20 November 2010

Semakin Berat

Langit di sekitar Merapi semakin tampak cerah dari lapangan Pasturan Muntilan. Batas wilayah bahaya sudah mulai diturunkan tak lagi 20 km. Beberapa lokasi pengungsian pun mulai kosong ditinggalkan penghuninya kembali ke desanya masing-masing.

Sepintas ini merupakan berita gembira untuk banyak orang, terutama bagi relawan yang mulai mengalami kelelahan fisk dan mental setelah hampir sebulan hidup di daerah bencana. Namun kenyataan tak seindah itu. Ribuan pengungsi di ring 5 - 10 km masih membutuhkan dukungan penuh. Padahal sumbangan logistik dari para donatur sudah semakin berkurang jumlahnya. Mungkin ekspos media yang mulai sepi dan tak lagi menganggap Merapi sebagai good news turut berperan dalam hal ini. Bila beberapa waktu lalu, setiap hari selalu ada truk atau donatur yang mampir ke posko untuk menawarkan logistik, sekarang sudah harus mulai dicari-cari.

Selain kerawanan dari penduduk setempat atau dari pengungsi gadungan seperti yang aku tulis di jurnal sebelumnya, kerawanan baru juga muncul dari pengungsi yang kembali atau bersiap-siap kembali ke desanya. Ketika awal-awal mengungsi, mereka cukup selektif dengan bantuan yang kita tawarkan. Misalkan stok beras mereka masih cukup, mereka akan menolak saat kita kirim beras lagi dan minta yang lain seperti pakaian atau laukpauk. Menjelang pulang kampung, rupanya mereka tak lagi mikir kebutuhan makan dan berteduh saja seperti awalnya. Mereka mulai berpikir bahwa mereka tidak punya uang untuk beres-beres rumah atau memulai usaha. Sehingga mereka mulai serakah dengan bantuan logistik dan tak lagi pilih-pilih, apa saja diterima.

Aku sendiri menemukan penjelasannya tak sengaja ketika melihat ada pengungsi yang kemarin sore aku drop bantuan, pagi ini lagi jualan masker di perempatan. Aku sempatkan ngobrol dan dari situ aku tahu bahwa mereka sedang getol-getolnya menimbun logistik untuk dijual. Hasilnya katanya akan dibagi rata kepada semua pengungsi di TPS tersebut sebagai persiapan saat kembali ke kampungnya.

Pantas saja dalam dua hari terakhir ini, permintaan bantuan ke posko semakin banyak saja. Tak cuma dari pengungsi yang masih di TPS, pengungsi yang sudah kembali ke kampungnya dan masyarakat setempat yang tak mengungsi pun mulai ribut kadang setengah maksa minta logistik.

Sebuah dilema kemanusiaan memang. Tapi mau gimana lagi, pengungsi yang berada di wilayah bahaya masih ribuan sementara sumbangan logistik makin susah didapat. Apalagi kita belum ada koordinasi tentang penanganan pasca bencana dan masih tetap pada komitmen awal untuk menangani pengungsi. Jadi, walau tak jarang harus menerima sumpah serapah masyarakat, kita tetap berjalan hanya untuk pengungsi.

Penciutan wilayah bahaya nyatanya tidak memperingan tugas relawan yang masih mau bertahan. Semoga saja masih ada satu dua donatur tersisa yang masih belum merasa bosen membantu kita di lapangan menyediakan kebutuhan pengungsi. Lelah dan mulai jenuh memang. Tapi ini panggilan kemanusiaan.

Andai saja pejabat di pemerintah kita adalah manusia, harusnya mereka tahu itu dan sigap ambil tindakan untuk melanjutkan tugas kita. Bila memang kepedihan pengungsi tak mampu menyentuh sisi kemanusiaan mereka, seharusnya kelelahan relawan bisa sedikit menggugah hati nurani. Masa jayus saja dikasih cuti dan liburan ke Bali, relawan kebelet pipis saja harus ngempet sekian lama.

Kapan ya, Depkeu buka lowongan relawan untuk posisi jayus..?

3 comments:

  1. Wah udah posting lagi... hemm... urusan pengungsi gadungan selesai, urusan perbaika rumah yg sekarang muncul ya Sob... sampe2 logistik bantuan dijual untuk dibagi rata.... tapi blum pada balik ke desanya masing2 kan sob???

    BalasHapus
  2. semoga mereka tetap diberi ketabahan

    BalasHapus
  3. kaLo urusan gratisan, kadang yang sudah mampu pun ikutan jadi orang yang membutuhkan bantuan. asem!

    BalasHapus

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena