11 November 2010

Bersyukurlah Citra

Mendrop logistik di TPS Dukuh, aku mendengar tangisan bayi di sudut ruangan kotor berdebu, sebuah masjid yang belum selesai dibangun. Bayi kumal berusia 4 bulan yang tangisnya sering terpotong batuk-batuk itu tergeletak di selembar kardus ditunggui oleh ibu dan neneknya. Menurut ibunya, dia rewel karena semenjak di pengungsian ASI nya tidak lancar. Bantuan MPASI pun tak selalu didapat, sehingga lebih sering disuapin nasi jatah pengungsi yang diencerkan dengan air.

Kelangkaan air bersih dan MCK yang mengandalkan selokan kecil di belakang TPS membuat semua pengungsi kesulitan untuk bisa mempertahankan kebersihan. Memang ada toilet bantuan sederhana yang hampir selesai dibangun, tapi instalasi air bersihnya belum ada kepastian kapan bisa ada. Listrik PLN belum menyala sedangkan jumlah pengungsi yang hanya sekitar 50 jiwa tak mungkin bisa berharap dapat bantuan genset.

Tiba-tiba aku ingat Citra. Aku gendong bayi itu dan entah kenapa tangisnya berhenti. Dia bahkan tertawa-tawa ketika aku mengajaknya ngobrol. Cukup lama aku bermain-main dengannya sampai aku merasa sedih ketika harus menyerahkannya kembali ke ibunya, saat aku harus ke lokasi berikutnya.

Kepanikan massa saat evakuasi mendadak tanpa komando membuat masyarakat tak bisa berpikir panjang. Yang mereka tahu hanya menyelamatkan diri dan mencari tumpangan apa saja yang bisa menjauhkan mereka dari bencana. Hasilnya banyak keluarga yang tercerai berai karena kendaraan yang mereka tumpangi juga tak punya tujuan pasti. Mereka yang asal pergi itu semua dilanda kebingungan sampai ada warga berbaik hati menawarkan tempat berlindung entah itu di perumahan, masjid, sekolah atau apa saja asal bisa berteduh.

Tak heran bila bayi itu hanya bisa bareng ibu dan neneknya saja. Bapak dan kakaknya entah berlindung dimana. Apalagi dari hasil penelusuran relawan, pengungsi dari kecamatan Dukun ternyata tidak hanya tersebar di Magelang saja. Banyak yang lari jauh sampai ke Purworejo dan Kulonprogo. Satu persatu mulai bisa dipersatukan walau tak bisa cepat karena keterbatasan kemampuan relawan. Pemda yang seharusnya bisa koordinasi antar wilayah tak begitu jelas kiprahnya apa. Mungkin kerinduan si bayi ke bapaknya itu yang membuatnya tertawa ketika aku gendong.

Dan kembali ke Citra...
Bersyukurlah, nak. Walau Jogja juga masuk kawasan waspada bencana, tapi kamu masih bisa mendapatkan ASI melimpah dan pakaian yang bersih. Tidurpun masih bisa di kasur empuk di kamar ber AC bebas dari serbuan debu vulkanik.

Bersabarlah, nak. Nasibmu masih lebih baik dibanding teman-temanmu di pengungsian. Buat ayah bangga seperti ayah membanggakan ibumu yang tak pernah mengeluh harus menjagamu siang dan malam sendirian sementara ayah pergi. Sungguh aku bahagia memiliki kalian, pahlawan hatiku...

Walau terpisah jauh karena ayah harus jadi relawan, tapi minimal beberapa hari sekali kita masih bisa bercanda saat ayah pulang untuk setor buntut....

Lapyupul sayangku...

Mobile Post via XPeria

5 comments:

  1. hal-hal seperti itu membuat kita memang harus banyak-banyak bersyukur ya Om...

    BalasHapus
  2. hmmm...mensyukuri segala apa yg kita rasakan dan dapatkan membuat semua menjadi lebih indah ya mas...
    cepet gede ya adek kecil..

    BalasHapus
  3. mensyukuri apa yang diberikan tuhan membuat semua terasa indah,...

    BalasHapus
  4. hmmmm...., cuma bisa turut prihatin dan mendoakan. seLebihnya adaLah keinginan sosiaL yang harus direaLisasikan.

    BalasHapus

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena