09 November 2010

Relawan vs Birokrat

Membaca komentar bu dokter (srhida.multiply.com) tentang lebih percayanya beliau ke website swasta merapi.combine.or.id untuk info Merapi daripada website pemerintah, aku jadi ingat kenyataan di lapangan bahwa masyarakat pun lebih percaya ke relawan daripada aparat. Ini bisa dimaklumi melihat kenyataan di daerah terpencil seperti kec. Dukun dimana relawan non gajian sudah bisa mensurvai ke pelosok daerah sejak awal bencana. Sementara dari pemda baru sampai ke TPS seminggu setelah bencana.

TPS Gontor di km 10 dari puncak, lewat 2 minggu masa bencana, katanya baru sekali didrop bantuan oleh petugas negara yang notabene punya segalanya. Padahal relawan Jaring Merapi sudah bolak-balik masuk kesana menerobos medan yang lumayan berat dengan sarana seadanya. Aku sendiri heran kenapa pemerintah begitu sibuk berteriak-teriak untuk evakuasi kota Muntilan yang jaraknya 19 km dari puncak, sementara di km 8 masih ada banyak nyawa manusia dengan pelindungan apa adanya.

Sempat merasa aneh juga ketika Polsek Dukun tahu-tahu ditutup dan dievakuasi ke bawah sementara masyarakat masih dilanda kebingungan. Justru pasukan relawan lah yang keliling kampung menenangkan masyarakat. Termasuk ketika awan panas meluncur ke arah barat. Masyarakat panik saling berebutan turun gunung, saling memacu kendaraan di jalanan licin, tidak ada satupun aparat keamanan mengatur lalu lintas yang kacau. Lagi-lagi pasukan relawan yang berperan menenangkan masyarakat agar tidak terjadi bencana tambahan dalam bentuk kecelakaan lalu lintas.

Mungkin saja para pejabat bisa berkilah, jumlah personil negara tak sebanyak relawan. Omong kosong pejabat busuk..! Kalo memang kekurangan orang, kenapa tidak merangkul relawan dan potensi lokal yang ada. Aku pikir dana negara yang tak terbatas digabungkan dengan pasukan sukarela yang ada adalah sinergi terbaik dalam masalah ini. Tapi kenyataan di lapangan, relawan jarang mau berurusan dengan posko bencana pemerintah.

Sudah jelas banyak balita kekurangan makanan dan pakaian di pelosok, ketika kita coba masuk ke posko pemerintah menawarkan tenaga untuk menyuplai bantuan malah diminta data pengungsi plus surat pengantar dari kepala desa. Kecurigaan pemerintah takut bantuan diselewengkan relawan melebihi kepentingan menyelamatkan warganegara yang selalu setia membayar pajak. Apakah para pejabat lebih suka menimbun bantuan untuk dibagi-bagi sebagai uang saku setelah bencana berakhir dibanding menyelamatkan lebih banyak jiwa rakyatnya..? Wedussss...!!!

Di jalanan Muntilan begitu banyak tentara mengeruk debu yang membalut aspal agar tidak licin. Tapi silakan dilihat, banyakan mana yang pegang pacul dengan yang berdiri mengatur lalu lintas atau sekedar merokok sambil ngobrol. Kenapa para pemakan gaji buta itu tidak ditugaskan turun ke TPS terpencil saja. Toh kayaknya mereka lebih terlatih menghadapi medan berat dibanding aku dan teman-teman.

Terus terang aku mangkel dengan para pejabat pusat yang sliwar sliwer ke pengungsian, tapi cuma yang aksesnya mudah saja. Mau nengok pengungsi saja harus pakai forwarder yang menyuruh pengguna jalan untuk minggir seolah rakyat tidak punya kepentingan lebih besar dari mereka. Ngapain pura pura soksial kalo hanya untuk pamer arogansi di jalanan. Pak beye ga perlu lah keluyuran ke Merapi. Itung sendiri saja kalo memang mengaku cerdas, berapa biaya yang dihabiskan untuk wisata bencana pejabat. Lebih bermanfaat mana bila dibandingkan dengan dana itu dikucurkan kepada pengungsi agar bisa memperoleh akomodasi yang lebih layak.

Pikirkanlah bapak ibu yang berwenang. Perlukah kami tetap diwajibkan mengajukan proposal dengan keribetan birokrasi hanya untuk minta selimut dan makanan bayi? Tidak bisakah anak-anak kami yang kedinginan bisa segera dibantu tanpa harus minta tanda tangan kesana kemari?

Makin skeptis saja dengan pengelola negeri ini...

Mobile Post via XPeria

5 comments:

  1. selamat pagi,...terkadang birokrasi membuat sisi kemanusiaan tumpul. benar...pemerintah tidakkah lebih perduli pada rakyat yg sdg menderita,tanpa harus mempersulit keadaan mrk dgn sesuatu bernama birokrasi.

    BalasHapus
  2. Jadi inget, ketika gempa di Pengalengan (Kabupaten Bandung), dokter puskesmas setempat buru-buru nelfon rumah sakit pusat di Kotamadya Bandung buat minta ambulans. Rumah sakit bilang, nggak bisa kirim ambulans coz nggak ada permintaan dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung. Maka sang dokter puskesmas mencoba nelfon Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung, tapi oleh Dinas-nya nggak diangkat coz itu udah jam 6 sore (lewat dari jam kerja).

    Sang dokter puskesmas nekat nelfon koleganya yang kerja di UGD sebuah rumah sakit, minta dikirimin ambulans. Si kolega tanpa ba-bi-bu kirim ambulans malem-malem ke Pengalengan, dan pasien yang luka-luka akibat gempa itu akhirnya berhasil diungsikan. Tapi si dokter UGD itu dimarahi direktur rumah sakit, kenapa kirim ambulansnya rumah sakit ke wilayah Kabupaten Bandung nggak minta ijin dulu sama Direktur?

    Besoknya, pasien yang luka akibat gempa itu ternyata selamat. Dokter Puskesmas-nya bilang terima kasih ke dokter UGD rumah sakit, coz malem itu udah dikirimin ambulans. Kata dokter UGD-nya, "Jangan bilang terima kasih ke saya. Bilang terima kasih ke Direktur Rumah Sakit!"

    Ternyata memang penanganan bencana itu kudu melewati birokrasi yang berbelit-belit. Harus minta tanda tangan si ini, si itu. Gerakan bawah tanah justru lebih cepat. Ironisnya, kirim ambulans saja ternyata masih lebih cepat jika tanpa minta tanda tangan orang dinas yang kantornya cuman buka sampek jam 3 sore..

    BalasHapus
  3. nyata sudah para birokrat hidup di alam yang lain, yang tak ada sangkut paut dengan kenyataan sehari-hari....

    BalasHapus
  4. hzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzz......... omongane rakyat cilik gae opo., gak onok materaine, buang ae.. kapan indonesia rukun, kalo cuma omong kosong dan cari muka aja yang di gede-gedein, hzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzz

    BalasHapus
  5. untuk urusan darurat aja masih harus meLewati birokrasi yang Lumayan ribet, hmmmm....

    BalasHapus

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena