Menyimak sepak terjang pengelola negara ini akhir-akhir ini, aku kok makin merindukan adanya sebuah revolusi yang bisa memformat ulang sistem kenegaraan. Bila perlu pakai low level format, karena instal ulang sampe mencret pun tak akan bisa lagi memperbaiki kerusakannya. Bagaimana mungkin bisa menjadi baik bila berbagai aplikasi dipasang di sistem penuh virus yang selalu membuat berbagai file corrupt.
Mau jadi polisi atau PNS saja sudah harus menyiapkan modal puluhan juta. Trus berapa lagi yang harus disiakan untuk jadi pejabat..? Bisakah menjadi pejabat yang tak jahat bila gaji bulanan tak mampu menutupi modal awalnya..?
Makanya ketika ada berita anggota hewan jalan-jalan dan tak mau peduli pada sapi perahannya yang telantar, aku sudah tak ingin mengelus dada lagi. Pengen banget kuelus-elus jidat mereka pake arit. Mungkin itu sebuah niat yang diluar perikemanusiaan. Tapi yang ingin kulihat isi otaknya itu bukan manusia kok.
Atau ketika "yang terhormat" menyalahkan mereka yang tinggal di pantai atau di gunung yang akibatnya menjadi korban, cuma satu kata yang ingin aku bilang, dagadu..!!! Boro-boro bisa meneladani apa yang jadi pendirian teguh Mbah Marijan. Ini malah dengan santainya mengatakan sang guru itu mati konyol karena kepalanya yang keras.
Andai saja mereka sempat ngobrol bersama simbah tentang kehidupan, tentu mereka tak akan bicara begitu. Pehamanan filosofi beliau tentang hidup teramat dalam. Aku pun tak pernah mau dengar bila dikatakan beliau keras kepala. Bukan keras kepala, tapi keteguhan hati seorang prajurit sejati. Beliau mengungsi hanya untuk mengantar masyarakatnya saja dan setelah itu kembali ke rumahnya seorang diri. Tugasnya sebagai penjaga gunung tak akan beliau sampai desersi apapun kondisinya. Melarikan diri dari tugas adalah sebuah kepengecutan yang hina. Dan gugur dalam tugas adalah syahid.
Ada yang bisa disimak dari satu ucapan beliau dalam sebuah iklan. Roso..! Mungkin karena berada dalam iklan minuman energi, kita suka mengartikannya sebagai rosa. Teriakan itu kita artikan sebagai keperkasaan beliau sebagai penjaga gunung Merapi. Namun bila kita mau menilik tentang filosofi hidupnya, roso itu sebenarnya beliau artikan sebagai rasa.
Ya, rasa...
Itu sebuah kunci untuk menjalani hidup dengan baik. Sebagai makhluk sosial kita memang harus bisa mendalami kata rasa dan rumangsa. Agar kita tak terjebak kedalam kata rumangsa bisa (merasa bisa), tapi tetaplah berpegang pada bisa rumangsa (bisa merasa). Dengan rasa ini paling tidak kita bisa menelaah setiap perbuatan yang akan kita lakukan. Sebelum kita mencubit orang lain, paling tidak kita coba rasakan bagaimana rasanya kita dicubit orang. Melihat orang lain dalam bencana, tak ada salahnya kita coba merasakan andai saja yang di tengah bencana itu kita.
Pejabat yang bilang mbah Marijan konyol, seharusnya mau mendalami ajaran-ajaran beliau. Sehingga terasah rasa dan perasaannya dalam menjalankan tugas negara yang adalah amanat rakyat. Rasa memiliki itu berarti bahwa amanat itu harus diemban sampai titik terakhir. Bukannya diartikan mereka bebas memiliki duit rakyat yang jadi tanggung jawabnya. Dan ketika terjadi masalah dengan mudah mereka lari ke luar negeri meninggalkan tanggungjawabnya.
Adalah aneh ketika ada relawan dengan semangat mbah Marijan mau bergerak ke km 5 pasca evakuasi untuk meyakinkan tidak ada masyarakat menjadi korban dikatakan sembrono oleh yang berwenang. Tapi aparat yang mencuri start mengungsi sementara ribuan jiwa masih bertahan di garis depan adalah sebuah strategi penyelamatan. Mengibarkan bendera merah putih di garis terdepan bukan dianggap sebagai motivator agar masyarakat tetap semangat menghadapi bencana, melainkan dianggap tindakan konyol sok heroik. Lalu yang merasa jadi pengayom masyarakat tuh aparat atau relawan sih..?
Kenapa tetap harus ada rasa..?
Mau jadi polisi atau PNS saja sudah harus menyiapkan modal puluhan juta. Trus berapa lagi yang harus disiakan untuk jadi pejabat..? Bisakah menjadi pejabat yang tak jahat bila gaji bulanan tak mampu menutupi modal awalnya..?
Makanya ketika ada berita anggota hewan jalan-jalan dan tak mau peduli pada sapi perahannya yang telantar, aku sudah tak ingin mengelus dada lagi. Pengen banget kuelus-elus jidat mereka pake arit. Mungkin itu sebuah niat yang diluar perikemanusiaan. Tapi yang ingin kulihat isi otaknya itu bukan manusia kok.
Atau ketika "yang terhormat" menyalahkan mereka yang tinggal di pantai atau di gunung yang akibatnya menjadi korban, cuma satu kata yang ingin aku bilang, dagadu..!!! Boro-boro bisa meneladani apa yang jadi pendirian teguh Mbah Marijan. Ini malah dengan santainya mengatakan sang guru itu mati konyol karena kepalanya yang keras.
Andai saja mereka sempat ngobrol bersama simbah tentang kehidupan, tentu mereka tak akan bicara begitu. Pehamanan filosofi beliau tentang hidup teramat dalam. Aku pun tak pernah mau dengar bila dikatakan beliau keras kepala. Bukan keras kepala, tapi keteguhan hati seorang prajurit sejati. Beliau mengungsi hanya untuk mengantar masyarakatnya saja dan setelah itu kembali ke rumahnya seorang diri. Tugasnya sebagai penjaga gunung tak akan beliau sampai desersi apapun kondisinya. Melarikan diri dari tugas adalah sebuah kepengecutan yang hina. Dan gugur dalam tugas adalah syahid.
Ada yang bisa disimak dari satu ucapan beliau dalam sebuah iklan. Roso..! Mungkin karena berada dalam iklan minuman energi, kita suka mengartikannya sebagai rosa. Teriakan itu kita artikan sebagai keperkasaan beliau sebagai penjaga gunung Merapi. Namun bila kita mau menilik tentang filosofi hidupnya, roso itu sebenarnya beliau artikan sebagai rasa.
Ya, rasa...
Itu sebuah kunci untuk menjalani hidup dengan baik. Sebagai makhluk sosial kita memang harus bisa mendalami kata rasa dan rumangsa. Agar kita tak terjebak kedalam kata rumangsa bisa (merasa bisa), tapi tetaplah berpegang pada bisa rumangsa (bisa merasa). Dengan rasa ini paling tidak kita bisa menelaah setiap perbuatan yang akan kita lakukan. Sebelum kita mencubit orang lain, paling tidak kita coba rasakan bagaimana rasanya kita dicubit orang. Melihat orang lain dalam bencana, tak ada salahnya kita coba merasakan andai saja yang di tengah bencana itu kita.
Pejabat yang bilang mbah Marijan konyol, seharusnya mau mendalami ajaran-ajaran beliau. Sehingga terasah rasa dan perasaannya dalam menjalankan tugas negara yang adalah amanat rakyat. Rasa memiliki itu berarti bahwa amanat itu harus diemban sampai titik terakhir. Bukannya diartikan mereka bebas memiliki duit rakyat yang jadi tanggung jawabnya. Dan ketika terjadi masalah dengan mudah mereka lari ke luar negeri meninggalkan tanggungjawabnya.
Adalah aneh ketika ada relawan dengan semangat mbah Marijan mau bergerak ke km 5 pasca evakuasi untuk meyakinkan tidak ada masyarakat menjadi korban dikatakan sembrono oleh yang berwenang. Tapi aparat yang mencuri start mengungsi sementara ribuan jiwa masih bertahan di garis depan adalah sebuah strategi penyelamatan. Mengibarkan bendera merah putih di garis terdepan bukan dianggap sebagai motivator agar masyarakat tetap semangat menghadapi bencana, melainkan dianggap tindakan konyol sok heroik. Lalu yang merasa jadi pengayom masyarakat tuh aparat atau relawan sih..?
Kenapa tetap harus ada rasa..?
Idealisme saja tak cukup. Memang sejarah mencatat suksesi kekuasaan kita seringkali diawali oleh para pemuda di jalanan. Tapi idealisma tanpa rasa membuat mereka lupa panasnya jalanan setelah mereka duduk di lingkaran kekuasaan. Coba saja cari, siapa veteran pejuang jalanan yang masih keras teriakannya ketika kursi mereka sudah terasa empuk. Tetap kembali ke filosofi hanacaraka dimana mereka akan selalu berbunyi dalam segala kondisi dan baru mati setelah dipangku.
Besar harapanku, pemahaman mbah Marijan bisa berinkarnasi dan meracuni otak-otak muda agar bisa segera melakukan format ulang sebelum reinstal sistem kenegaraan ini. Tanpa revolusi negara ini tak akan ada perubahan. Tak apalah bila harus jatuh korban. Karena tanpa perubahan segera, justru akan lebih banyak masyarakat yang dikorbankan oleh para pemilik modal dan kekuasaan.
Untuk perubahan ini, aku siap jadi relawan.
Minimal relawan bagian misuh-misuh di blog...
Hehehe payah...
Besar harapanku, pemahaman mbah Marijan bisa berinkarnasi dan meracuni otak-otak muda agar bisa segera melakukan format ulang sebelum reinstal sistem kenegaraan ini. Tanpa revolusi negara ini tak akan ada perubahan. Tak apalah bila harus jatuh korban. Karena tanpa perubahan segera, justru akan lebih banyak masyarakat yang dikorbankan oleh para pemilik modal dan kekuasaan.
Untuk perubahan ini, aku siap jadi relawan.
Minimal relawan bagian misuh-misuh di blog...
Hehehe payah...
hem.. oh itu toh yang namanya roso = rasa. Soalnya setahuku bukannya roso itu artinya kuat yak?.. misale ngomong ngene : awake roso-roso, means badannya kuat-kuat. :D
BalasHapusTapi sempet sebel juga pas mbah Maridjan dibilang keras kepala.. pasti yang bilang belon kenal beliau.
Gak kepikiran sama sekali kalo Roso itu rasa. Bener, kita telah membuang perasaan kita dan menganggap pikiran sebagai imam.
BalasHapusyang paling berkesan saat mbah maridjan tersenyum ringan, saat ditanya kenapa enggan turun dari gelanggang
BalasHapus" anda wartawan, polisi, tentara, semua punya tugas masing-masing, dan tugas saya adalah disini .. menjaga merapi "
*gimana jogja bro, aman terkendali ? salut buat jalin merapi.dukung kontes ya
saya dukung usahamu bro! :p
BalasHapuswell, memang banyak yg asal ngomong sembarangan ttg mbah maridjan....
BalasHapuswell, mereka hanya blm tw saja bgm rasanya memiliki rasa tanggung jawab yang besar terhadap amanah yang telah diberikan.
rasa, seseorang bisa saja membeLi rasa tetapi beLum tentu mampu untuk memiLiki rasa.
BalasHapusJurnalnya menggugah ROSO....
BalasHapus