basa basi lagi...

Untuk yang masih menyangkal makna kata bersih-bersih, aku coba buka hasil googling tentang letusan gunung Eyjafjallajoekull (bacanya gimana, mbuhlah..) di Eslandia yang telah membatalkan 60% penerbangan di atas benua Eropa. Gunung susah sebut itu  menyemburkan sekitar 150 ribu ton gas CO2 ke atmosfir setiap hari. Pencemaran udara yang luar biasa memang. Tapi tunggu dulu, industri penerbangan Eropa setiap hari mengotori udara dengan CO2 sebanyak 344 ribu ton. Dengan dibatalkannya 60% penerbangan, berarti telah mengurangi pencemaran sebanyak 206 ribu ton CO2 per hari. Jadi secara enviromental, diluar aspek ekonomi dll, letusannya telah mengurangi pencemaran CO2 di udara lebih dari 50ribu ton perhari. Data lebih jelasnya bisa dibaca disini.

Data semacam ini untuk gunung Merapi atau lainnya di Indonesia belum aku temukan. Namun yang pasti sawah atau perkebunan pasti akan lebih subur pasca hujan abu vulkanik. Dikaitkan dengan istilah mbangun atau reresik, seperti kita ketahui, areal pertanian saat ini begitu jenuh dengan pupuk dan zat kimia yang residunya berbahaya. Ajakan untuk back to nature dengan merubah pengelolaannya ke pertanian organik, kurang mendapat respon. Mungkin karena manusianya susah dirubah, makanya alam ngambek dan merubahnya dengan cara dia sendiri. Wallahu'alam..

Sedikit melenceng dari topik...
Bila kita mau menelaah lebih jauh tentang Galatic Synchronization Beam Cycle alias 13 baktum yang dibuat oleh kaum Maya dalam kalendernya, tentu akan menemukan tentang ramalan 2012. Aneh memang bila banyak dari kita yang mengatakan itu ramalan tentang kiamat. Padahal bagi orang Maya sendiri itu hanya perputaran siklus yang telah habis ke titik awalnya. Hanya saja di perpindahan siklus itu ada proses mbangun atau bebersih oleh alam terhadap isinya. Ini hampir identik dengan pergantian millenium kemarin yang menimbulkan sedikit masalah dalam dunia komputer yang dikenal dengan nama Y2K. Nyatanya dengan persiapan yang matang, masalah yang dibawa waituki tak terlalu merepotkan.

Pengembalian siklus dari baktum 13 ke baktum 0 Mayan Calendar memang identik dengan berbagai musibah yang bisa mengurangi jumlah populasi manusia. Penggemar ancient science tentu tahu bagaimana benua Atlantis dan Mu yang begitu maju dimusnahkan oleh alam dengan caranya sendiri. Penganut agama samawi tentu meyakini banjir Nuh yang menghabiskan seluruh umat manusia kecuali yang ada di bahtera. Bahkan bisa saja Adam dan Hawa merupakan 2 orang yang sengaja disisakan ketika alam sedang bersih-bersih dari kekotoran yang dibuat manusia sebelumnya.

Apakah bencana-bencana global itu bertepatan dengan habisnya Baktun Transformation of Matter (Baktum 13) masuk ke Baktun of the Star Planting (Baktum 0) tidak ada kejelasan yang pasti. Tapi secara iseng, bila kita gunakan hitung-hitungan tanpa kejelasan ilmiah seperti yang aku tulis di Manusia Sebelum Adam, Nuh hidup sekitar 3 ribu tahun lalu. Ini hampir pas dengan perhitungan kalender Maya dimana baktum 0 berada di periode 3113 - 2718 tahun yang lalu. Namun sekali lagi ini tidak ilmiah hanya gothak gathik gathuk...

Bencana besar-besaran pada 2012 memang tidak tertutup kemungkinannya. Mengingat akhir-akhir ini banyak bencana yang tidak terprediksi seperti semburan lumpur lapindo yang tak juga habis. Banyak pula gunung-gunung yang telah dianggap mati tiba-tiba kembali aktif seperti gunung Sinabung beberapa waktu lalu. Kita tentu masih ingat bagaimana gunung Pinatubo di Filipina yang telah diam selama 600 tahun tiba-tiba meluluhlantakkan Baguio. Bila gunung-gunung tidur itu tiba-tiba hidup lagi, bagaimana dengan gunung Lawu atau Merbabu yang telah menyimpan energinya selama lebih dari seribu tahun..?

Percaya atau tidak semua itu kembali ke pemahaman kita masing-masing. Tak perlu kita ketakutan menganggap mbangun dan reresik itu sebagai hal yang negatif. Apalagi sampai mengharamkan semua opini tentang 2012. Pahamilah semuanya secara positif karena pada hakekatnya manusia hanya sakdermo nglampahi. Wajar kita dibersihkan dari alam dunia bila memang kita tekah penuh kotoran. Karena alam sendiri punya sistem manajemen yang disebut mamayu hayuning bawana. Yang penting adalah kita selalu ingat dan nyebut, duh Gusti kula nyuwun wilujeng...

Keep open your mind pren...
Read More

13 November 2010

2010 Merapi Giant Eruption (VEI = 4)

Sekedar berbagi untuk: NG society, VSI & netters

Selasa, 9 November 2010 akhirnya teka teki letusan paroksismal (besar2an) tidak terjadi. BPPTK melalui release resminya menyatakan bahwa merapi sudah melewati masa kritisnya setelah erupsi selama lebih dari 10 hari dengan indeks letusan VEI = 4. Jumlah material terbukti yang dikeluarkan oleh merapi lebih dari 130 juta meter kubik (letusan 2006 hanya 12 juta meter kubik), dan membuat letusan kali ini menjadi letusan terbesar dalam 500 tahun tahun terakhir (500 tahun ini saya asumsikan demikian karena dalam 1000 tahun terakhir tidak banyak letusan-letusan besar merapi).

Letusan besar tahun 1872 pun akhirnya bisa dilampaui oleh letusan 2010 ini. Dan kemungkinan hanya letusan tahun 1584 saja yang memiliki kekuatan yang sama dengan letusan kali ini. Dalam 1000 tahun terakhir merapi tercatat telah erupsi secara eksplosif diduga dengan dengan VEI = 4 adalah pada tahun 1020 M, 1285 M, 1584 M, 1872 M, dan terakhir tahun 2010 ini. ("Reconstruction of Old Natural Hazards around Kalasan and Its Vicinity, Jogjakarta, from Volcanic Stratigraphy Point of View") & ( 10,000 years of explosive eruptions of Merapi Volcano, Central Java: Archaeological and Modern Implications, Newhall, 1998;).

Jika kita liat periode ulangan tahun2 merapi meletus secara eksplosif diatas, maka memang sepertinya setiap 200-300 tahun sekali merapi merubah pola letusan dari efusif (lelehan) menjadi eksplosif (ledakan). Dan jika memang asumsi ini benar, maka baru pada tahun 2200-2300 lah merapi akan meletus secara eksplosif lagi. Jadi paling tidak masyarakat DIY & Jateng bisa bernafas lega karena letusan eksplosif yang akan datang baru akan terjadi paling cepat 200 tahun lagi.

Komposisi geokimia merapi saat ini adalah 57% untuk SiO2 nya, magma yang dihasilkan pun intermediate (asam), hanya memang sepertinya letusan merapi maksimal ada di indeks VEI = 4 dan tidak akan lebih. Hal ini karena masa istirahat merapi yang pendek (5 tahun) untuk siklus terpendeknya, sehingga energi yang tersimpan di dapur magma secara rutin terlepaskan.. Bandingkan dengan Krakatau yang memiliki masa istirahat 1400 tahun! sehingga letusannya (VEI = 6) jauh lebih besar dari merapi dengan komposisi SiO2 mencapai 65% saat letusan!.

Kerusakan yang terjadi saat ini sangat parah di area bencana letusan merapi. Kota Yogya yang berjarak 30km dari merapi pun mengalami efek langsung dari letusan berupa abu vulkanik dan pasir lapili hasil produk letusan langsung. Sedikit menyimpang, sesungguhnya bukan merapi lah yang menghancurkan Yogya di masa lalu, tetapi gempa tektonik lah yang sering meluluhlantakkan kota ini. hancur dibangun lagi, hancur lagi, dst. Jika kita buka catatan sejarah (dalam kitab kraton yogya disebut "obah lapis pitung bumi") misalnya, tahun 1867 adalah tahun kehancuran bagi Yogya karena gempa 6,7 SR yang menyebabkan bangunan Tamansari hancur lebur dan hingga kini tidak pernah diperbaiki. Bangunan Tugu yang menjadi simbol Yogya pun hancur, dan Keraton Yogya tentunya hancur pula saat itu.

Kembali ke merapi, bahaya primer letusan gunung merapi sepertinya akan segera kita lalui dan selanjutnya yang sama-sama kita hadapi adalah bahaya sekunder letusan yaitu banjir lahar dingin (jika terjadi hujan di hulu), kekurangan pangan (kelaparan), epidemi penyakit dan masalah-masalah sosial lainnya yang justru memerlukan biaya yang jauh lebih mahal dari dampak letusan primer gunung merapi.

Siapa yang bertanggung jawab atas ratusan ribu populasi yang saat ini menjadi pengungsi? Bgaimana recovery system yang ideal untuk penanganan pasca letusan besar seperti sekarang? Seperti apa pola pendataan & inventarisasi kerugian material korban? Berapa estimasi biaya yang dibutuhkan untuk membangun kembali daerah bencana? Koq bisa harga sapi lebih besar daripada harga nyawa? dan akan ada ratusan pertanyaan-pertanyaan lain yang akan sama-sama kita ketahui di lapangan nanti.

Saya kira kompleksitas permasalahan pasca bencana ini jauh lebih rumit untuk dipecahkan, banyak kepentingan akan mulai bermain. Semangat para relawan saya kira akan menjadi fluktuatif jika berhadapan dengan konsep dan manajerial penanganan pasca bencana. Disisi lain, kita dikejar oleh waktu untuk segera mengamankan dan mengembalikan pengungsi ke tempat asalnya (jika tidak ada relokasi) dan dalam waktu bersamaan kita dituntut untuk bisa menjaga psikologis dan faktor2 kejiwaan pengungsi (terutama anak2) untuk tetap stabil dan meminimalisir trauma mereka.

Apa yang bisa kita lakukan untuk saudara-saudara kita yang tertimpa bencana akan lebih baik daripada menyerahkan tanggungjawab ini kepada pemerintah untuk menyelesaikan masalah besar ini. Tugas berat untuk bangsa ini, tugas berat untuk kita yang masih peduli.(jenggot/BRS Indonesia).

Sumber : PUSAT INFORMASI RESPON MERAPI SEKBER PPA DIY
Read More

12 November 2010

Relawan bukan superhero

Banyak yang mengatakan menjadi relawan itu mudah. Tapi buatku itu bukan hal gampang. Sekedar kemauan saja tak bakalan cukup, karena ketika sudah tiba di lapangan beragam masalah pasti menghadang.

Mengelola beberapa orang pasukan sukarela jauh lebih sulit dibanding memenejeri sekian banyak karyawan di tempat kerja. Tidak adanya ikatan dinas diantara orang-orangnya membuat kita harus memiliki kesabaran yang lebih. Seperti misalnya saat kita super lelah di lapangan dan melihat ada teman yang kerjaannya cuma tiduran atau onlen terus seperti aku, tak bisa kita berkecakpinggang di depannya. Kepada orang lain kita hanya bisa meminta dan tak boleh memerintah. Mau atau tidak memenuhi permintaan kita, tak bisa kita berbuat apa-apa.

Apalagi dalam kondisi ngantuk, lapar, panas dan sederet kondisi yang tak enak, benturan antar relawan seringkali terjadi walau tak frontal. Tanpa toleransi ekstra, perang dingin jangka panjang tak jarang terjadi. Apalagi bila koordinator yang ditunjuk tak mampu merangkul dan mengakomodasi pasukan yang ada, keributan kecil selalu ada setiap waktu.

Ini yang mungkin perlu dipikirkan sebelum kita putuskan untuk menjadi relawan bencana, terutama bila memilih untuk bergerak di garis depan. Relawan bukan karyawan yang gajian. Bensin, pulsa dan kadang makan harus merogoh kocek pribadi. Relawan pun bukan robot yang bisa bekerja sepanjang waktu tanpa ngomel.

Apalagi bila harus berjalan dalam kurun waktu yang lama. Sekolah, pekerjaan, keluarga dan anak istri juga menjadi masalah tersendiri untuk mengaturnya agar tidak ada masalah tambahan. Makanya heran juga kepada pemerintah yang memiliki petugas dan dana hampir tak terbatas tapi kerjanya mblegedreg. Sampai-sampai warga lebih percaya kepada relawan daripada aparat negara.

Bila memang relawan adalah supehero, haruskah pengelolaan negara ini juga diserahkan kepada relawan..?

Mbuhlah mumet...

Mobile Post via XPeria

Read More

Light On

Di tengah bencana debu vulkanik begini, bukan cuma kesadaran penggunaan masker yang kurang di kalangan warga. Anjuran untuk menyalakan lampu kendaraan juga banyak yang tidak mengindahkan. Tidak hanya warga, relawan atau petugas pun masih banyak yang ndablek. Yang paling rajin mungkin kendaraan patwal yang membuka jalan untuk para pejabat yang wisata bencana. Tak cuma lampu depan berikut lampu rotator, sirenenya pun selalu dibunyikan seolah-olah sedang dalam perjalanan gawat darurat.

Untuk daerah Magelang, korban jiwa atau luka langsung akibat erupsi Merapi boleh dikatakan sedikit sekali. Tapi korban kecelakaan lalu lintas lumayan banyak. Relawan di poskoku saja sudah ada 4 orang yang terluka akibat jatuh dari motor atau tubrukan di jalanan.

Jalan berpasir yang licin dan jarak pandang minim membuat kita sulit memprediksi keadaan didepan. Aku saja sering kaget ketika tahu-tahu ada kendaraan berhenti di depan mata. Mengerem mendadak pun penuh resiko. Bisa tertubruk kendaraan di belakang kita atau ban tergelincir karena roda terkunci rem.

Di perkampungan, pandangan memang lumayan leluasa. Apalagi sudah dua hari ini cuaca cerah dan tidak turun hujan. Tapi jangan tanya di jalan utama Jogja Magelang. Jarak pandang seringkali kurang dari 5 meter. Sudah begitupun, masih banyak yang maksa ngebut dan salip kanan kiri, terutama pengendara sepeda motor.

Diingatkan agar pelan-pelanpun kadang susah. Dengan dalih terburu-buru atau emergensi, mereka merasa memiliki pembenaran untuk memacu kendaraannya lebih cepat. Entah mana yang harus mengalah, karena masing-masing selalu menganggap dirinya benar dengan misinya masing-masing.

Semoga kita segera sadar dan bisa menahan diri. Karena prinsipnya, sebelum menyelamatkan orang lain, amankan dulu diri sendiri. Dan itu bukan egois, melainkan kode etik rescue...

Mobile Post via XPeria

Read More

11 November 2010

Bersyukurlah Citra

Mendrop logistik di TPS Dukuh, aku mendengar tangisan bayi di sudut ruangan kotor berdebu, sebuah masjid yang belum selesai dibangun. Bayi kumal berusia 4 bulan yang tangisnya sering terpotong batuk-batuk itu tergeletak di selembar kardus ditunggui oleh ibu dan neneknya. Menurut ibunya, dia rewel karena semenjak di pengungsian ASI nya tidak lancar. Bantuan MPASI pun tak selalu didapat, sehingga lebih sering disuapin nasi jatah pengungsi yang diencerkan dengan air.

Kelangkaan air bersih dan MCK yang mengandalkan selokan kecil di belakang TPS membuat semua pengungsi kesulitan untuk bisa mempertahankan kebersihan. Memang ada toilet bantuan sederhana yang hampir selesai dibangun, tapi instalasi air bersihnya belum ada kepastian kapan bisa ada. Listrik PLN belum menyala sedangkan jumlah pengungsi yang hanya sekitar 50 jiwa tak mungkin bisa berharap dapat bantuan genset.

Tiba-tiba aku ingat Citra. Aku gendong bayi itu dan entah kenapa tangisnya berhenti. Dia bahkan tertawa-tawa ketika aku mengajaknya ngobrol. Cukup lama aku bermain-main dengannya sampai aku merasa sedih ketika harus menyerahkannya kembali ke ibunya, saat aku harus ke lokasi berikutnya.

Kepanikan massa saat evakuasi mendadak tanpa komando membuat masyarakat tak bisa berpikir panjang. Yang mereka tahu hanya menyelamatkan diri dan mencari tumpangan apa saja yang bisa menjauhkan mereka dari bencana. Hasilnya banyak keluarga yang tercerai berai karena kendaraan yang mereka tumpangi juga tak punya tujuan pasti. Mereka yang asal pergi itu semua dilanda kebingungan sampai ada warga berbaik hati menawarkan tempat berlindung entah itu di perumahan, masjid, sekolah atau apa saja asal bisa berteduh.

Tak heran bila bayi itu hanya bisa bareng ibu dan neneknya saja. Bapak dan kakaknya entah berlindung dimana. Apalagi dari hasil penelusuran relawan, pengungsi dari kecamatan Dukun ternyata tidak hanya tersebar di Magelang saja. Banyak yang lari jauh sampai ke Purworejo dan Kulonprogo. Satu persatu mulai bisa dipersatukan walau tak bisa cepat karena keterbatasan kemampuan relawan. Pemda yang seharusnya bisa koordinasi antar wilayah tak begitu jelas kiprahnya apa. Mungkin kerinduan si bayi ke bapaknya itu yang membuatnya tertawa ketika aku gendong.

Dan kembali ke Citra...
Bersyukurlah, nak. Walau Jogja juga masuk kawasan waspada bencana, tapi kamu masih bisa mendapatkan ASI melimpah dan pakaian yang bersih. Tidurpun masih bisa di kasur empuk di kamar ber AC bebas dari serbuan debu vulkanik.

Bersabarlah, nak. Nasibmu masih lebih baik dibanding teman-temanmu di pengungsian. Buat ayah bangga seperti ayah membanggakan ibumu yang tak pernah mengeluh harus menjagamu siang dan malam sendirian sementara ayah pergi. Sungguh aku bahagia memiliki kalian, pahlawan hatiku...

Walau terpisah jauh karena ayah harus jadi relawan, tapi minimal beberapa hari sekali kita masih bisa bercanda saat ayah pulang untuk setor buntut....

Lapyupul sayangku...

Mobile Post via XPeria

Read More

10 November 2010

Relawan Juga Pengungsi

Dua orang polisi yang diperbantukan menangani bencana Merapi sempat curhat ketika bertemu di lapangan. Mereka sedikit mengeluh tentang gudang yang kecamatan penuh logistik, tapi untuk minum saja mereka kesulitan. Kunci gudang dipegang pejabat yang tak selalu ada di tempat. Untuk petugas lokal mungkin tak terlalu bermasalah. Tapi untuk yang dari luar daerah tentu bikin pusing juga.

Bukan masalah menyalahgunakan barang sumbangan untuk kepentingan pribadi, tapi bagaimanapun juga, petugas dan relawan adalah pengungsi juga. Mereka meninggalkan rumah sampai berhari-hari menuju daerah bencana. Wajar bila mereka ikut memanfaatkan sedikit makanan atau minuman yang ada di gudang. Apalagi di lapangan setiap waktu diterpa hujan air campur lumpur. Padahal kondisi tidak memungkinkan untuk mencuci baju. Salahkah bila mengambil satu dua kaos bantuan untuk ganti..?

Mendengar cerita aparat itu, rasa mangkelku ke pejabat berwenang penanggulangan bencana makin menjadi. Berarti pelitnya mereka menimbun logistik bukan cuma ke pengungsi, tapi ke petugas negara garis depan juga. Pantas saja bila pengungsi lebih suka mengeluh ke posko relawan swasta.

Sampe bosen rasanya mendengar keluhan pengungsi tentang sulitnya birokrasi minta bantuan ke posko pemerintah. Jangankan meminta, kita mau menyuplai bantuan ke TPS yang dikelola pemerintah saja tidak boleh langsung ke pengungsi. Harus masuk gudang kelurahan atau kecamatan terlebih dulu. Sampai-sampai relawan Jalin Merapi membuat slogan sebagai relawan anti birokrat.

Kapan pemerintah kita mau memulai untuk memupuk kepercayaan dari rakyat. Bila nyatanya mereka lebih suka mengucurkan dana lebih besar untuk menyambut barack obama daripada memperbaiki kelayakan barak pengungsian..?

Mbuhlah...
Yang jelas relawan juga sama dengan pengungsi. Sama-sama kekurangan akomodasi di tengah bencana. Tapi walaupun begitu, aku tetap ga tega pake kancut sumbangan walaupun berstatus layak pakai...

Mobile Post via XPeria

Read More

Mainan Anak

Setiap berkeliling ke lokasi pengungsian yang tersebar di lereng barat Merapi, perhatianku selalu tertuju ke anak-anak. Sedih juga melihat cara mereka memelihara keceriaan di tengah bencana. Tapi terus terang kreatifitas mereka mencari alat bermain dengan apa yang ada cukup mengagumkan.

Masa anak-anak yang merupakan masa terindah memang tak boleh terganggu oleh apapun. Sayangnya bantuan logistik berupa mainan anak masih teramat kurang. Bila bicara soal sumbangan bencana, otak kita masih saja berkutat di sekitar makanan instan, air minum kemasan dan pakaian layak pakai. Yang menyumbangkan mainan anak masih sangat terbatas.

Memang sudah ada relawan yang fokus di pendampingan anak atas trauma bencana. Namun jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari. Mungkin bisa dipikirkan untuk kedepannya, agar relawan yang bisa menemani anak-anak bermain diperbanyak dan berintegrasi dengan relawan bidang lainnya.

Di beberapa lokasi pengungsian yang sempat aku datangi, beberapa TPS yang dikelola Muhammadiyah mungkin paling baik. Dalam artian di setiap lokasi dukungan logistik dan relawannya lengkap. Tidak hanya relawan medis, relawan pembimbing rohani dan anak-anak ada semua. Tidak terlalu banyak relawan tapi bisa berjalan efektif karena pengungsi juga dilibatkan, seperti dapur umum diserahkan kepada ibu-ibu dan kaum remajanya dikasih tugas di logistik dan mengelola anak-anak.

Sepertinya sudah masanya kita tanamkan jiwa sosial kepada anak-anak kita untuk bisa menyumbangkan sebagian mainan kesayangannya untuk teman-teman mereka di pengungsian. Bagaimanapun anak-anak harus tetap ceria apapun kondisinya. Ayo kita sumbangkan mainan anak layak pakai untuk mereka.

Kalo untuk aku sih, yang mendesak kayaknya perempuan layak pakai. Biar ada yang ngadem-ademin otak kalo dah pada ribut di lapangan. Hihihi...

Mobile Post via XPeria

Read More

Dilarang Mandi

Salah satu pertanyaan rutin istri setiap nelpon atau sms selain sudah makan adalah sudah mandi apa belum. Istriku memang paling mengerti kalo aku orangnya "resikan" kecuali kepepet. Dan istriku juga paling tahu kalo aku juga hobi mepet kalo memang tidak ada kesempatan untuk kepepet.

Padahal di posko pengungsian, air bersih merupakan barang langka. Sehingga mandi adalah salah satu pemborosan yang sedikit diharamkan. Malah kalo boleh dihitung, stok air minum kemasan di gudang logistik lebih melimpah daripada di bak mandi.

Apalagi setelah satu-satunya genset di posko semalem rusak dan entah kapan dapat bantuan genset pengganti. Mau beol saja harus masuk ke logistik untuk minta air kemasan gelas. Kalo pipis malah dianjurkan pindah ke pojok lapangan di bawah pohon pisang. Yang maksa mau cebok, silakan tayamum dengan debu vulkanik yang bertebaran.

Bagaimanapun juga, kita harus mementingkan pengungsi daripada kepentingan pribadi. Maksa mandi sementara pengungsi kekurangan air juga termasuk sebuah kekejaman. Katanya orang baik adalah yang enak paling akhir tapi susah paling awal. Emangnya pak beye yang ngakunya ingin menghayati penderitaan rakyatnya, tapi cuma dikiaskan dengan mencicipi sesendok nasi bungkus. Ga perlu basa-basi deh, pak. Yang penting birokrasi penanganan pengungsi saja dipangkas, itu yang kayaknya lebih berarti buat kami.

Salam wedus...

Mobile Post via XPeria

Read More

Detik Detik Serbuan Awan Panas

Awan panas menerpa Pakem Sleman DIY tanggal 1 November 2010 sekitar pukul 10:00 WIB. Mohon maaf kalo videonya goyang dombret di bagian akhirnya karena diambil dari bak belakang pick up sambil kabur diuber wedus gembel. Semoga bisa diambil hikmahnya. Minimal untuk para relawan nekat ini...

Read More

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena