21 November 2010

Bencanarsisme

Narsis memang sudah menjadi bagian dari sifat manusia yang sulit untuk dihilangkan di tengah bencana sekalipun. Apalagi di jaman orang gemar berbagi cerita secara online seperti sekarang. Ketika berada di tengah bencana sedang menjadi trend, rasanya tak afdol kalo orang lain tak tahu bahwa kita peduli dengan hal itu.

Banyak sekali relawan datang dan pergi silih berganti dengan berbagai motivasi. Sayangnya yang berasas narsisme cukup banyak. Bawa logistik tak seberapa tapi yang ngantar sampai 2 mobil. Mereka ga mau menyerahkan bantuan ke posko, tapi minta diantar kesana kemari untuk menyerahkan langsung ke pengungsi. Maunya ke tempat pengungsian yang ribuan orang biar pas foto-foto latar belakangnya ga hanya satu dua obyek pelengkap penderitanya. Biar kelihatan keren buat diaplut pesbuk, katanya. Ribet, tapi mau menolak jadi penunjuk jalan kok kesannya kejam amat. Orang mau beramal kok ga dibantu.

Yang agak mencolok kayaknya mereka yang bergerak dibidang medis. Biasanya mahasiswa dari beberapa universitas terkemuka di negara ini. Mereka sepertinya terlalu bernafsu ingin menjangkau semua pengungsi yang ada, sehingga tak pernah mau stay di satu lokasi yang membutuhkan. Lebih suka keliling-keliling lalu sorenya pulang ke hotel di Jogja. Padahal sebagian pengungsi itu suka pulang ke rumahnya kalo siang hari dan baru kembali ke pengungsian menjelang malam. Bagaimana bisa mencapai sasaran bila mereka tak mau tinggal bersama pengungsi siang malam.

Sudah jelas lokasi pengungsian yang di tengah kota dan mudah terjangkau selalu ada yang ngurus, mereka suka menolak kalo diajak ke daerah terpencil. Salah satu alasan yang paling menyebalkan bila diajak ke pelosok adalah, "mobil saya bisa masuk kesana engga..? Aman engga..?"

Kalo mau aman, bobo saja di rumah. Takut mobilnya lecet, kenapa ga disimpen saja di akuarium. Heran juga dengan pemikiran mereka yang katanya terpelajar itu. Sudah tahu mau ke daerah bencana, kok bawa sedan. Saat mereka bilang ga sanggup nyetir melihat kondisi jalan, kenapa menolak ketika aku menawarkan diri jadi sopir tembak. Lebih payah lagi, alternatif mobil mereka ditinggal lalu ikut naik pick up ku juga ditolak dan lebih suka balik kanan untuk cari lokasi pengungsian lain yang mudah dijangkau.

Tapi itu tak begitu jadi masalah walau suka bikin jengkel. Bagaimanapun mereka relawan yang tak digaji. Yang paling menyebalkan adalah narsisnya para pejabat yang lebih suka aku sebut mereka berwisata bencana. Kalo benar ingin menghayati apa yang dirasakan rakyatnya, kenapa tidak bekpekeran saja sih. Kenapa pula tanah becek berlumpur harus diurug dulu agar sepatu yang terhormat tidak belepotan. Datang dikawal patwal dengan sirene meraung-raung menyuruh orang lain menyingkir dari jalanan. Di pengungsian cuma mau action mencicipi nasi bungkus jatah pengungsi didepan kamera tipi. Setelah itu kembali ke tempat tidurnya yang empuk melupakan semua basa basi tadi. Berapa anggaran dana negara untuk jalan-jalan mereka. Belum lagi sejumlah pejabat bawahannya yang jadi buntut kesana kemari yang tentunya juga dibiayai dengan uang rakyat. Kayaknya lebih afdol kalo anggaran jalan-jalan itu dikasihin langsung ke pengungsi, bos...

Paling parah adalah bila ada kunjungan pejabat pemerintah yang merangkap pejabat partai. Sudah jelas-jelas disebutkan bantuan yang dibawa itu atas nama kementrian anu, tapi kenapa di sekitar lokasi kunjungan banyak bendera partai berkibar. Ini sama menyebalkannya dengan ketika awal bencana banyak satgas partai berebut tempat pengungsian yang akan dikelolanya. Bukan aku tak suka partai berbuat baik. Tapi kalo memang niatnya ikhlas membantu sesama, kenapa mereka pilih-pilih pengungsian yang di pinggir jalan dan lokasinya strategis. Bukan strategis untuk mobilitas logistik saja, tapi untuk menempatkan logo dan bendera partai agar mudah dilihat dari segala penjuru.

Di luar lokasi bencana pun, budaya pamer semacam itu cukup kentara. Yang menyolok mungkin budaya memberikan sumbangan melalui stasiun tipi. Entah benar mereka percaya kepada lembaga itu atau hanya karena waktu penyerahan disiarkan secara langsung aku ga begitu mengerti. Cuma sempat heran ketika liat di tipi, banyak kelompok masyarakat yang sebenarnya lebih dekat jarak tempuhnya ke Merapi memilih merapat ke stasiun tipi. Malah ada club motoris dari daerah Ciamis selatan yang sengaja konvoi naik sepeda motor ke Jakarta untuk menyerahkan amal baiknya.

Salahkah semua itu..?
Tentu saja tidak karena itu memang budaya sebagian dari kita kita. Toh antara "rila" dan "riya" cuma beda satu huruf saja. Kalo narsis itu dilarang, aku ga bisa cerita tentang pengungsi Merapi dong. Wong aku banyak nulis begini juga karena narsis. Karena aku juga ingin bilang, "apa yang aku berikan dengan tangan kanan, tangan kiriku ga boleh tahu. Tapi kalo wartawan tipi tahu, itu lebih bagus..."

9 comments:

  1. gak bisa disalahkan ya Sob.... tapi heran juga ya sama tuh mahasiswa udah gak mau stay ditempat, pake bawa sedan lagi ya biarpun gak bisa nyetir dijalanan merapi, ditawarin bantuan nyetir koQ masih gak mau juga halah.... dan untuk para pelancong bencana(para pejabat), silahkan melancong, tapi toong bantuan kaya gini jangan dijadiin lahan bisnis juga....

    Sekian dan terima kasih *udah kaya pidato haha..

    Happy blogging n Happy Sunday Sob.. :P

    BalasHapus
  2. menjengkelkan ya.... :D


    tapi mau diapa... just accept them :D
    dengan lapang dada...jangan berprasangka buruk :D

    setidaknya ada niat utk membantu biarpun cuma secuil... :D

    BalasHapus
  3. Jan deneng pada kaya kuwe ya kang,arep nyumbang setitik bae gawa mobil keluarga.Ana maning sing pada poto2 backgroune wong2 sing pada ngungsi,jan ketone koh ana pamrieh nek nyumbang ya..

    BalasHapus
  4. salam sahabat
    berkunjung mo baca artikelnya.
    terima kasih

    BalasHapus
  5. lah... terperangah juga nie bacanya... koq bisa yah masih milih2 pas udah nyemplung >.<

    kalo menceritakan seperti ini mah bukan riya' kali Om... biar kita tau apa yang terjadi disana, dan kalau ada yg diperlukan siapa tau ada yang bisa bantu...

    tentang diliputnya sebuah bantuan, itu tergantung niat kan ya... kalau untuk pamer mah bisa salah kaprah jadinya, bisa jadi riya... tapi kalau dengan diliput dimaksudkan agar nantinya lebih banyak lagi orang yang terketuk untuk membantu kan memang baik ^^

    BalasHapus
  6. itu namanya mengambil keuntungan diantara kesempitan.. alias sambil menyelam minum airnya.. Tapi bukankah manusia akan selalu mendapatkan apa yang dia niatkan.. ya kalo emang niatnya pamer a.k.a narsis begituan, maka itu yang akan mereka dapetin...

    masih berkutat dengan pembawa kunci gudang nggak sob? :D

    BalasHapus
  7. Waduw..kenarsisan saya dibawa2 nih :D
    Yah..begitulah manusia kalo mau nolong sesama tapi tidak sepenuh hati.
    Tapi setidaknya, tetap kita apresiasi.
    Bagaimanapun juga, mereka mau meluangkan waktunya untu nolong sesama walau tak dibayar :)

    BalasHapus
  8. wah itu namanya membantunya nggak iklas ya...

    BalasHapus
  9. kayaknya udah jadi trend Link, mbantu tapi "ada apanya". bukan karena "apa adanya". hehehehe....
    potone Lik Rawins, mesti yang disebeLah paLing kiri :D

    BalasHapus

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena